Kisah KNIL dan Imigran Indonesia dalam Sejarah Masuknya Islam di Belanda

Menilik sejarah, Islam datang ke Belanda bersama dengan imigran asal Indonesia pada 1945. Sebagian mereka merupakan mantan tentara KNIL

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Sep 2022, 10:30 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2022, 10:30 WIB
Masjid dan pusat komunitas muslim di Belanda. (Foto: bpkh.go.id)
Masjid dan pusat komunitas muslim di Belanda. (Foto: bpkh.go.id)

Liputan6.com, Jakarta - Kerajaan Belanda dikenal sebagai negara yang berideologi liberal, pun dengan keagamaannya yang sekuler. Namun begitu, pada abad 19 ciri khas sebagai negara kerajaan di Eropa, Nasrani lebih dominan, meliputi Kristen, Calvinis dan Katholik.

Kini terjadi pergesaran. 40 persen warga pada era 2.000-an mengaku tidak menganut atau berafiliasi dengan agama apapun.

Kabar baiknya, jumlah pemeluk agama Islam makin berkembang. Perntasenya kini telah mencapai lima persen dari populasi. Mengutip laman bpkh.go.id, terdapat empat kota konsentrasi komunitas Muslim, yakni Amsterdam, Utrecht, Rotterdam, dan Den Haag.

Amsterdam menduduki peringkat pertama dengan persentase Muslim mencapai 17 persen dari total populasi kota. Sebuah persentase yang besar jika dibanding secara nasional karena Muslimin hanya mengambil bagian lima persen dari demografi negeri kincir angin itu.

Geliat Muslim Belanda juga sangat tampak kentara di Kota Utrecht. Kota terbesar keempat Belanda ini merupakan rumah bagi sekitar 45 ribu Muslimin atau sekitar 14 persen dari total penduduk Kota.

Menurut laman Euro-Islam, kegiatan ataupun aktivitas komunitas Islam di Belanda banyak terjadi di Utrecht. Komunitas Muslim Utrecht banyak berada di kawasan para imigran. Mengingat, mereka memang para pendatang meski tak sedikit jumlah Muslim dari kalangan warga asli Belanda.

Corak Islam di Belanda 

Menilik sejarah Islam datang ke Belanda bersama dengan imigran asal Indonesia pada 1945. Sebagian mereka merupakan mantan tentara KNIL. Jumlah Muslimin di antara mereka sekitar 1.000 orang.

Namun, imigran Indonesia tersebut tak banyak mengambil andil dalam pembentukan awal komunitas Muslim di Belanda. Komunitas Muslim baru mulai terlihat ketika datang para imigran asal Suriname. Jumlah mereka terus meningkat sejak datang pertama kali pada 1960-an yang hanya 5.000 orang. Hingga 1980-an, jumlah mereka telah mencapai 30 ribu orang.

Komunitas Muslim pun terbentuk dari para imigran Suriname dan Indonesia. Kemudian, dalam perkembangannya, datang para imigran asal Timur Tengah yang ikut meramaikan etnis Muslim di negara kerajaan tersebut. Mereka berasal dari Turki, Maroko, Tunisia dan negara Timur Tengah lain.

Mereka membentuk komunitas, tapi bersosialisasi dengan masyarakat umum. Kehadiran mereka pun sedikit demi sedikit diterima meski sebagai kelompok minoritas. Mengutip dari RNW, kawasan tempat tinggal Muslim digambarkan sebagai tempat banyak imigran tinggal.

Di sana banyak ditemui toko Turki ataupun Maroko yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari. Suasana Islam pun sangat kental.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Masjid dan Komunitas Islam Indonesia di Belanda

Masjid di Belanda. (Foto: muhammadiyah.or.id)
Masjid di Belanda. (Foto: muhammadiyah.or.id)

Banyak pula masjid berdiri di Utrecht. Tak jelas berapa jumlah masjid di kota pusat keagamaan Belanda itu. Tapi, di seluruh negeri kincir angin saja ada sekitar 400 masjid berdiri. Beberapa masjid di Utrecht, antara lain, Masjid Abi Bakr Assadik, Masjid-ul-Aksa, Masjid Alfath, Masjid Assouna, Masjid Omer Alfarok, Masjid Sayidina Ibrahim, Masjid Ulu, Masdjied Anwar-E-Qoeba, dan masih banyak lain.

Di kota pelajar lokasi universitas terbesar Belanda Utrecht University tersebut, Muslimin bahkan boleh mengumandangkan azan. Hanya saja, azan boleh menggunakan pengeras suara saat hari siang saja. Tak hanya itu, pernah ada pula kabar bahwa masjid-masjid di Utrecht membuka pondok-pondok pesantren.

Muslim Utrecht juga aktif menyuarakan dakwah Islam. Mereka juga tak segan menentang hal yang bertentangan dengan syariat. Seperti kasus penutupan poster di jalanan yang menampilkan foto wanita berpakaian seronok. Isu yang mencuat tahun lalu itu makin menunjukkan eksistensi Muslimin di kota pusat budaya Belanda itu.

Selain itu, Muslimin juga memiliki wakil di dewan parlemen. Para politikus Muslim itulah yang terus membela kepentingan dan hak-hak minoritas Muslim. Mengingat, banyaknya hak Muslimin yang sering kali diabaikan pemerintah karena berasal dari kelompok minoritas.

Kendati demikian, secara umum Pemerintah Belanda menghormati hak beragama. Apalagi, Belanda menganut paham pemisahan gereja dengan negara, yakni agama dipisahkan dari pemerintah. Hal tersebut pun berdampak baik sebagai penyanggah larangan beragama bagi Muslimin.

Komunitas Muslim Indonesia

Di Kota Utrecht, terdapat komunitas Muslim asal Indonesia yang sangat aktif mengadakan beragam kegiatan. Kehadiran mereka juga makin menambah warna komunitas Muslim Utrecht. Stichting Generasi Baru (SGB), demikian nama komunitas Muslim Indonesia tersebut.

SGB berbentuk sebuah yayasan yang terdiri atas komunitas Muslim Indonesia yang tinggal di Utrecht. Peran SGB bahkan menjadi Islamic Center di Utrecht. Mereka juga memiliki sebuah masjid yang menjadi pusat aktivitas keagamaan. Lokasinya berada di De Bazelstraat 31, Utrecht.

Banyak kegiatan yang dihelat SGB. Pesertanya pun bukan hanya Muslim Indonesia, melainkan juga Muslim Utrecht secara umum, bahkan kota-kota lain di Belanda. Salah satu event yang paling besar, yakni saat hari raya. SGB biasa menjadi tuan rumah perayaan Lebaran. Idul fitri tahun lalu, misalnya. SGB merayakan Lebaran bersama sekitar 180 Muslimin dari beragam etnis yang ada di Utrecht.

 

Komunitas Muslim Maroko

Produk UMKM Binaan BRI Ramaikan Tong-Tong Fair di Belanda
BRI membawa produk-produk pelaku UMKM dalam Festival Budaya Indonesia-Eropa Bernama “Tong-Tong Fair” yang bertempat di Centre of Hague, Den Haag, Belanda.

Salah satu kelompok masyarakat Muslim dengan populasi yang cukup banyak di Belanda adalah orang Maroko dari Afrika bagian utara. Pada beberapa dekade silam mereka datang ke Belanda hanya sebagai pekerja kasar, namun kini nuansa Islam dan budaya Maroko mereka turut mewarnai Negeri Belanda.

Kehadiran Islam yang dibawa oleh orang Maroko di Belanda tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah yang ada. Pada paroh kedua dekade 1940an Belanda masih merupakan negeri yang hancur-lebur akibat Perang Dunia Kedua. Tapi, pada tahun 1960an dan 1970an Negeri Belanda terjadi perubahan besar.

Belanda mengalami perkembangan ekonomi yang sangat baik, termasuk dengan berdirinya berbagai pabrik yang membutuhkan banyak pekerja lepas, atau istilah di zaman dulu, “pekerja tamu”, dari luar negeri.

Pada tahun 1969 pemerintah Belanda dan Maroko menandatangani perjanjian imigrasi. Maka, sesudah itu muncullah gelombang imigrasi besar warga asal Maroko (dan juga Turki) ke Belanda. Mereka, yang umumnya beragama Islam dan berasal dari desa berpenduduk padat, dikontrak selama beberapa tahun untuk bekerja di berbagai bidang pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik, termasuk di pabrik-pabrik. Tak heran bila generasi pertama migran yang datang adalah laki-laki.

Walaupun masa kerja mereka sudah habis, sebagian dari mereka memilih untuk tetap tinggal di Belanda. Mereka mengajak serta istri dan anak mereka untuk tinggal di Belanda. Dewasa ini, para pengamat menyebut bahwa ada tiga generasi orang Maroko di Belanda. Generasi pertama, yang kini sudah berusia lanjut, adalah migran generasi pertama, yang datang ke Belanda tahun 1970an dan 1980an.

Generasi kedua adalah anak-anak mereka yang mereka bawa ke Belanda pada usia masih kecil atapun anak-anak yang lahir di Belanda. Anak-anak ini kini sudah dewasa dan punya keluarga sendiri. Adapun generasi ketiga adalah anak-anak yang lahir dari generasi kedua ini. Kini ada sekitar 2,3 persen orang Maroko di Belanda dari total jumlah penduduk Belanda yang sebanyak 17 juta jiwa. (Sumber: bpkh.go.id dan suaramuhammadiyah.or.id)

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya