Liputan6.com, Banten - Nama Syekh Nawawi Al-Bantani begitu populer di Indonesia. Beliau adalah salah satu imam Masjidil Haram yang berasal dari Indonesia.
Tak hanya itu, Syekh Nawawi Al-Bantani juga merupakan guru atau pengajar sekaligus ilmuwan yang melahirkan banyak kitab dan literatur untuk generasi mendatang.
Advertisement
Tentu bukan perjalanan singkat untuk mencapai level seperti Syekh Nawawi. Dia disegani, baik di negeri sendiri maupun di negeri orang. Berikut adalah kisah singkat perjuangan Syekh Nawawi sebelum diangkat menjadi Imam Masjidil Haram.
Advertisement
Baca Juga
Mengutip laman resmi Pemerintah Provinsi Banten, Syekh Nawawi dilahirkan pada tahun 1230 H/ 1813 M di Tanara, Kabupaten Serang, Provinsi Banten dan wafat di Mekah pada tahun 1314 H/ 1897. Makamnya terletak bersebelahan dengan makam Ummul Mukminin Sayyidah Khadijah ra, di Ma’la.
Setiap tahun haul beliau selalu diperingati di tanah kelahirannya, Tanara, pada hari Kamis pada Minggu terakhir bulan Syawal. Acara haul selalu dihadiri oleh petinggi negeri dan ulama-ulama besar di tanah air. Pada tahun 2021 misalnya, hadir wakil presiden Indonesia KH Ma’ruf Amin dan Gus Baha, ulama muda yang digadang-gadang sebagai penerus KH. Maemoen Zubair.
Nama lengkap Syekh Nawawi adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Sebutan al-Jawi digunakan untuk menunjukkan bahwa Syekh Nawawi adalah berkebangsaan Jawa. Pada saat itu, Banten adalah eks-kerajaan Islam yang kemudian oleh kolonial Belanda dijadikan sebagai Karesidenan. Jawa lebih dikenal layaknya sebagai sebuah negeri, karena Negara Indonesia pada saat itu belum terbentuk.
Sedangkan Al-Bantani merupakan nisbat yang digunakan untuk membedakan imam Masjidil Haram asal Indoneesia ini dengan Muhyiddin Zakariya Yahya bin Syaraf bin Al-Marri al-Khazaimi atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Nawawi, seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’i yang sangat produktif dari Nawa, Damaskus yang hidup sekitar abad 13 H. atau tepatnya tahun 1631 H/1233 M.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Nasab Sunan Gunung Jati
Di lingkungan kelurganya Syekh Nawawi dikenal dengan sebutan Abu Abdul Mu’thi. Ayahnya bernama Kiai Umar bin Arabi, seorang penghulu, ulama dan pemimpin masjid dan pendidikan Islam Tanara, Banten, sedang ibunya bernama Zubaidah, penduduk asli Tanara. Syekh Nawawi merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara, yaitu Ahmad Syihab ad-Din, Tamim, Sa’id, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah.
Syekh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, Cirebon. Tepatnya keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyararas (Taj Al-Arsy). Dari silsilah ayahnya, garis keturunan Syekh Nawawi sampai kepada Nabi Muhammad saw. sedang dari ibunya, sampaik kepada Muhammad Singaraja.
Sebagai putra seorang tokoh agama di Tanara, Syekh Nawawi mendapat tempat di lingkungan keluarga yang agamis. Oleh karena itu, sejak kecil ia sudah mendapatkan pelajaran keagamaan baik berupa ilmu pengetahuan maupun teladan prilaku dari keluarganya sejak kecil, Syekh Nawawi dikenal sebagai sosok yang rajin dan tekun belajar. Ia juga dikenal sebagai seorang yang tawadhu’, zuhud dan bertakwa kepada Allah, sehingga teman sejawatnya, Abdul Sattar ad-Dahlawi menyebutnya, sebagai “Muttaqin”.
Belajar di Pesantren
Ketika berusia 5 tahun, Syekh Nawawi bersama saudara-saudaranya mendapat pendidikan agama langsung dari ayahandanya. Ilmu-ilmu yang dipelajari meliputi pengetahuan dasar bahasa Arab, fikih, tauhid dan tafsir.
Setelah 3 tahun belajar pengetahuan-pengetahuan dasar tersebut, Syekh Nawawi kemudian menimba ilmu ke beberapa pesantren di Jawa. Bersama kedua saudaranya, Tamim dan Ahmad. Nawawi muda berguru kepada Kiai Sahal, seorang ulama Banten yang terkenal pada saat itu. Setelah merasa cukup belajar pada Kiai Sahal, ia dan kedua adiknya merantau dan berguru lagi kepada Raden Haji Yusuf di Purwakarta.
Pergi ke Mekkah
Beberapa alasan yang membuat Syekh Nawawi pergi ke Mekkah adalah, pertama, keinginan untuk menunaikan ibadah haji. Kedua, keinginan untuk mencari ilmu. Sebagaimana diketahui, bahwa sejak kecil Syekh Nawawi memiliki kemauan yang tinggi dalam hal belajar. Apalagi dengan mempertimbangkan keberadaan kota Mekkah saat itu- bahkan juga kini- adalah merupakan kota penting bagi umat Islam.
Selain Mekkah menjadi tempat ibadah mulia dalam Islam tetapi juga merupakan pusat pendidikan agama. Ketiga, situasi dan kondisi tanah air yang tidak kondusif bagi perkembangan keilmuan dan keagamaan. Pada saat itu, campur tangan pemerintah kolonial Belanda dalam kehidupan sosial agama masyarakat sangat kuat. Setiap gerak gerik umat Islam selalu diawasi dan dibatasi oleh mereka.
Selama di Mekkah, Syekh Nawawi menimba ilmu kepada beberapa ulama yang bertempat tinggal di Masjidil Haram. Di situ, Syekh Nawawi memperdalam banyak fan ilmu, seperti ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir, usul fikih dan lain-lain. Setelah sekitar 30 tahun menimba ilmu dari ulama-ulama di Mekkah, Madinah, Mesir dan Syiria, Syekh Nawawi mendapat banyak pembendaharaan ilmu keagamaan serta mendapat pengalaman-pengalaman yang relatif cukup memadai untuk menjadi seorang ulama dan guru besar di Masjidil Haram. Dengan bekal ilmu pengetahuan yang sudah diperolehnya, maka pada tahun 1860 M., Syekh Nawawi mulai aktif mengajar setiap hari di Masjidil Haram.
Advertisement
Mengajar, Menulis dan dan Menjadi Imam Masjidil Haram
Selama mengajar di Masjidil Haram, Syekh Nawawi dikenal sebagai seorang guru yang simpatik, komunikatif, mudah difahami penjelasannya dan sangat dalam ilmunya sehingga membuat para muridnya berbondong-bondong dari seluruh penjuru dunia datang kepadanya untuk menimba ilmu, dan sebagian besar berasal dari Indonesia. Di antara ulama-ulama Indonesia yang berasal dari Indonesia atau Jawa yang dianggap paling poluler di Mekkah adalah Syekh Nawawi Al-Bantani dan Syekh Akhmad Khatib Al-Minangkabawi.
Di samping mengajar, mengarang dan menjadi Imam di Masjidil Haram, Syekh Nawawi juga tidak luput memantau perkembangan sosial politik di Tanah Air melalui para muridnya yang berasal dari Indonesia, dan juga tak ketinggalan ia turut serta menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia.
Sesungguhnya pada waktu itu, di samping dari para murid yang datang dari Indonesia. Syekh Nawawi- dan juga para Syekh atau ulama lain yang berasal dari Indonesia juga mendapatkan informasi tentang perkembangan situasi sosial politik yang sedang terjadi dari jamaah haji dari Indonesia yang datang ke Mekkah dan Madinah. Karena selain melaksanakan ibadah haji, mereka juga bertukar informasi terutama tentang situasi dan kondisi yang ada di kawasan masing-masing.
Oleh karena itu, selain pelajaran agama, Syekh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaanm anti kolonialisme dan imperialism dengan cara yang halus. Karena, bagi Syekh Nawawi, betapa perlu dan mendesaknya untuk mencetak kader-kader patriotic yang kelak mampu menegakkan kebenaran, menumpas kebatilan dan menghancurkan kedzaliman.
Hasil didikan Syekh Nawawi sikap “anti penjajah” yang disampaikan secara halus tersebut, kemudian diartikulasikan oleh para muridnya setelah mereka kembali ke Tanah Air. Hal ini misalnya, Nampak dalam perjuangan Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari di saat revolusi fisik tengah terjadi. Pada saat itu, ia mengeluarkan “Resolusi Jihad” yang berisi seruan untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah dari Tanah Air Indonesia. Hasil dari Resolusi Jihad tersebut adalah meletusnya peristiwa 10 November di Surabaya yang kemudian setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pahlawan secara Nasional.
Syekh Nawawi akan selalu dikenang
Syekh Nawawi adalah contoh sekaligus bukti bahwa ulama Islam dari selain Arab, seperti Indonesia tidak ketinggalan dengan ulama-ulama Timur Tengah. Secara garis besar, buah ilmu karya Syekh Nawawi menjadi bahan utama dan sering dikaji di pesantren-pesantren seluruh Indonesia, menurut seorang peneliti berkebangsaan Belanda, Prof. Martin Van Bruinisen di antara kitab karya Syekh Nawawi yang sering dikaji di pesantren adalah Kasyiafah Asy-Syaja, Sullam Al-Munajjat, Uqud Al-Lujain, At-Tsimar Al-Yaniah fi Riyad Al-Badiah, Fath Al-Majid, Tijan Durari, Nur Ad-Dzalam, dan karya beliau yang paling popular dan fenomenal adalah Tafsir Munir.
Kehadiran seorang ulama dari tanah Banten dengan kitab-kitab hasil karyanya tersebut memberikan andil yang sangat besar dalam bidang pendidikan dan khazanah keilmuan bagi kaum muslimin dunia, dan Indonesia,khususnya masyarakat tradisional (pesantren) di tanah Jawa, inilah yang menjadi sebab mengapa sampai hari ini masyarakat pesanteren sering di identikkan dengan kaum tradisional dan penghormatan mereka kepada Syekh Nawawi hingga saat ini masih sangat luar biasa, meskipun sudah ratusan tahun berlalu, tak lain ini karena pengaruh dari goresan tinta beliau yang dituangkan dalam kitab-kitab hasil karnyanya tersebut.
Aktivitasnya di bidang keilmuan ini dijalani oleh Syekh Nawawi hingga akhir hayatnya. Pada tanggal 25 Syawwal 1314 H/ 1897 M, di Syi’ib Ali, Mekkah Al-Mukarramah, beliau wafat dan dimakamkan di Ma’la berdekatan dengan makam Ibn Hajar dan Sayyidah Asma’ binti Abu Bakar Ash-shiddiq, Rahimakumllah ya Syekhana, semoga Allah mencurahkan kasih sayang dan limpahan rahmat-Nya untukmu.
(Sumber: dpk.bantenprov.go.id).
Tim Rembulan