8 Penyebab KDRT di Indonesia dan Solusinya, Tidak Hanya Masalah Ekonomi

Beberapa di antaranya adalah perselingkuhan, masalah ekonomi, hingga budaya patriarki.

oleh Laudia Tysara diperbarui 04 Jul 2023, 14:40 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2023, 14:40 WIB
Campur Tangan Keluarga hingga Masalah KDRT
Seorang suami dengan tangan mengepal telihat akan melakukan tindak KDRT. Credit: pexels.com/Karolina

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai upaya untuk mengatasi maraknya kasus KDRT di Indonesia. Melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), pemerintah berupaya memberikan perlindungan kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan.

Meskipun telah ada upaya pemerintah untuk melawan KDRT, kasus kekerasan dalam rumah tangga masih terus terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada faktor-faktor yang menjadi penyebab KDRT di Indonesia. Upaya penanggulangan dan pencegahan perlu terus ditingkatkan untuk mengatasi fenomena ini.

Berdasarkan jurnal penelitian yang berjudul "Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Survivor yang Ditangani oleh Lembaga Sahabat Perempuan Magelang" (2009) oleh Evi Tri Jayanthi dan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, terdapat delapan penyebab KDRT di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah perselingkuhan, masalah ekonomi, hingga budaya patriarki.

Cara mengatasi KDRT atau solusinya, penting memahami konsep kesetaraan dalam keluarga memiliki peranan kunci. Selain itu, melibatkan pihak ketiga dalam proses mediasi ketika terjadi permasalahan dapat membantu menangani kasus KDRT.

Sementara itu, jika situasinya tidak bisa ditangani secara internal, solusinya penting untuk segera melaporkan kasus tersebut ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), atau Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polres setempat untuk mendapatkan bantuan dan perlindungan yang sesuai.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang penyebab KDRT di Indonesia, Selasa (4/7/2023).

1. Perselingkuhan

ilustrasi pasangan selingkuh/pexels
Suami istri bertengkar dan saling diam karena masalah perselingkuhan/pexels

Salah satu penyebab KDRT di Indonesia adalah perselingkuhan. Perselingkuhan dapat terjadi ketika suami terlibat dalam hubungan dengan perempuan lain, baik sebagai istri atau pasangan yang sah maupun sebagai suami yang memiliki istri lain. Perselingkuhan ini dapat mempengaruhi terjadinya kekerasan fisik dan/atau seksual dalam rumah tangga.

Data menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki suami dengan pasangan lain memiliki risiko 1,34 kali lebih besar untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan dengan perempuan yang suami mereka tidak memiliki pasangan lain. Begitu pula, perempuan yang suami mereka berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sebanyak 2,48 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak terlibat dalam perselingkuhan.

2. Masalah Ekonomi

Aspek ekonomi juga menjadi penyebab KDRT di Indonesia. Hak nafkah adalah hak yang dimiliki oleh istri atau anak terhadap ayahnya. Namun, ketika hak ini tidak dihormati atau diabaikan oleh seorang ayah, dapat timbul kekerasan ekonomi. Kekerasan ekonomi ini dapat memicu konflik dan ketidakharmonisan dalam keluarga.

Data menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki suami pengangguran memiliki risiko 1,36 kali lebih besar untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan dengan perempuan yang suami mereka bekerja atau tidak menganggur.

3. Budaya Patriarki

Budaya patriarki juga merupakan faktor penyebab KDRT di Indonesia. Patriarki secara harfiah mengacu pada sistem yang memberikan kekuasaan kepada ayah sebagai penguasa dalam keluarga. Dalam konteks domestik, anggapan ini menciptakan ketergantungan perempuan (istri) pada suami dan menyebabkan perempuan merasa lemah dan tidak berdaya.

Perempuan yang berasal dari rumah tangga dalam kelompok 25% terbawah secara ekonomi memiliki risiko 1,4 kali lebih besar untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan mereka dibandingkan dengan perempuan dalam kelompok 25% teratas secara ekonomi.

4. Campur Tangan Keluarga

Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami sering kali menjadi penyebab KDRT. Keterlibatan keluarga dalam urusan perkawinan dapat menciptakan ketegangan dan konflik di antara pasangan suami istri. Anggota keluarga yang terlalu ikut campur dalam kehidupan rumah tangga pasangan dapat memperburuk situasi dan memicu terjadinya kekerasan fisik dan psikologis.

Pertentangan antara anggota keluarga dan pasangan suami istri seringkali mengarah pada situasi yang tidak sehat dan menimbulkan trauma serta penderitaan bagi korban KDRT.

5. Kebiasaan Judi

Judi Slot Online
Seseorang sedang memainkan judi slot online. (Istimewa)

Bermain judi adalah kegiatan yang dilarang baik oleh hukum maupun agama. Praktik perjudian seringkali menyebabkan masalah keuangan yang signifikan bagi pasangan suami istri. Tekanan finansial akibat utang akibat judi dapat menciptakan lingkungan yang tidak stabil di dalam rumah tangga, yang pada akhirnya dapat memicu pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengatasi masalah keuangan dapat menjadi faktor pendorong timbulnya kekerasan antara pasangan suami istri.

6. Alkoholisme

Kebiasaan minum alkohol secara berlebihan atau alkoholisme juga menjadi faktor penyebab KDRT di Indonesia. Suami yang mengalami masalah alkohol cenderung memiliki perilaku agresif dan tidak dapat mengontrol emosi mereka dengan baik. Dampak negatif dari alkoholisme, seperti perubahan kepribadian, kehilangan kendali diri, dan peningkatan kecenderungan terhadap kekerasan, dapat mempengaruhi hubungan suami istri.

Data menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki suami dengan riwayat konsumsi alkohol memiliki risiko 1,56 kali lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan dengan perempuan yang pasangannya tidak pernah mengkonsumsi alkohol. Selain itu, perempuan yang memiliki suami yang sering mabuk minimal sekali seminggu memiliki risiko 2,25 kali lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan dengan yang tidak memiliki suami yang sering mabuk.

7. Penggunaan Narkoba

Penggunaan narkoba juga menjadi faktor yang signifikan dalam terjadinya KDRT. Pasangan suami istri yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba cenderung mengalami konflik yang lebih sering dan kekerasan yang lebih intens. Penggunaan narkoba oleh suami dapat menyebabkan perubahan perilaku yang drastis, penurunan kontrol diri, dan peningkatan kecenderungan terhadap kekerasan.

Perempuan yang memiliki suami pengguna narkotika memiliki risiko 2 kali lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan dengan yang tidak memiliki suami pengguna narkotika.

8. Perbedaan Prinsip

Perbedaan prinsip antara suami dan istri juga dapat menyebabkan konflik dan penyebab KDRT di Indonesia. Meskipun pasangan telah bersatu dalam ikatan pernikahan, tetapi perbedaan dalam pandangan hidup, nilai-nilai, dan prinsip dapat menciptakan kesenjangan yang sulit untuk diatasi. Ketidaksepahaman dan ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan dalam hal-hal penting dalam kehidupan rumah tangga dapat memicu pertengkaran yang berpotensi berujung pada kekerasan.

 

Bentuk Kekerasan

Ilustrasi konflik dalam keluarga, pasangan bertengkar
Pasangan suami istri yang kompak berbaju hitam ini sedang bertengkar masalah rumah tangga. (Photo by RODNAE Productions from Pexels)

Berdasarkan hasil Survei Pendahuluan Indikator Kesejahteraan Rumah Tangga (SPHPN) tahun 2016, terungkap bahwa terdapat beberapa jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan usia 15-64 tahun, baik oleh pasangan maupun bukan pasangan, dalam jangka waktu 12 bulan terakhir maupun sepanjang hidup mereka.

1. Kekerasan Fisik

Bentuk kekerasan fisik meliputi tindakan memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan keras pada tubuh pasangan, dan serangkaian tindakan fisik lainnya.

Berdasarkan SPHPN tahun 2016, sekitar 18,3% perempuan yang sudah menikah dalam rentang usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Kekerasan fisik mendominasi kasus KDRT pada perempuan dengan angka sebesar 12,3%, dibandingkan dengan kekerasan seksual yang mencapai 10,6%.

2. Kekerasan Emosional atau Psikologis

Bentuk kekerasan emosional atau psikologis meliputi tindakan mengancam, memanggil dengan sebutan yang tidak pantas, mempermalukan pasangan, menjelek-jelekan, dan tindakan psikologis lainnya. Sekitar 1 dari 5 perempuan yang sudah menikah pernah mengalami kekerasan emosional, dengan angka sebesar 20,5%.

3. Kekerasan Ekonomi

Bentuk kekerasan ekonomi dapat berupa meminta pasangan untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan atau menguras harta pasangan. Sekitar 1 dari 4 perempuan mengalami kekerasan ekonomi, dengan angka sebesar 24,5%.

Tingkat kekerasan ekonomi yang dialami perempuan cenderung lebih rendah di masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

4. Kekerasan Seksual

Bentuk kekerasan seksual meliputi tindakan memeluk, mencium, meraba, hingga memaksa melakukan hubungan seksual di bawah ancaman. Angka kekerasan seksual dalam KDRT pada perempuan mencapai 10,6%.

5. Pembatasan Aktivitas oleh Pasangan

Bentuk kekerasan ini melibatkan pembatasan aktivitas oleh pasangan, di mana pasangan terlalu posesif, terlalu membatasi kebebasan, sering curiga, selalu mengatur segala hal yang dilakukan, sering marah, dan sering mengancam.

Kekerasan ini merupakan jenis kekerasan yang paling sering dialami perempuan yang sudah menikah, dengan angka mencapai 42,3%.

Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa bentuk kekerasan yang paling sering dialami oleh perempuan adalah pembatasan aktivitas oleh pasangan, diikuti oleh kekerasan ekonomi, kekerasan emosional/psikologis, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya