Liputan6.com, Jakarta - Flexing adalah istilah yang merujuk pada tindakan memamerkan atau menyombongkan diri, terutama terkait kekayaan material atau pencapaian seseorang. Fenomena ini semakin marak di era digital, di mana media sosial menjadi panggung utama bagi individu untuk menunjukkan sisi terbaik dari kehidupan mereka.
Siapapun yang aktif di dunia maya perlu memahami konsep flexing ini untuk mengenali dan menyikapinya dengan bijak.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Melansir dari Urban Dictionary, flexing adalah tindakan menyombongkan diri tentang hal-hal yang berhubungan dengan uang, seperti jumlah kekayaan atau barang mewah yang dimiliki. Fenomena ini semakin merebak beberapa tahun belakangan, seiring dengan munculnya kisah-kisah crazy rich yang gemar memposting kemewahan di media sosial.
Kasus flexing di media sosial telah menjadi topik hangat diskusi publik, dengan berbagai pandangan pro dan kontra mengenai dampaknya.
Tujuan flexing bisa beragam, mulai dari meningkatkan status sosial hingga mencari validasi dari orang lain. Salah satu tujuan utama flexing adalah untuk mempromosikan diri atau mencari perhatian. Namun, di balik perilaku ini seringkali tersembunyi rasa tidak aman atau kebutuhan akan pengakuan.
Memahami apa itu flexing dan contohnya dapat membantu kita menjadi lebih kritis terhadap konten yang kita konsumsi dan bagikan di media sosial. Berikut Liputan6.com ulas lengkapnya, Senin (14/10/2024).
Flexing Adalah Apa?
Flexing adalah fenomena sosial yang semakin populer di era digital, terutama di media sosial. Istilah ini merujuk pada tindakan memamerkan atau menyombongkan diri, khususnya terkait dengan kekayaan material, pencapaian, atau gaya hidup mewah seseorang.
Melansir dari Cambridge Dictionary, flexing diartikan sebagai tindakan menunjukkan rasa bangga atau senang terhadap sesuatu yang telah dilakukan atau dimiliki, namun dengan cara yang dianggap tidak menyenangkan oleh orang lain.
Akar dari perilaku flexing dapat ditelusuri kembali ke konsep yang diperkenalkan oleh Thorstein Veblen, seorang ahli ekonomi dan sosiolog Amerika, dalam bukunya "The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions" (1899). Veblen menggunakan istilah "conspicuous consumption" atau "konsumsi yang mencolok" untuk menggambarkan bagaimana benda atau barang dipamerkan untuk menunjukkan status dan posisi sosial seseorang. Konsep ini menjadi dasar pemahaman modern tentang flexing di media sosial.
Di media sosial, flexing sering kali muncul dalam bentuk unggahan foto atau video yang menampilkan gaya hidup mewah, barang-barang mahal, atau pencapaian luar biasa. Tujuan dari flexing di media sosial biasanya adalah untuk mendapatkan pengakuan, kekaguman, atau bahkan rasa iri dari orang lain.
Fenomena ini telah menjadi begitu umum sehingga muncul istilah "flexing slang" yang digunakan untuk menggambarkan bahasa atau ungkapan khusus yang digunakan dalam konteks pamer di media sosial.
Meskipun flexing sering dipandang negatif, beberapa orang berpendapat bahwa konten-konten kemewahan ini dapat menjadi sumber motivasi bagi orang lain untuk lebih giat mencari rezeki. Namun, banyak pihak juga menyoroti dampak negatif dari perilaku ini, termasuk potensinya untuk memicu rasa iri, ketidakpuasan diri, dan bahkan depresi pada individu yang terpapar konten flexing secara terus-menerus.
Penting untuk diingat bahwa flexing bukanlah fenomena yang terbatas pada orang kaya atau selebriti saja. Dalam praktiknya, siapa pun dapat melakukan flexing dalam skala yang berbeda-beda.
Kasus flexing dapat terjadi dalam berbagai konteks, mulai dari memamerkan liburan mewah, gadget terbaru, hingga pencapaian akademik atau karir. Memahami apa itu flexing dan contohnya dapat membantu kita menjadi lebih kritis terhadap konten yang kita konsumsi dan bagikan di media sosial.
Ciri-ciri flexing:
- Fokus pada material: Unggahan sering menampilkan barang-barang mewah atau mahal.
- Frekuensi tinggi: Pelaku flexing cenderung sering memposting konten pamer.
- Narasi yang berlebihan: Deskripsi atau caption yang menekankan nilai atau eksklusivitas barang/pengalaman.
- Pemilihan waktu strategis: Unggahan sering dilakukan pada waktu-waktu tertentu untuk memaksimalkan visibilitas.
- Penggunaan hashtag khusus: Sering menggunakan tagar yang berkaitan dengan kemewahan atau gaya hidup tinggi.
- Lokasi eksklusif: Sering menandai lokasi-lokasi mewah atau eksklusif.
- Penekanan pada merek: Sering menyebutkan atau menampilkan merek-merek terkenal dan mahal.
- Perbandingan implisit: Secara tidak langsung membandingkan diri dengan orang lain.
- Respons berlebihan terhadap komentar: Sangat responsif terhadap pujian atau komentar positif.
- Kurangnya konteks: Jarang memberikan konteks yang lebih luas atau tujuan dari unggahan tersebut.
Â
Advertisement
Tujuan Flexing
Flexing memiliki beberapa tujuan yang sering kali bersifat psikologis dan sosial. Berikut adalah beberapa tujuan utama dari perilaku flexing:
1. Meningkatkan Status Sosial
Flexing sering dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan persepsi orang lain tentang status sosial pelakunya. Dengan memamerkan kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup mewah, seseorang berharap dapat dipandang lebih tinggi dalam hierarki sosial. Hal ini dapat memberikan rasa kepuasan dan kebanggaan tersendiri bagi pelaku flexing.
2. Mencari Validasi dan Pengakuan
Salah satu tujuan utama flexing adalah untuk mendapatkan validasi dan pengakuan dari orang lain. Tujuan seseorang melakukan flexing seringkali adalah untuk mempromosikan diri atau mencari perhatian. Likes, komentar positif, dan pujian yang diterima dari unggahan flexing dapat memberikan rasa dihargai dan diakui oleh lingkungan sosial.
3. Menutupi Ketidakamanan
Paradoksnya, flexing juga bisa menjadi cara untuk menutupi rasa tidak aman atau rendah diri. Beberapa ahli berpendapat bahwa seseorang yang sering melakukan flexing mungkin sebenarnya adalah orang yang insecure atau rendah diri.
Memamerkan sisi terbaik atau paling mewah dari hidupnya, mereka berharap dapat menutupi kelemahan atau kekurangan yang mereka rasakan.
4. Memotivasi Diri dan Orang Lain
Meskipun kontroversial, beberapa orang melihat flexing sebagai bentuk motivasi. Bagi pelakunya, flexing bisa menjadi cara untuk memotivasi diri sendiri untuk terus mempertahankan atau meningkatkan gaya hidup tertentu. Sementara itu, ada juga yang berpendapat bahwa konten flexing dapat menjadi sumber inspirasi bagi orang lain untuk bekerja lebih keras dan mencapai tingkat kesuksesan serupa.
5. Membangun Personal Branding
Dalam era digital di mana personal branding menjadi semakin penting, flexing dapat menjadi strategi untuk membangun citra diri tertentu. Terutama bagi influencer atau figur publik, flexing di media sosial bisa menjadi cara untuk mempertahankan atau meningkatkan popularitas dan daya tarik mereka terhadap pengikut atau calon klien.
Contoh Flexing
Berikut adalah 30 contoh flexing yang sering dijumpai di media sosial:
- Mengunggah foto liburan di resort mewah
- Memamerkan koleksi jam tangan mahal
- Menunjukkan interior rumah yang mewah
- Memposting foto makanan di restoran bintang Michelin
- Mengunggah video mengendarai mobil sport
- Memamerkan tas branded terbaru
- Menunjukkan tiket first class saat bepergian
- Memposting foto dengan selebriti atau tokoh terkenal
- Mengunggah bukti transfer dengan jumlah besar
- Memamerkan koleksi sepatu limited edition
- Menunjukkan undangan ke acara eksklusif
- Memposting foto saat menggunakan fasilitas VIP
- Mengunggah video bermain di kasino mewah
- Memamerkan hadiah ulang tahun yang mahal
- Menunjukkan sertifikat kepemilikan saham perusahaan besar
- Memposting foto saat berbelanja di butik desainer ternama
- Mengunggah video mengendarai jet pribadi
- Memamerkan koleksi wine langka
- Menunjukkan medali atau trofi dari kompetisi bergengsi
- Memposting foto saat menghadiri gala mewah
- Mengunggah bukti donasi dalam jumlah besar
- Memamerkan kartu kredit black atau platinum
- Menunjukkan hasil investasi yang menguntungkan
- Memposting foto saat menggunakan jasa personal shopper
- Mengunggah video bermain golf di lapangan eksklusif
- Memamerkan koleksi seni atau barang antik
- Menunjukkan bukti keanggotaan klub elit
- Memposting foto saat menggunakan jasa butler pribadi
- Mengunggah video mengendarai yacht pribadi
- Memamerkan perhiasan dengan berlian besar
Â
Advertisement
Cara Cerdas Menyikapinya
Berikut adalah beberapa cara cerdas untuk menyikapi budaya pamer atau flexing di era digital:
1. Kembangkan Kesadaran Diri
Pahami motivasi dan perasaan Anda sendiri saat melihat konten flexing. Refleksikan mengapa konten tersebut mempengaruhi Anda dan apa yang bisa Anda pelajari dari reaksi Anda.
2. Praktikkan Literasi Media
Bersikap kritis terhadap konten yang Anda konsumsi. Ingat bahwa sebagian besar unggahan di media sosial hanya menampilkan sisi terbaik kehidupan seseorang, bukan realitas sepenuhnya.
3. Batasi Penggunaan Media Sosial
Tetapkan batas waktu untuk menggunakan media sosial. Terlalu banyak terpapar konten flexing dapat berdampak negatif pada kesehatan mental.
4. Fokus pada Perkembangan Diri
Alihkan energi Anda untuk mengembangkan diri dan mengejar tujuan pribadi, bukan membandingkan diri dengan orang lain.
5. Praktikkan Rasa Syukur
Rutin mengungkapkan rasa syukur atas hal-hal yang Anda miliki dapat membantu mengurangi kecemburuan dan ketidakpuasan yang mungkin timbul dari melihat konten flexing.
6. Bangun Hubungan Nyata
Prioritaskan membangun hubungan yang bermakna di dunia nyata daripada terlalu fokus pada interaksi di media sosial.
7. Pilih Konten yang Positif
Ikuti akun-akun yang memberikan inspirasi positif dan bermanfaat, bukan yang hanya memamerkan gaya hidup mewah.
8. Pertimbangkan Konteks
Ingat bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Jangan langsung menghakimi berdasarkan apa yang Anda lihat di media sosial.
9. Jadilah Contoh yang Baik
Berhati-hatilah dengan konten yang Anda bagikan sendiri. Pastikan unggahan Anda tidak membuat orang lain merasa tidak nyaman atau rendah diri.
10. Diskusikan dengan Orang Terdekat
Bicarakan perasaan Anda tentang budaya pamer dengan teman atau keluarga. Berbagi perspektif dapat membantu Anda melihat situasi dengan lebih objektif.
11. Lakukan Digital Detox
Sesekali, luangkan waktu untuk benar-benar lepas dari media sosial dan nikmati kehidupan tanpa tekanan untuk selalu terlihat sempurna.
12. Fokus pada Nilai-nilai Personal
Ingatlah nilai-nilai pribadi Anda dan apa yang benar-benar penting dalam hidup Anda, bukan apa yang dianggap penting oleh media sosial.
13. Kembangkan Hobi Offline
Temukan kegiatan yang membuat Anda bahagia tanpa perlu validasi online.
14. Praktikkan Empati
Cobalah memahami bahwa orang yang melakukan flexing mungkin juga memiliki kerentanan atau ketidakamanan tersendiri.
15. Evaluasi Lingkaran Sosial Online
Jika perlu, kurangi atau hentikan mengikuti akun-akun yang membuat Anda merasa buruk tentang diri sendiri.