Liputan6.com, Jakarta Tradisi lebaran ketupat di Jawa merupakan perayaan unik yang dilaksanakan sepekan setelah Idul Fitri, tepatnya pada tanggal 8 Syawal. Perayaan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian ibadah dan tradisi masyarakat Muslim Jawa setelah menunaikan puasa Ramadhan dan merayakan Idul Fitri.
Keunikan tradisi lebaran ketupat di Jawa terlihat dari ritual yang melibatkan hidangan khas berupa ketupat beserta lauk pendampingnya seperti opor, lodeh, dan rendang. Perayaan ini biasanya dilakukan dengan berkumpul bersama keluarga di musala, masjid, atau lapangan sambil memanjatkan doa bersama.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Dalam perkembangannya, tradisi lebaran ketupat di Jawa telah menjadi manifestasi dari perpaduan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal masyarakat Jawa. Tradisi ini tidak hanya menjadi momen untuk bersyukur dan bersilaturahmi, tetapi juga mengandung makna filosofis yang mendalam tentang penyucian diri dan harmonisasi kehidupan bermasyarakat.
Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum, sejarah dan makna tradisi lebaran ketupat di Jawa, pada Kamis (23/1).
Sejarah Tradisi Lebaran Ketupat
Lebaran ketupat memiliki sejarah panjang yang berakar pada masa Kesultanan Demak di abad ke-16 M. Tradisi ini diperkenalkan oleh salah satu anggota Walisongo yang sangat berpengaruh, yaitu Sunan Kalijaga, sebagai bagian dari strategi dakwah Islam di tanah Jawa. Melalui pendekatan kultural yang bijaksana, Sunan Kalijaga berhasil memadukan nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal yang sudah mengakar dalam masyarakat.
Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah penting dalam tradisi ini, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran merupakan tradisi silaturahmi dan saling memaafkan yang dilakukan setelah shalat Idul Fitri, sementara Bakda Kupat adalah perayaan yang dilaksanakan sepekan setelahnya. Kedua tradisi ini saling melengkapi dan memiliki makna yang berkesinambungan dalam rangkaian perayaan Idul Fitri.
Pada masa Walisongo, tradisi lebaran ketupat diintegrasikan dengan tradisi selamatan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa. Melalui pendekatan ini, nilai-nilai Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat tanpa menimbulkan pertentangan dengan tradisi lokal. Strategi dakwah ini terbukti efektif dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa, sambil tetap menghormati dan melestarikan kearifan lokal.
Sejak diperkenalkan pada masa Kesultanan Demak, tradisi ini terus berkembang dan dilestarikan dari generasi ke generasi. Lebaran ketupat menjadi media untuk mengajarkan berbagai nilai penting dalam kehidupan, seperti rasa syukur kepada Allah SWT, pentingnya berbagi dengan sesama, dan menjaga harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Advertisement
Makna Filosofis Lebaran Ketupat
Kata ketupat memiliki akar filosofis mendalam dari bahasa Jawa. "Kupat" berkaitan dengan konsep "laku papat" atau empat tindakan esensial dalam kehidupan manusia. Keempat tindakan ini mencerminkan perjalanan spiritual manusia menuju kesempurnaan diri, baik secara lahir maupun batin.
Tindakan pertama adalah "lebaran", yang menandai berakhirnya bulan Ramadan. Ini melambangkan tercapainya kemenangan setelah sebulan penuh menahan nafsu dan berjuang melawan hawa nafsu. Kedua, "luberan" yang berarti melimpah, mengajarkan tentang pentingnya berbagi rezeki dengan sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan.
"Leburan" sebagai tindakan ketiga bermakna meleburnya dosa melalui tradisi saling memaafkan. Ini menegaskan pentingnya membersihkan diri dari kesalahan dan memulai lembaran baru dengan hati yang bersih. Terakhir, "laburan" yang berarti memutihkan, melambangkan proses penyucian diri secara lahir dan batin.
Bentuk fisik ketupat sendiri sarat dengan makna simbolis. Anyaman daun kelapa muda (janur) yang rumit melambangkan kompleksitas permasalahan hidup manusia. Dalam bahasa Arab, janur memiliki makna "telah datang seberkas cahaya terang", menyimbolkan harapan akan petunjuk Allah menuju jalan kebenaran.
Pelaksanaan dan Ritual
Perayaan lebaran ketupat dilaksanakan pada hari ke-8 bulan Syawal, menandai telah selesainya puasa sunnah 6 hari di awal Syawal. Pemilihan waktu ini memiliki makna khusus sebagai penyempurna ibadah puasa Ramadan, sekaligus sebagai ungkapan syukur atas kesempatan menunaikan puasa sunnah Syawal.
Ritual dimulai dengan berkumpulnya keluarga dan masyarakat di tempat-tempat ibadah atau ruang publik seperti musala, masjid, atau lapangan. Para ibu biasanya telah mempersiapkan hidangan khas berupa ketupat yang disajikan dengan berbagai lauk tradisional seperti opor ayam, sayur lodeh, atau rendang.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat tidak hanya menikmati hidangan bersama, tetapi juga melakukan doa bersama sebagai ungkapan syukur. Momen ini juga dimanfaatkan untuk bersilaturahmi dengan kerabat dan tetangga, memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat.
Di beberapa daerah di Jawa, terdapat tradisi menggantung ketupat yang sudah matang di atas kusen pintu depan rumah. Ketupat ini dibiarkan hingga kering dan dipercaya sebagai simbol penolak bala atau pengusir energi negatif dari rumah tersebut.
Advertisement
Nilai dan Manfaat Tradisi Lebaran Ketupat
Tradisi lebaran ketupat mengandung beragam nilai yang tetap relevan dalam kehidupan modern. Dari segi spiritual, tradisi ini menjadi manifestasi rasa syukur kepada Allah SWT setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan dan puasa sunnah Syawal. Pelaksanaan tradisi ini juga menjadi sarana untuk meningkatkan ketakwaan melalui doa bersama dan silaturahmi.
Dalam aspek sosial, lebaran ketupat berperan penting dalam memperkuat kohesi masyarakat. Kebiasaan berkumpul dan makan bersama menciptakan ruang interaksi yang mempererat hubungan antarwarga. Tradisi berbagi makanan dengan tetangga dan kerabat juga menumbuhkan kepedulian sosial dan semangat gotong royong dalam masyarakat.
Dari sudut pandang budaya, lebaran ketupat merupakan contoh nyata harmonisasi antara ajaran Islam dengan kearifan lokal Jawa. Perpaduan ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam beradaptasi dengan budaya setempat, selama tidak bertentangan dengan syariat. Pelestarian tradisi ini juga membantu mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi muda.
Perkembangan dan Tantangan Modern
Seiring perkembangan zaman, tradisi lebaran ketupat menghadapi berbagai tantangan modernisasi. Perubahan gaya hidup masyarakat dan meningkatnya mobilitas penduduk terkadang menyulitkan pelaksanaan tradisi yang mengutamakan kebersamaan ini. Namun, esensi dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini tetap dijaga dan dilestarikan dengan berbagai penyesuaian.
Beberapa daerah telah mengembangkan variasi dalam pelaksanaan tradisi ini, seperti mengadakan festival ketupat atau lomba memasak ketupat, untuk menarik minat generasi muda. Penyesuaian ini dilakukan tanpa menghilangkan makna dan nilai-nilai asli dari tradisi lebaran ketupat.
Di tengah arus globalisasi, lebaran ketupat justru menjadi penanda identitas budaya yang semakin penting. Tradisi ini mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara nilai-nilai religius, sosial, dan budaya dalam kehidupan modern.
Advertisement