Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Habib Umar bin Hafidz

Habib Umar bin Hafidz bicara soal hukum mengucapkan selamat Natal, bolehkah?

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Des 2022, 06:30 WIB
Diterbitkan 20 Des 2022, 06:30 WIB
Habib Umar bin Hafidz. (Foto: Wikimedia Commons)
Habib Umar bin Hafidz. (Foto: Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Jakarta - Topik Natal dan pernak-perniknya selalu menarik dibahas. Salah satunya yakni hukum mengucapkan 'selamat Natal'.

Soal ini, Habib Umar bin Hafidz sempat membahasnya dalam diskusi bedah buku diselenggarakan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Yaman cabang Hadhramaut di Auditorium Fakultas Syariah dan Hukum, Universtitas Al-Ahgaff Tarim, Hadhramaut, Yaman, nyaris satu dekade lalu, tepatnya pada Jumat (27/12/2022) dan dimuat di nu.or.id, pada 31 Desember 2022.

Dalam kesempatan itu, Habib Umar bin Hafidz menerima pertanyaan dari peserta diskusi soal hukum mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani ((tahni’ah).

Ia menjawab bahwa ucapan tersebut boleh selama tak disertai pengakuan (iqrar) terhadap hal-hal yang bertentangan dengan pokok akidah Islam, seperti klaim Isa anak Tuhan dan keikutsertaan dalam kemaksiatan.

Kebolehan ini, tutur Habib Umar, karena memuliakan para utusan Allah, termasuk Nabi Isa, adalah di antara hal yang pasti diakui dalam Islam (min dharuriyyati hadza ad-din).

Habib Umar bin Hafidz menegaskan, sikap moderat (wasathiyah) adalah karakter inti ajaran Islam yang merepresentasikan perilaku Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Hal ini ia sampaikan dalam acara bedah buku karyanya, al-Wasathiyyah fil Islam (Moderat dalam Perspektif Islam).

Habib Umar mengutip surat al-Baqarah (143), “Dan demikianlah Kami (Tuhan) jadikan kalian umat yang ‘wasath’ (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.”

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Walisongo dan Prinsip Moderat

[Bintang] Ciri Orang Kembali Fitrah Menurut Wali Songo
Sunan Kalijaga | Dok. Bintang.com/Ardini Maharani

Dalam ayat tersebut umat Islam dipuji Tuhan sebagai golongan yang ‘wasath’ karena mereka tak terjerembab dalam dua titik ekstrem. Yang pertama, ekstremitas umat Kristen yang mengenal tradisi “rahbaniyyah” atau kehidupan kependetaan yang menolak keras dimensi jasad dalam kehidupan manusia serta pengkultusan terhadap utusan.

Yang kedua adalah ekstremitas umat Yahudi yang melakukan distorsi atas Kitab Suci mereka serta melakukan pembunuhan atas sejumlah nabi. Habib Umar mengajak setiap Muslim untuk tidak berlaku tatharruf (ekstrem) dalam menjalankan ajaran agama.

“Ekstrimisme yang terjadi akhir-akhir ini terjadi karena konsep wasathiyah mulai terkikis,” terang pengasuh perguruan Darul Mushtafa ini di hadapan 500 pelajar, dikutip, Senin (19/12/2022).

Karenanya, tutur Habib Umar, sikap moderat harus menjelma di setiap dimensi kehidupan seorang muslim, baik dalam ranah akidah, pemikiran, etika, maupun interaksi dengan orang lain. Habib Umar menyebut Walisongo sebagai contoh ideal yang berhasil menerapkan prinsip moderat dalam kegiatan dakwah menyebarkan Islam di Nusantara.

“Dengan sikap moderat yang ditunjukkan Wali Songo, Islam dapat diterima dengan baik di Indonesia,” ujar Habib Umar. 

Sementara itu, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff Dr Muhammad Abdul Qadir al-Aydrus mengatakan, di tengah radikalisme yang marak dalam kehidupan beragama, makna moderasi perlu diulas kembali.

“Setiap orang mengaku dirinya menempuh jalan yang moderat, sehingga pengertian dari terma wasathiyah sendiri harus diperjelas,” ujar dosen jebolan Universitas Badhdad tersebut saat memberi sambutan.

Usai bedah buku, acara Departemen Pendidikan dan Dakwah PPI Hadhramaut ini juga meluncurkan buku berjudul

“Janganlah Berbantah-bantahan yang Menyebabkan Kamu Menjadi Gentar dan Hilang Kekuatanmu”, sebuah terjemah atas karya Habib Umar berjudul “Wa La Tanaza’u Fatafsyalu wa Tadzhaba Riihukum”.

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya