Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Sepeda motor matik milik Wildan nyaris rebah saat melintasi jalan berpasir. Kaki kanan tenaga kesehatan yang bertugas di Desa Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur itu sekuat mungkin menahan agar motor tak rebah.
Istrinya yang dibonceng lalu bergegas turun diikuti anak laki-laki tertua yang duduk di tengah di antara mereka. Anak bungsu yang duduk di depan pun ikut turun untuk meringankan beban motor.
Saat itu Ramadan 2023 baru saja mulai. Raden Wildan Budhi Prasetyo, nama lengkapnya, bertugas di sebuah desa terpencil dan nyaris terisolir.
Advertisement
Akses termudah sebenarnya melewati sungai kecil namun sulit untuk mengangkut kendaraan roda dua. Sementara dia berniat untuk mudik ke kampung halamannya di Lombok, Nusa Tenggara Barat dengan mengendarai sepeda motor yang telah lunas kreditnya.
“Sepeda motor duluan dibawa ke Kota Bangun. Sebab kalau langsung mudik dari Enggelam pakai motor, dengan jalan seperti itu, akan sulit membawa barang,” kata Wildan, Rabu (19/4/2-23).
Dua hari jelang lebaran Idul Fitri, Wildan sudah sampai di kampung halamannya. Dia kemudian bercerita pengalaman mudik selama lima hari kepada liputan6.com.
Kota Bangun adalah salah satu pusat keramaian di alur Sungai Mahakam. Jika ditempuh jalan darat, masih butuh waktu dua jam lagi dari Kota Bangun untuk sampai di Kota Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara. Sementara dari Desa Enggelam, butuh waktu nyaris setengah hari dengan sepeda motor menuju Kota Bangun.
Perjalanan mudiknya pun dimulai pada 14 April 2023 saat semua urusan pelayanan kesehatannya dianggap selesai dan ada tenaga kesehatan lainnya yang berjaga selama dia mudik. Karena sepeda motor duluan sampai di Kota Bangun, Wildan sekeluarga beserta barang bawaan menggunakan jalur air.
Wildan harus menyusuri Sungai Enggelam selama dua jam lalu menyeberangi Danau Melintang seluas 11 ribu hektar. Itu pun belum cukup, Wildan dan keluarga juga harus menyeberangi Danau Semayang dengan luas 13 ribu hektar.
“Beristirahat semalam di Kota Bangun lalu lanjut perjalanan ke Kota Balikpapan. Sebab kami pakai kapal fery dari Balikpapan menuju Surabaya,” kata Wildan.
Butuh waktu lebih dari 7 jam untuk sampai ke Kota Balikpapan. Di tempat keluarga di kota penyangga IKN Nusantara itu Wildan beristirahat sambil menunggu jadwal keberangakatan kapal.
Pada Rabu Minggu (16/4/2023) pagi Wildan kemudian berangkat dengan sepeda motor. Selama hampir tiga hari Wildan harus mengarungi lautan untuk bisa sampai ke kampung halaman.
Hemat Biaya
Tentu bisa ditebak kenapa memilih transportasi laut untuk pulang kampung sejauh itu. Karena perjalanan dengan kapal via laut bisa sangat menghemat biaya.
Sebagai tenaga honorer atau tenaga kontrak daerah, jangan berharap bisa punya uang lebih untuk bermewah-mewah pulang kampung. Bisa sampai di kampung halaman saja sudah sangat bersyukur.
Beruntung, gaji beserta Tunjangan Hari Raya (THR) bisa cair lebih cepat. Padahal biasanya, sebagai tenaga honor, gaji di awal tahun biasanya terlambat beberapa bulan.
“Dan bisa menikmati suasana laut di perjalanan,” katanya seolah ada alasan lain selain masalah biaya.
Sementara memilih tetap membawa sepeda motor karena alasan kemudahan. Mudik kali ini sudah dia prediksi bakal melonjak dan tentu sulit mendapatkan tempat di kapal.
“Karena pemudik ini pasti ramai dan berebutan tempat. Biasanya di kapal fery, penumpang dengan kendaraan akan didahulukan naik jadi kami bisa lebih cepat dapat tempat di kapal,” ujar Wildan.
Tapi jangan disangka perjalanan via laut ini murah-murah amat. Wildan harus merogoh kocek Rp4 juta untuk sekali perjalanan. Biaya tersebut untuk tiket kapal dari Balikpapan menuju Lombok.
“Kalau pakai pesawat, per orang bisa Rp3 juta. Kalau kami berempat ya hitung saja,” katanya sambil tertawa.
Perbandingan yang tentunya sangat jauh. Meski butuh waktu lebih lama, namun ukuran prioritas bagi tenaga kesehatan yang bertugas di pedalaman ini bukan waktu, namun biaya.
Wildan dan istri adalah sedikit tenaga kesehatan yang bersedia ditugaskan di desa terpencil dengan fasilitas sangat terbatas. Dia sudah bertugas di desa nun jauh di tengah Pulau Kalimantan itu sejak 2016 silam.
Hanya dia yang sanggup bertahan selama itu di desa yang mayoritas di huni Suku Dayak Tunjung. Istrinya adalah bidan yang belum lama ditempatkan di desa yang sama.
Pasangan muda ini sempat berbeda tempat bertugas sejak 2018 desa hingga awal tahun 2023. Selama itu mereka bertahan tanpa mengeluh demi pelayanan kesehatan di tempat yang tak banyak orang mau bertugas.
Ujian lainnya adalah Desa Enggelam dihuni mayoritas beragama Kristen. Tak ada masjid, apalagi langar.
Di setiap Ramadan, Wildan tak pernah merasakan keseruan bulan suci ini. Sebab hanya dia dan satu keluarga di desa itu yang muslim. Tak ada alasan lebih kuat selain panggilan hati yang membuat Wildan dan istrinya mau bertahan selama itu.
"Tak berani laju, bos. Ada anak istri, perjalanan panjang. Kaltim - NTB," tulisnya di sebuah kertas yang ditempel di bawah plat nomor polisi bagian belakang.
Advertisement