Liputan6.com, Jakarta Nikah siri adalah istilah pernikahan yang mungkin sudah tidak jarang terdengar. Namun, masih banyak orang yang belum mengerti makna dari nikah siri tersebut. Nikah siri memang menimbulkan banyak diskusi dengan keabsahannya.
Nikah siri banyak diperdebatkan karena pernikahan ini sah secara norma agama Islam, namun  tidak sah menurut norma hukum. Selain mengenai keabsahan, nikah siri juga menimbulkan perdebatan pada status anak pada pernikahan tersebut.
Nikah siri adalah suatu pernikahan yang tidak melalui Kantor Urusan Agama. Tidak jarang orang-orang melakukan pernikahan ini, tentunya dengan berbagai alasan yang berbeda-beda. Kamu tentunya perlu mengenali perbedaannya dengan pernikahan yang sah secara norma agama dan hukum.
Advertisement
Berikut Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (8/12/2021) tentang nikah siri adalah.
Mengenal Nikah Siri
Nikah siri adalah pernikahan yang sering juga disebut sebagai nikah di bawah tangan. Sederhanya, nikah siri adalah sebuah pernikahan yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama. Menurus agama Islam, nikah siri adalah pernikahan yang sah.
Kata siri berasal dari bahasa Araby yaitu sirri atau sir yang berarti rahasia. Keberadaan nikah siri adalah pernikahan yang dikatakan sah secara norma agama tetapi tidak sah menurut norma hukum, karena pernikahan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Kata siri yang berarti rahasia tersebut merujuk pada rukun Islam tentang perkawinan yang menyatakan perkawinan sah apabila diketahui oleh orang banyak. Namun etimologi tersebut berubah di Indonesia, nikah siri adalah nikah yang tidak dicatat oleh negara. Hal ini tertuang pada UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tertulis pada Bab I dasar perkawinan pasal 2 ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Advertisement
Dampak Nikah Siri
Perkawinan di bawah tangan akan membawa perilaku tidak baik terhadap keluarga, bermasalah hukum bagi anak yang dilahirkan, terhadap harta benda, dan pasangan suami istri tersebut. Hal ini disebabkan karena nikah siri adalah pernikahan yang tidak mempunyai bukti autentik, sehingga perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Mengutip dari laman UMY, pernikahan siri lebih banyak membawa dampak buruk bagi perempuan dan anak. Hal ini disebabkan karena pernikahan yang nantinya akan menghasilkan seorang anak. Selain tidak sah secara hukum, anak tersebut nantinya akan kehilangan hubungan hukum terhadap ayah.
Sehingga tidak jarang perempuan dan anak kehilangan hak mereka seperti hak nafkah, warisan jika si ayah meninggal, serta istri yang tidak akan mendapatkan harta gono-gini ketika bercerai. Selain itu, perempuan yang melakukan nikah siri akan sulit untuk bersosialisasi karena masyarakat akan cenderung memiliki opini negatif.
Status Anak pada Nikah Siri
Seorang anak yang sah menurut undang-undang yaitu hasil dari perkawinan yang sah. Ini tercantum dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, Pasal 42 Ayat 1: Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Hal ini merujuk bahwa status anak memiliki hubungan darah dengan kedua orangtuanya. Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusahan dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran.
Status anak nikah siri adalah tidak dicatat oleh negara, maka status anak tersebut dikatakan di luar nikah. Secara agama, status anak dari hasil nikah siri mendapat hak sama dengan anak hasil perkawinan sah berdasarkan agama. Namun, hal ini tidak selaras dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan perundang-undangan yang dinyatakan dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat 1: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Advertisement
Pernikahan yang Sah dalam Agama Islam
Agama Islam menggunakan tradisi perkawinan yang sederhana, dengan tujuan agar seseorang tidak terjebak atau terjerumus ke dalam perzinaan. Tata cara yang sederhana itu tampaknya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya."
Salah satu tata cara perkawinan adat yang masih kelihatan sampai saat ini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang atau disebut nikah siri. Perkawinan ini hanya dilaksanakan di depan penghulu atau ahli agama dengan memenuhi syariat Islam, sehingga perkawinan ini tidak sampai dicatatkan di kantor yang berwenang untuk itu.
Perkawinan sudah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Adapun yang termasuk dalam rukun perkawinan adalah sebagai berikut:
- Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita.
- Adanya akad, yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau wakilnya (ijab) dan diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (kabul).
- Adanya wali dari calon istri.
- Adanya dua orang saksi.
Apabila salah satu syarat itu tidak dipenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah, dan dianggap tidak pernah ada perkawinan. Oleh karena itu diharamkan baginya yang tidak memenuhi rukun tersebut untuk mengadakan hubungan seksual maupun segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian apabila keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang dilakukan sudah dianggap sah.
Perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila perkawinan tersebut dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974 tentang perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang yang sama pada pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun. Jika masih belum cukup umur, pada pasal 7 ayat 2 menjelaskan bahwa perkawinan dapat disahkan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.