Liputan6.com, Jakarta - Pemilu 1 tahun 1955 tahap ke-2 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Konstituante, yang memiliki peran krusial dalam merumuskan konstitusi negara Indonesia yang baru merdeka. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut tahap pertama, pada 29 September 1955, fokus pada pemilihan anggota DPR, sementara Pemilu 1 tahun 1955 tahap ke-2 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Konstituante.
Partisipasi aktif lebih dari 30 partai politik serta lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan mencerminkan semangat demokrasi yang tinggi pada masa itu, menciptakan suasana pemilu yang sangat demokratis.
Advertisement
Menurut dokumentasi berjudul "30 Tahun Indonesia Merdeka: Jilid 2. Vol. 2" (1975) yang dipublikasikan Sekretariat Negara Republik Indonesia, dasar hukum pembentukan Konstituante adalah Pasal 134 UUD Sementara 1950.
Advertisement
Pasal ini menetapkan bahwa Konstituante bersama-sama dengan pemerintah harus menetapkan UUD Republik Indonesia yang baru. Kendati tidak sesuai rencana awal atau mundur 10 tahun, pemilu 1 tahun 1955 tetap dianggap berhasil karena berhasil dilaksanakan dengan aman, lancar, jujur, dan adil, sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh UU.
Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang Pemilu 1 tahun 1955 tahap ke-2 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Konstituante lengkap sejarahnya, Selasa (30/1/2024).
Praktiknya, Dewan Konstituante Dipilih DPR
Sejarah mencatat bahwa gelaran Pemilu 1 tahun 1955 tahap ke-2 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Konstituante. Akan tetapi, praktiknya pemilihan anggota Konstituante akhirnya diselenggarakan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada pemilu 1955.
Setelah terpilih pada tahun tersebut, anggota Konstituante mulai bersidang untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Namun, hingga 1958, Konstituante masih belum juga merumuskan UUD seperti yang diharapkan. Proses ini mencerminkan kompleksitas tugas Konstituante dalam membentuk kerangka hukum fundamental bagi negara yang baru merdeka.
Pada 22 April 1959, di Sidang Konstituante, Presiden Soekarno mengamanatkan untuk kembali ke UUD 1945. Pemungutan suara pada 30 Mei 1959 menunjukkan mayoritas setuju terhadap UUD 1945, namun harus dilakukan ulang karena tidak memenuhi kuorum.
Melansir dari BPK RI, kuorum adalah jumlah minimal peserta rapat yang hadir yangharus dipenuhi untuk sahnya pelaksanaan Rapat Anggota.
Pemungutan suara kedua pada 1 dan 2 Juni 1959 juga berujung pada kegagalan. Akhirnya, karena Konstituante gagal melaksanakan tugasnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini yang menetapkan UUD 1945 dan membubarkan Konstituante, mengakhiri peran serta konstituante dalam merumuskan konstitusi negara.
Advertisement
Anggota Dewan Konstituante yang Terpilih
Masih mengutip dari sumber sama, begini susunan anggota Dewan Konstituante hasil Pemilu 1 tahun 1955 tahap ke-2 tersebut:
Ketua Dewan Konstituante pada periode tersebut adalah Wilopo dari Partai Nasional Indonesia. Di bawah kepemimpinan Wilopo, terdapat beberapa wakil ketua yang berasal dari berbagai partai politik, menunjukkan semangat inklusivitas dalam proses perumusan konstitusi.
Wakil ketua termasuk Prawoto Mankusasmito dari Partai Masyumi, Johannes Leimena dari Partai Kristen Indonesia/Parkindo, Fathurrahman Kafrawi yang mewakili NU, Sakirman dari PKI, dan Ratu Aminah Hidayat dari IPKI.
Dalam Dewan Konstituante, terdapat tiga blok utama partai dan golongan yang memiliki perwakilan.
- Blok Pancasila merupakan blok terbesar dengan 274 kursi atau 53,3 persen dari total kursi. Blok ini mencerminkan partai-partai yang mendukung ideologi Pancasila sebagai dasar negara.
- Sementara itu, Blok Islam memiliki 230 kursi atau 44,8 persen, mewakili partai-partai yang mengusung prinsip-prinsip Islam dalam perumusan konstitusi.
- Blok Sosio-Ekonomi, dengan hanya 10 kursi atau 2 persen, mungkin mencakup partai-partai yang lebih fokus pada isu-isu sosial dan ekonomi.
Struktur anggota Dewan Konstituante yang mencerminkan representasi dari berbagai blok politik dan ideologi menunjukkan kompleksitas serta tantangan dalam mencapai kesepakatan untuk merumuskan konstitusi negara. Meskipun ada upaya untuk menciptakan inklusivitas, perbedaan ideologi di antara blok-blok tersebut memainkan peran penting dalam dinamika perumusan konstitusi pada periode tersebut.
Pemilihan Dewan Konstituante Awalnya Tidak Direncanakan
Pada awalnya, Pemilu 1 tahun 1955 tahap ke-2 bertujuan untuk memilih anggota Dewan Konstituante tidak dijelaskan dalam Maklumat X, yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 3 November 1945.
Maklumat tersebut hanya menyinggung tentang penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR yang direncanakan pada bulan Januari 1946. Penyelenggaraan pemilu pertama di Indonesia, pada praktiknya, mengalami penundaan 10 tahun lamanya yang tidak terlepas dari berbagai kendala, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Sebagaimana diungkapkan oleh Indonesia Baik, kendala yang muncul dari dalam negeri termasuk ketidaksiapan pemerintah dalam menyelenggarakan pemilu. Ketidaksiapan ini bisa disebabkan oleh belum tersedianya perangkat perundang-undangan yang memadai untuk mengatur penyelenggaraan pemilu, serta rendahnya stabilitas keamanan negara pada saat itu.
Kondisi tersebut menjadi tantangan serius yang harus diatasi sebelum pemilu dapat dilaksanakan dengan lancar dan efisien.
Di samping kendala internal tersebut, faktor eksternal juga turut berperan dalam penundaan penyelenggaraan pemilu. Salah satu faktor eksternal yang memengaruhi adalah serbuan kekuatan asing yang mendorong negara ini terlibat dalam konflik berskala besar. Kehadiran kekuatan asing dan potensi peperangan menjadi ancaman serius yang memaksa pemerintah untuk menunda pelaksanaan pemilu guna menangani isu-isu keamanan yang mendesak.
Kombinasi dari kendala internal dan eksternal tersebut menjadikan penundaan pemilu pertama di Indonesia sebagai keputusan yang tak terhindarkan pada masa itu. Hal ini menunjukkan kompleksitas serta tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat dalam membangun sistem demokrasi yang stabil dan berkelanjutan di Indonesia pada periode awal kemerdekaan.
Advertisement