Liputan6.com, Jakarta Hamas telah menunjuk Yahya Sinwar sebagai kepala biro politik yang baru setelah kematian Ismail Haniyeh dalam serangan yang diduga dilakukan oleh Israel di Teheran minggu lalu. Pengumuman ini disampaikan oleh kelompok Palestina tersebut pada Selasa, 6 Agustus 2024. Yahya Sinwar, yang sebelumnya menjabat sebagai pemimpin Hamas untuk wilayah Jalur Gaza, dikenal sebagai salah satu otak di balik serangan mematikan terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.
Baca Juga
Advertisement
Penunjukan Sinwar sebagai pemimpin baru menunjukkan sikap pembangkangan Hamas terhadap Israel, terutama karena Sinwar adalah musuh publik nomor satu di mata Israel. Meskipun demikian, tantangan besar menanti Sinwar, terutama dalam hal komunikasi dengan sesama anggota Hamas, menjalankan operasi politik harian, dan mengawasi negosiasi gencatan senjata di Gaza, semua ini harus dilakukan dari lokasi persembunyiannya di Gaza.
Dengan latar belakang yang penuh konflik dan posisi sebagai buruan utama Israel, kepemimpinan Yahya Sinwar diprediksi akan membawa Hamas melalui masa-masa yang penuh ketidakpastian di seluruh wilayah. Berikut ulasan lebih lanjut tentang sosok Yahya Sinwar yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (7/8/2024).
Latar Belakang Yahya Sinwar
Yahya Sinwar lahir pada tahun 1962 di Khan Younis, merupakan salah satu pejabat tertinggi Hamas yang dikenal paling keras kepala dan berprinsip kuat. Sinwar ditangkap berulang kali oleh Israel pada awal tahun 1980-an karena keterlibatannya dalam aktivitas anti-pendudukan saat masih berkuliah di Universitas Islam di Gaza. Setelah lulus, ia membantu mendirikan jaringan pejuang yang kemudian berkembang menjadi Brigade Qassam, sayap militer Hamas.
Sinwar bergabung dengan Hamas segera setelah kelompok itu didirikan oleh Shaikh Ahmad Yasin pada tahun 1987. Setahun kemudian, ia ditangkap oleh pasukan Israel dan dijatuhi empat hukuman seumur hidup atau setara dengan 426 tahun penjara, atas tuduhan keterlibatannya dalam penangkapan dan pembunuhan dua tentara Israel serta empat tersangka mata-mata Palestina. Selama 23 tahun di penjara Israel, Sinwar mempelajari bahasa Ibrani dan menjadi ahli dalam urusan Israel dan politik dalam negeri.
Pada tahun 2011, Sinwar dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan yang membebaskan tentara Israel Gilad Shalit. Setelah dibebaskan, ia kembali naik pangkat di Hamas, terpilih menjadi biro politik kelompok tersebut pada tahun 2012, dan ditugaskan untuk berkoordinasi dengan Brigade Qassam. Sinwar memainkan peran penting selama serangan tujuh minggu Israel terhadap Gaza pada tahun 2014, dan pada tahun 2015, Amerika Serikat melabeli Sinwar sebagai "teroris global yang ditunjuk secara khusus".
Advertisement
Menjadi Kepala Hamas di Gaza
Pada tahun 2017, Sinwar menjadi kepala Hamas di Gaza, menggantikan Haniyeh yang terpilih sebagai ketua biro politik kelompok tersebut. Berbeda dengan Haniyeh yang sering tampil di publik, Sinwar tetap bungkam sejak serangan mematikan pada 7 Oktober 2023. Namun, dalam wawancara tahun 2021 dengan Vice News, Sinwar menegaskan bahwa meskipun warga Palestina tidak menginginkan perang, mereka tidak akan menyerah dan mengibarkan bendera putih.
Sinwar juga mengkritik dunia internasional yang menurutnya hanya diam dan menonton saat rakyat Palestina mengalami penderitaan. Ia menuduh Israel sengaja membunuh warga sipil Palestina secara massal meskipun memiliki persenjataan canggih dan presisi, sementara Hamas, menurutnya, bertempur dengan cara yang mereka miliki.
Sebagai pemimpin baru Hamas, Yahya Sinwar dihadapkan pada tantangan besar dalam menjalankan operasi politik harian dan negosiasi gencatan senjata dari lokasi persembunyiannya di Gaza, namun penunjukan ini juga mengirimkan pesan tegas pembangkangan kepada Israel.
Perjuangan Yahya Sinwar
Yahya Sinwar dianggap sebagai salah satu dalang serangan mematikan Hamas terhadap Israel pada Oktober 2023 lalu. Serangan ini memicu konflik berkelanjutan di Jalur Gaza. Sinwar sebelumnya menjabat sebagai pemimpin Hamas di Jalur Gaza dan dikenal dengan retorika berapi-api serta dukungannya terhadap serangan teror di Israel dan Tepi Barat.
Israel menuduhnya mengawasi perencanaan dan pelaksanaan serangan pada 7 Oktober lalu. Selama ini, Sinwar dikenal lebih misterius dibandingkan Haniyeh dan diyakini bersembunyi di jaringan terowongan bawah tanah Hamas di Gaza.
Sejak dimulainya perang tahun lalu, Sinwar beberapa kali lolos dari upaya pembunuhan oleh Israel. Militer Israel bahkan menawarkan imbalan sebesar $400 ribu (setara Rp 6,4 miliar) untuk informasi keberadaan Sinwar, yang disebarkan melalui selebaran di Gaza dan foto-foto di media sosial. Tawaran imbalan ini juga mencakup para komandan Hamas lainnya, seperti Mohammed Deif, yang juga menjadi buronan Israel.
Sinwar mengambil alih kendali atas Hamas di Gaza pada tahun 2017, setelah dibebaskan dari penjara Israel dalam pertukaran tahanan dengan tentara Israel, Gilad Shalit. Selama masa kepemimpinannya, Sinwar terus menunjukkan sikap keras dan tanpa kompromi dalam perjuangan melawan Israel, menjadikannya salah satu tokoh paling dicari oleh Tel Aviv.
Israel terus mengejar Sinwar dan komandan Hamas lainnya, dengan menawarkan imbalan besar untuk informasi keberadaan mereka. Meski demikian, Sinwar tetap menjadi simbol perlawanan Hamas terhadap Israel dan terus memainkan peran penting dalam operasi kelompok tersebut dari lokasi persembunyiannya.
Advertisement