Liputan6.com, Jakarta Talak adalah istilah yang digunakan dalam Islam untuk menyatakan perceraian atau pemutusan ikatan pernikahan antara suami dan istri. Dalam hukum Islam, talak adalah suatu tindakan yang mengakhiri hubungan pernikahan dan mengizinkan pasangan suami dan istri untuk hidup terpisah.
Dalam Islam, talak adalah tindakan yang tidak diinginkan dan hanya seharusnya dilakukan sebagai jalan terakhir setelah upaya rekonsiliasi yang serius dan memadai telah dilakukan. Dalam beberapa kasus, ada situasi di mana talak adalah langkah yang dapat diterapkan dengan alasan yang sah, seperti adanya permasalahan serius dalam rumah tangga yang tidak dapat diatasi atau keberlanjutan pernikahan yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
Namun, perlu dicatat bahwa talak adalah yang tidak diharamkan, tetapi lebih merupakan tindakan yang dihindari dan dianggap sebagai solusi terakhir. Oleh karena itu sebelum talak diberlakukan, Islam mendorong pasangan suami dan istri untuk mencari solusi yang terbaik dan mempertimbangkan kesejahteraan semua pihak yang terlibat.
Advertisement
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan talak, simak penjelasan selengkapnya berikut ini seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Minggu (20/8/2023).
Definisi Talak Secara Etimologi dan Terminologi
Dilansir dari laman Mahkamah Agung, secara etimologi, talak adalah istilah yang berarti melepaskan dan menghilangkan ikatan. Secara terminologi, talak merujuk pada tindakan menghilangkan ikatan pernikahan baik dalam waktu sekarang atau masa yang akan datang dengan menggunakan ucapan khusus atau bentuk yang dapat menggantikannya.
Talak adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak suami untuk memutuskan hubungan pernikahan yang sah. Dengan kata lain, talak adalah tindakan untuk memilih langkah perceraian untuk pernikahan yang sah.
Jika pernikahan tersebut dianggap tidak sah (fasid), maka tindakan talak tidak sah dilakukan, dan dalam kasus ini tindakan tersebut mungkin dianggap mutarokah (pembatalan) atau fasakh (pemutusan pernikahan oleh pengadilan).
Dari serangkaian penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa talak adalah tindakan hukum yang secara sah mengakhiri ikatan pernikahan, dengan berbagai perincian tergantung pada konteks dan bentuknya.
Advertisement
Macam-Macam Talak Berdasarkan Akibat Hukumnya
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, talak adalah tindakan hukum yang secara sah mengakhiri ikatan pernikahan, dengan berbagai perincian tergantung pada konteks dan bentuknya. Berdasarkan akibat hukum yang muncul setelahnya dan juga kemungkinan rujuk bagi suami istri, talak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni, talak raj’i dan talakba’in.
Talak raj'i adalah jenis talak yang memberikan kemungkinan bagi suami dan istri untuk merujuk (bercukur) kembali dalam masa 'iddah tanpa perlu melakukan akad nikah baru. Ini terjadi setelah suami memberikan talak satu atau dua (raj'i), dan rujuk dapat terjadi sebelum masa 'iddah berakhir. Namun, jika masa 'iddah telah berakhir, talak raj'i berubah menjadi talak ba'in, yang artinya suami tidak bisa merujuk istrinya yang telah dia talak kecuali dengan melakukan akad nikah baru.
Sedangkan talak ba'in adalah jenis talak yang mengakhiri ikatan pernikahan secara langsung dan permanen pada saat itu juga. Talak ba'in terbagi menjadi dua jenis:
a. Talak Ba'in Sughra
Talak jenis ini berlaku saat suami memberikan talak satu atau dua ba'in, atau talak ba'in dua sekaligus (thalqatain ba'inatain). Namun, jika suami memberikan talak tiga, maka talak ini dianggap sebagai talak ba'in kubra secara mutlak, tanpa memperhatikan apakah talak tersebut diawali dengan talak raj'i atau talak ba'in.
b. Talak Ba'in Kubra
Talak jenis ini menjadikan suami tidak dapat merujuk istri yang telah dia talak kecuali setelah mantan istri tersebut menikah dengan lelaki lain dalam ikatan perkawinan yang sah. Setelah pernikahan baru itu dilakukan, dan hubungan seksual yang hakiki (dukhulan haqiqiyan) terjadi antara istri dan suami baru, maka istri tersebut dapat bercerai atau suami keduanya meninggal dunia, dan iddah (masa tunggu) istri dari suami keduanya berakhir, barulah istri tersebut dapat kembali kepada suami pertamanya setelah melakukan akad nikah baru.
Dalam kedua jenis talak ini, terdapat aturan yang mengatur kemungkinan rujuk atau peluang pernikahan kembali antara suami dan istri berdasarkan situasi dan masa iddah yang telah ditentukan. Semua hal ini diatur berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam.
Allah SWT berfirman yang artinya,
“Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” (QS. Al-Baqarah: 230).
Apa yang dimaksud masa iddah?
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, talak adalah tindakan hukum yang secara sah mengakhiri ikatan pernikahan, dengan berbagai perincian tergantung pada konteks dan bentuknya. Meski talak adalah tindakan untuk mengakhiri pernikahan, namun ada jenis talak yang masih memungkinkan pasangan suami istri untuk rujuk kembali dalam masa iddah. Lalu apa yang dimaksud dengan masa iddah?
Masa Iddah adalah periode tunggu yang harus dijalani oleh seorang perempuan setelah berpisah dari suaminya, baik karena suami meninggal dunia atau karena perceraian. Masa iddah memiliki tujuan untuk mengklarifikasi status pernikahan, memastikan tidak adanya kehamilan, dan memberikan waktu bagi proses penyembuhan secara fisik dan mental sebelum seorang perempuan dapat memasuki hubungan pernikahan baru.
Masa iddah adalah masa tunggu yang harus dijalani oleh seorang perempuan yang berpisah dari suaminya, baik karena perceraian atau kematian suami. Masa iddah memiliki perbedaan waktu tergantung pada penyebab pisahnya. Masa iddah akibat kematian suami dapat berbeda dengan masa iddah akibat perceraian.
Lamanya masa iddah (masa tunggu) setelah perceraian dalam Islam dapat berbeda berdasarkan penyebab perceraian dan kondisi perempuan yang mengalami perceraian. Di bawah ini, saya akan menjelaskan perbedaan lamanya masa iddah berdasarkan beberapa penyebab perceraian:
1. Perceraian dalam Kondisi Masih Haid
Jika perempuan yang bercerai masih dalam kondisi haid (menstruasi), masa iddah adalah tiga kali siklus haid yang selesai setelah perceraian. Ini berarti perempuan tersebut harus menghitung tiga kali siklus haid dari saat haid pertama kali muncul setelah perceraian. Ini akan menjadi masa iddahnya.Perceraian dalam Kondisi Tidak Lagi Haid:
Jika perempuan yang bercerai tidak lagi haid karena usia atau alasan lain, maka masa iddahnya adalah tiga bulan (90 hari) setelah perceraian.
2. Perceraian dalam Kondisi Hamil
Jika seorang perempuan yang bercerai dalam kondisi hamil, masa iddahnya akan berlangsung hingga melahirkan anaknya. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa status kehamilan telah jelas sebelum perempuan tersebut dapat memasuki hubungan pernikahan baru.
3. Perceraian Qabla Al-Dukhul
Perceraian qabla al-dukhul terjadi ketika perceraian dilakukan sebelum adanya hubungan intim (hubungan seksual) antara suami dan istri setelah pernikahan baru. Dalam kasus ini, tidak ada masa iddah yang diberlakukan karena pernikahan tersebut belum terjadi hubungan seksual.
Penting untuk dicatat bahwa perbedaan lamanya masa iddah ini ditentukan berdasarkan interpretasi hukum Islam dan pandangan mazhab yang berbeda-beda. Oleh karena itu, praktik masa iddah dapat bervariasi di berbagai komunitas Muslim dan negara yang berbeda.
Adapun dalam hukum positif suatu negara, regulasi dan peraturan hukum Islam seperti Kompilasi Hukum Islam di Indonesia akan menjadi pedoman dalam menentukan lamanya masa iddah.
Advertisement
Syarat Jatuhnya Talak
Talak adalah tindakan hukum yang secara sah mengakhiri ikatan pernikahan, dengan berbagai perincian tergantung pada konteks dan bentuknya. Layaknya sebuah akad, talak juga memiliki sejumlah syarat dan ketentuan, sehingga ia menjadi sah atau jatuh kendati tak disadari orang yang menjatuhkannya.
Para ulama fiqih melihat syarat dan ketentuan talak ini dari tiga aspek, antara lain sebagai berikut:
1. Syarat yang Menjatuhkan Talak (Suami)
Suami yang menjatuhkan talak haruslah sah secara hukum, yaitu baligh (sudah dewasa), berakal sehat, dan melakukan tindakan tersebut atas kemauan dan kesadarannya sendiri. Talak tidak sah jika dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum dinikahinya, seperti mengatakan "Jika aku menikahinya, maka ia tertalak."
Tidak sah juga jika talak diberikan oleh anak kecil atau seseorang yang tidak sadar karena tidur, sakit, tunagrahita, atau mabuk.
2. Syarat yang Ditalak (Istri):
Istri yang ditalak haruslah dalam keadaan suci dan tidak dalam keadaan haid (menstruasi) atau nifas (setelah melahirkan), yang kemudian disebut sebagai "talak sunnah". Dalam kondisi ini, talak diperbolehkan. Namun, jika istri yang ditalak sedang dalam keadaan haid atau nifas saat talak diberikan, maka talaknya menjadi "talak bid‘ah" dan diharamkan.
Baik talak sunnah maupun talak bid'ah berlaku bagi istri yang sedang dalam masa haid.
3. Syarat Ungkapan Talak
Ungkapan talak yang dipergunakan haruslah jelas (sharih) dan tidak memiliki makna lain selain talak. Dalam ungkapan ini, tidak diperlukan niat dalam hati. Misalnya, "Saya talak kamu," atau "Saya ceraikan kamu."
Ungkapan sindiran (kinayah) mungkin memiliki makna talak atau mungkin juga makna lain. Dalam kasus ungkapan sindiran, talak akan jatuh jika ada niat talak dalam hati yang mengucapkan ungkapan tersebut.
Ada perbedaan pandangan ulama terkait ungkapan kinayah. Menurut Abu Hanifah, ungkapan kinayah yang cukup jelas tidak memerlukan niat. Namun, menurut Imam Ahmad, makna atau konteks ungkapan kinayah menentukan status niat.
4. Syarat Lainnya
Talak juga dapat jatuh dengan ungkapan ta‘liq, seperti pernyataan suami kepada istrinya yang menyatakan bahwa istrinya akan tertalak jika melakukan sesuatu. Jika peristiwa tersebut terjadi, talak akan jatuh. Talak juga bisa jatuh melalui ungkapan senda gurau atau main-main asalkan ungkapannya sengaja diucapkan, bahkan jika maknanya tidak disengaja.
Dengan demikian, talak dalam Islam memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dianggap sah dan jatuh. Semua hal ini diatur berdasarkan hukum Islam dan pandangan para ulama fiqih.