Liputan6.com, Jakarta - Virus polio adalah penyakit yang mengancam kesehatan masyarakat global. Virus ini menyerang bagian tubuh yang kritis, yaitu sistem saraf, khususnya saraf di sumsum tulang belakang dan batang otak yang mengendalikan pergerakan otot.
Baca Juga
Advertisement
Berisiko menyebabkan lumpuh layu dalam waktu singkat setelah tertular. Poliovirus menunjukkan kecenderungan menyerang anak-anak di bawah usia 5 tahun. Gejala awal seperti demam, kelelahan, dan nyeri pada anggota tubuh dapat menjadi tanda-tanda infeksi, menggarisbawahi seriusnya ancaman penyakit ini terhadap kesehatan anak-anak.
Seiring dengan berbagai upaya global, khususnya Program Imunisasi Nasional, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya vaksin polio perlu ditingkatkan. Pencegahan yang paling efektif dan ampuh terhadap penyebaran virus polio adalah melalui imunisasi menggunakan vaksin polio.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang bagian tubuh yang diserang virus polio dan upaya pencegahan paling efektifnya, Selasa (9/1/2024).
Bagian Tubuh yang Diserang Virus Polio
Virus polio menyerang bagian tubuh tertentu, yaitu sistem saraf, terutama saraf di sumsum tulang belakang atau batang otak yang mengontrol pergerakan otot. Penyakit ini merupakan infeksi virus yang sangat menular, terutama menjangkiti anak-anak di bawah usia 5 tahun. Biofarma menyebutkan bahwa virus polio memasuki tubuh melalui mulut, biasanya melalui air atau makanan yang terkontaminasi oleh feses orang yang terinfeksi.
Virus tersebut kemudian berkembang biak di usus dan diekskresikan melalui feses, menjadi sumber penularan kepada orang lain.
Mayo Clinic menegaskan bahwa poliovirus masuk ke tubuh melalui mulut, berkembang biak di usus, dan selanjutnya menyerang sistem saraf, meskipun sebagian besar orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala atau hanya mengalami gejala ringan.
Gejala awal polio meliputi demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, kekakuan leher, dan nyeri pada anggota badan. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta mengingatkan bahwa virus polio dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, terutama lumpuh layu pada otot pernapasan dan anggota gerak seperti tangan dan kaki.
Menurut informasi dari sumber yang sama, lumpuh layu dapat terjadi dalam rentang waktu 7-21 hari setelah tertular virus polio. Virus ini menyebar melalui fecal-oral, yang berarti berkembang biak di sistem pencernaan dan dikeluarkan melalui tinja, sehingga risiko penyebaran semakin besar dalam kondisi sanitasi yang tidak baik seperti perilaku "Buang Air Besar Sembarangan."
World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa status polio saat ini dianggap sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), sejajar dengan status Monkeypox. Pernyataan ini menandakan bahwa penyebaran virus polio dianggap sebagai ancaman kesehatan masyarakat global yang serius, mengharuskan upaya kolaboratif dari negara-negara di seluruh dunia untuk mengatasi dan mengendalikan penyebarannya.
Status PHEIC memberikan landasan bagi koordinasi internasional dan dukungan tambahan dalam penanganan kasus polio. Ini mencerminkan kekhawatiran global terhadap dampak potensial penyakit ini pada populasi dunia.
Melihat seriusnya dampak penyakit ini, penting bagi masyarakat untuk memahami cara penularan virus polio dan pentingnya menjaga sanitasi yang baik sebagai langkah preventif. Gejala awal yang muncul juga perlu diwaspadai, serta pengetahuan mengenai cara melindungi diri dan keluarga dari virus polio sangatlah krusial dalam upaya pencegahan.
Advertisement
Faktor yang Meningkatkan Risiko Polio
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terkena polio perlu mendapat perhatian serius, seiring dengan upaya pemberantasan penyakit ini. Menurut Kementerian Kesehatan RI, polio dapat menyerang pada usia berapa pun, namun anak-anak di bawah lima tahun lebih rentan. Meskipun pada awal abad ke-20, polio merupakan ancaman serius yang melumpuhkan ratusan ribu anak, pengendalian penyakit ini berhasil dicapai pada tahun 1950an dan 1960an melalui penggunaan vaksin yang efektif.
Sejak Prakarsa Pemberantasan Polio Global dimulai pada 1988, lebih dari 2,5 miliar anak telah diimunisasi polio, tetapi hingga kini, Afganistan, Pakistan, dan Nigeria masih melaporkan penularan polio. Diperlukan kewaspadaan ekstra mengingat adanya kasus di Papua New Guinea pada Juni 2018, memperkuat urgensi langkah-langkah pencegahan untuk mencegah masuknya virus polio ke Indonesia.
RSUP Soeradji menyoroti beberapa faktor yang meningkatkan risiko polio, tidak hanya pada anak di bawah usia 5 tahun. Selain ketidakmendapatkan vaksinasi polio waktu kecil, faktor-faktor lain meliputi tinggal di daerah dengan kebersihan yang kurang terjaga, serta menderita penyakit autoimun. Adanya pemahaman mendalam tentang faktor-faktor risiko ini, diharapkan langkah-langkah pencegahan dapat difokuskan pada kelompok yang lebih rentan, mendukung upaya global untuk mencapai dunia bebas polio.
Faktor Risiko terhadap Kelumpuhan
Kelumpuhan yang dapat timbul akibat infeksi polio merupakan fenomena kompleks, dan meskipun hanya sebagian kecil dari orang yang terinfeksi mengalami kelumpuhan, beberapa faktor risiko utama telah diidentifikas menurut Kemenkes RI:
1. Defisiensi imun
Menurut Kemenkes RI, defisiensi imun menjadi salah satu faktor risiko. Ini terjadi di mana individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah lebih rentan mengalami dampak serius dari infeksi polio. Faktor ini menunjukkan pentingnya menjaga daya tahan tubuh sebagai upaya preventif yang efektif.
2. Kehamilan
Selain itu, kehamilan juga dapat meningkatkan risiko kelumpuhan akibat polio. Wanita hamil cenderung memiliki sistem kekebalan tubuh yang lebih rendah, sehingga dapat lebih mudah terinfeksi dan mengalami dampak serius dari virus polio.
3. Tindakan medis
Selanjutnya, tindakan medis seperti pengangkatan amandel (tonsilektomi) dapat menjadi faktor risiko, mungkin karena perubahan dalam sistem kekebalan tubuh setelah prosedur tersebut.
4. Suntikan intramuscular
Penggunaan suntikan intramuscular, seperti pemberian obat-obatan atau vaksin, juga terkait dengan peningkatan risiko kelumpuhan akibat polio. Proses ini dapat memicu respons sistem kekebalan yang tidak diinginkan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan keparahan infeksi polio.
5. Olahraga berat dan cedera fisik
Selanjutnya, aktivitas olahraga berat dan cedera fisik juga termasuk dalam faktor risiko, mungkin karena dampaknya terhadap sistem saraf yang sudah terpengaruh oleh poliovirus.
Meskipun mekanisme pasti dari interaksi antara faktor-faktor ini dan polio belum sepenuhnya dipahami, pemahaman terhadap keterkaitannya dapat memberikan pandangan yang lebih holistik untuk pencegahan dan penanganan penyakit ini.
Advertisement
Cara Mencegah yang Bisa Dilakukan
1. Vaksin Polio
Imunisasi diakui sebagai langkah paling efektif dalam mencegah penyakit polio menurut Kemenkes RI. Vaksin polio yang diberikan secara rutin dan berkali-kali telah terbukti mampu memberikan perlindungan seumur hidup bagi seorang anak. Mendorong kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemberian imunisasi polio pada anak-anak menjadi kunci utama dalam upaya pencegahan penyakit ini.
2. Menggunakan masker
Pencegahan penularan polio melalui kontak langsung dapat dilakukan dengan menggunakan masker, baik oleh individu yang sedang sakit maupun yang sehat. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko penyebaran virus melalui droplet.
3. Mencegah pencemaran lingkungan
Selain itu, langkah-langkah pencegahan lainnya termasuk mencegah pencemaran lingkungan melalui jalur fecal-oral. Hal ini dapat dicapai dengan praktik sanitasi yang baik, seperti memastikan buang air besar dilakukan di jamban dan mengalirkannya ke septic tank.
Dalam konteks pencegahan, memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang cara-cara ini tidak hanya meningkatkan kewaspadaan terhadap polio tetapi juga mendukung upaya global untuk memberantas penyakit ini secara menyeluruh. Kesadaran akan pentingnya imunisasi, langkah-langkah higienitas pribadi, dan praktik sanitasi yang baik merupakan fondasi penting dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari risiko penularan polio.
Pencegahan dengan Vaksin Polio
Terdapat empat jenis vaksin Polio yang berperan penting dalam upaya pencegahan penyakit ini sebagaimana direkomendasikan oleh Kemenkes RI.
1. Oral Polio Vaccine (OPV)
Pertama, Oral Polio Vaccine (OPV) dianggap aman, efektif, dan memberikan perlindungan jangka panjang, menjadikannya sangat efektif dalam menghentikan penularan virus. Vaksin ini diberikan secara oral dan setelah replikasi di usus serta diekskresikan, dapat menyebar ke orang lain dalam kontak dekat, memperkuat pertahanan imun secara luas.
2. Monovalent Oral Polio Vaccines (mOPV1 dan mOPV3)
Kemudian, Monovalent Oral Polio Vaccines (mOPV1 dan mOPV3) dikembangkan sebelum pengembangan tOPV. Meski memberikan kekebalan hanya pada satu jenis dari tiga serotipe OPV, vaksin ini tetap berperan dalam memberikan respons imun, terutama melawan serotipe tertentu.
3. Bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV)
Sementara itu, Bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV), yang mengandung virus serotipe 1 dan 3 yang dilemahkan, menggantikan Trivalent Oral Polio Vaccine setelah April 2016. Meskipun memberikan respons imun yang lebih baik untuk tipe 1 dan 3, vaksin ini tidak melibatkan kekebalan terhadap serotipe 2.
4. Inactivated Polio Vaccine (IPV)
Vaksin keempat adalah Inactivated Polio Vaccine (IPV). Sebelum April 2016, Trivalent Oral Polio Vaccine (tOPV) merupakan vaksin utama untuk imunisasi rutin. Dikembangkan oleh Albert Sabin pada tahun 1950, tOPV terdiri dari campuran virus polio hidup dan dilemahkan dari ketiga serotipe. Penggantian tOPV dengan Bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV) dilakukan untuk meningkatkan respons imun terhadap virus tipe 1 dan 3.
Penting untuk memahami variasi dan karakteristik masing-masing vaksin Polio sebagai bagian dari strategi pencegahan penyakit ini. Vaksinasi, dengan memilih jenis vaksin yang paling sesuai, merupakan langkah yang sangat efektif dalam melibas risiko penularan polio.
Advertisement