Liputan6.com, Jakarta - Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik. Istihsan artinya berasal dari serapan dalam bahasa Arab dari kata "استحسان" (istahsan) yang artinya adalah "menganggap baik" atau "mengharapkan kebaikan."
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Dalam praktiknya, istihsan sering digunakan ketika tidak ada nash (dalil) yang jelas dalam Al-Quran atau Hadis yang bisa dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan hukum.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan istihsan adalah pendapat yang berpegang pada kebaikan sesuatu bagi umat manusia sehingga apa yang dipandang baik boleh dikerjakan atau dipedomi.
Contoh penetapan hukum dengan istihsan dijelaskan dalam buku berjudul Al-Syatibi oleh Hamka Haq Al-Badry, seperti ketika dokter pria diperbolehkan melihat aurat wanita untuk memudahkan proses pengobatan.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang istihsan dan contohnya, Kamis (2/3/2023).
Istihsan adalah Mencari yang Lebih Baik
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik. Istihsan artinya berasal dari serapan dalam bahasa Arab dari kata "استحسان" (istahsan) yang artinya adalah "menganggap baik" atau "mengharapkan kebaikan."
Dalam buku berjudul Ushul Fiqh oleh Amir Syariffudin, secara istilah, istihsan adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti.
Pada konteks hukum Islam, istihsan adalah dapat diartikan sebagai metode penafsiran yang bertujuan untuk mencari solusi hukum yang paling baik dan paling sesuai dengan kemaslahatan umum masyarakat.
Dalam praktiknya, istihsan sering digunakan ketika tidak ada nash (dalil) yang jelas dalam Al-Quran atau Hadis yang bisa dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan hukum. Adanya istihsan, para ulama akan berusaha mencari jalan keluar yang terbaik dan paling sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Para ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanabiyah memiliki pendapat serupa tentang istilah dan penetapan tujuan adanya sebuah istihsan. Akan tetapi, para ulama dari mazhab Syafi’iyyah, Imam al-Gazali dijelaskan dalam kajian teori penelitian yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Sultan Kasim Riau, tegas menolak istihsan tetapi secara konsep tetap menerima istihsan.
Dalam kitab al-Muwafaqot fi ushul asy-Syari’ah oleh Abu Ishaq asy-Syatibi, para ulama dari mazhab Maliki menjelaskan istihsan adalah mengambil (mengamalkan) kemaslahatan juz’iyyah (khusus) ketika bertentangan dengan dalil yang kulli (umum).
Penjelasan yang sama ditegaskan oleh ulama dari mazhab Hanabilah dalam kitab Raudah an-Nazhir wa Jannat al-Munazhir oleh Ibnu Qudamah, bahwa istihsan adalah berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari Kitab maupun dari Sunnah.
Istihsan adalah upaya memalingkan suatu dalil dari dalil yang lemah untuk diganti ke dalil yang lebih kuat, tujuan kegiatan istihsan tak lain untuk kemaslahatan umat manusia. Contoh penetapan hukum dengan istihsan dijelaskan dalam buku berjudul Al-Syatibi oleh Hamka Haq Al-Badry, seperti ketika dokter pria diperbolehkan melihat aurat wanita untuk memudahkan proses pengobatan.
Seseorang dilarang melihat aurat orang lain, tetapi dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan dan manfaat, menurut penetapan hukum dengan istihsan maka seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang datang berobat kepadanya.
Advertisement
Contoh Istihsan dan Penjelasannya
Ulama Hanafiyah membagi istihsan adalah menjadi tiga macam. Dalam jurnal berjudul Istihsan sebagai Sumber dan Metode Hukum Islam oleh H. Kadenun dijelaskan tentang macam-macam istihsan beserta contohnya tersebut:
1. Berpindahnya suatu hukum dari Qiyas Zhahir kepada suatu Qiyas Khafi.
Contoh istihsan:
Berdasarkan Qiyas Zhahir yaitu hak pengairan tanah pertanian dan hak lalu lintas di dalam harta wakaf tanah pertanian tidak termasuk harta wakaf apabila tidak disebut dengan tegas pada waktu mewakafkannya.
Sebab wakaf di-qiyas-kan kepada hal jual beli yaitu sama-sama berakibat hilangnya (mengeluarkan) hak milik dari seorang pemiliknya. Dalam hak jual beli, hak pengairan dan hak lalu lintas tidak termasuk, maka yang demikian ini terjadi pula pada wakaf.
Akan tetapi menurut Istihsan (Qiyas Khafi), wakaf tersebut dipersamakan dengan Ijarah (sewa menyewa) sebab tujuannya sama yaitu mengambil manfaat barang yang bukan miliknya sendiri.
Di dalam kegiatan sewa-menyewa, hak tanah pengairan dan lalu lintas termasuk yang disewa meskipun tidak disebut dengan tegas. Adapun dasar peninggalannya (sanadnya) yaitu pengambilan manfaat dari barang yang diwakafkan (maslahah).
2. Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh Nash yang umum kepada yang khusus.
Contoh istihsan:
Kasus pencurian pada musim/masa kelaparan, berdasarkan Nash yang umum telah tersebutkan dalam surat al-Maidah ayar 38 yang artinya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah dipotong tangannya.”
Melihat ayat tersebut di atas bahwa setiap pencuri, baik laki-laki maupun perempuan harus dipotong tangannya, akan tetapi Umar Bin Khathab tidak melakukan hal tersebut yaitu memotong tangan terhadap pencuri pada masa kelaparan.
Demikian halnya di dalam pembagian zakat bagi seorang mu’alaf dan binatang unta yang kabur/lepas harusditangkap padahal pada zaman Nabi SAW tidak harus ditangkap, tetapi dibiarkan lepas begitu saja.
3. Berpindahnya suatu hukum yang Kulli kepada hukum yang merupakan kekecualian.
Contoh istihsan:
Orang yang dititipi barang harus bertanggung jawab atas barang yang dititipkan kepadanya, apabila yang menitipkan meninggal dunia, maka orang yang dititipi barang tersebut harus mengganti barang tadi jika melalaikan dalam pemeliharaannya.
Dalam kasus ini, berdasarkan Istihsan, maka seorang ayah tidak diwajibkan menggantinya, karena ia dapat menggunakan harta anaknya untuk mengongkosi hidupnya.