Liputan6.com, Jakarta Hamil dan menyusui merupakan masa-masa penting bagi ibu dan bayinya. Di bulan puasa, ibu hamil dan menyusui diperbolehkan untuk tidak puasa dengan ketentuan khusus. Kelonggaran untuk ibu hamil dan menyusui ini diberikan jika ibu khawatir kesehatannya dan anaknya terganggu.
Meski diperbolehkan untuk tidak berpuasa, ibu hamil dan menyusui tetap harus mengganti puasa yang ditinggalkannya. Salah satu cara untuk membayar puasa ini adalah dengan membayar fidyah. Fidyah termasuk solusi dalam agama Islam yang dapat membantu seorang Muslim membayar puasa yang ditinggalkannya.
Advertisement
Baca Juga
Fidyah biasanya dilaksanakan oleh ibu hamil, orang tua, dan orang sakit. Ada aturan khusus yang disetujui sebagian besar ulama tentang aturan membayar fidyah untuk ibu hamil dan menyusui. Saat membayar fidyah pun, ada niat khusus yang bisa dibaca oleh ibu hamil atau menyusui.
Berikut niat membayar fidyah bagi ibu hamil dan menyusui serta tata caranya, dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Jumat(30/4/2021).
Aturan membayar fidyah bagi ibu hamil
Wanita hamil atau yang sedang dalam masa nifas diperbolehkan meninggalkan puasa Ramadan. Namun, ia tetap harus menggantinya setelah masa tersebut usai. Meng-qadha puasa bagi wanita hamil, nifas, dan menyusui wajib hukumnya. Ini karena wanita hamil, nifas, dan menyusui dianggap masih mampu meng-qadha puasanya di hari lain.
Ibu hamil yang meninggalkan puasa ada kalanya harus membayar fidyah dan mengganti puasa di hari lain. Ibu yang wajib membayar fidyah dan mengganti puasa adalah mereka yang mampu berpuasa, lalu tidak berpuasa karena khawatir terhadap kesehatan anaknya.
Sementara ibu hamil atau menyusui yang sama sekali tidak bisa menjalankan puasa karena kesehatan dirinya dan anaknya dengan saran dokter atau ahli, maka ia hanya wajib mengganti puasanya di hari lain.
Jadi ibu hamil dan menyusui tidak bisa hanya mengganti puasanya dengan fidyah. Ini karena fidyah hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sama sekali tidak mampu menjalankan puasa seumur hidupnya.
Advertisement
Niat membayar fidyah bagi ibu hamil dan menyusui
Berikut niat membayar fidyah bagi ibu hamil dan menyusui:
Nawaitu an ukhrija hadzihil fidyata 'an ifthori shaumi ramadlana lilkhoufi 'ala waladi 'ali fardla lillahi ta'ala.
Artinya:
" Saya niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadan karena khawatir keselamatan anakku, fardlu karena Allah."
Jumlah fidyah yang harus dibayarkan
Fidyah wajib dibayarkan sesuai jumlah hari puasa yang ditinggalkan untuk satu orang. Dilansir dari BAZNAS, menurut Imam Malik, Imam As-Syafi'I, fidyah yang harus dibayarkan sebesar 1 mud gandum (kira-kira 6 ons=675 gram=0,75 kg atau seukuran telapak tangan yang ditengadahkan saat berdoa).
Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, fidyah yang harus dikeluarkan sebesar 2 mud atau setara 1/2 sha' gandum. (Jika 1 sha' setara 4 mud= sekitar 3 kg, maka 1/2 sha' berarti sekitar 1,5 kg). Aturan kedua ini biasanya digunakan untuk orang yang membayar fidyah berupa beras.
Cara membayar fidyah ibu hamil bisa berupa makanan pokok. Misal, ia tidak puasa 30 hari, maka ia harus menyediakan fidyah 30 takar di mana masing-masing 1,5 kg. Fidyah boleh dibayarkan kepada 30 orang fakir miskin atau beberapa orang saja (misal 2 orang, berarti masing-masing dapat 15 takar).
Menurut kalangan Hanafiyah, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku seperti 1,5 kilogram makanan pokok per hari dikonversi menjadi rupiah.
Advertisement
Orang yang wajib membayar fidyah
Selain ibu hamil dan menyusui, ada golongan orang yang juga wajib membayar fidyah ketika meninggalkan puasa Ramadan. Orang yang wajib membayar fidyah selain ibu hamil adalah:
1. Orang tua renta yang tidak memungkinkannya untuk berpuasa
2. Orang sakit parah yang kecil kemungkinan sembuh
Ketentuan ini menyimpulkan bahwa fidyah hanya boleh dilakukan oleh orang yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk berpuasa dalam jangka waktu lama atau bahkan selamanya.
Selain ketiga kategori di atas, ada dua kategori lagi yang diharuskan membayar fidyah menurut para ulama. Kategori ini adalah:
Orang mati Dalam fiqih Syafi’i
Orang mati yang meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua:
Pertama, orang yang tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa.
Kedua, orang yang wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasa. Menurut qaul jadid (pendapat lama Imam Syafi’i), wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Biaya pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit. Menurut pendapat ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit. Sedangkan menurut qaul qadim (pendapat baru Imam Syafi’i), wali/ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit.
Orang yang mengakhirkan qadha Ramadan
Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadan—padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha—sampai datang Ramadan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadan.
Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqadha, semisal uzur sakit atau perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan mengqadha puasa.