Liputan6.com, Jakarta - Kisah masyhur di kalangan umat Islam, hewan kurban menjadi kendaraan saat melintasi Shiratal Mustaqim. Karena itu ada idiom, semakin tinggi, kekar dan gagah hewan kurban, larinya makin cepat.
Sebaliknya, jika hewan kurban biasa saja atau alakadarnya, hendaknya saat dikendarai lebih lambat dan kerap diolok-olok akan terseok-seok.
Advertisement
Baca Juga
Di Indonesia, dua hewan yang paling populer jadi hewan kurban adalah kambing dan sapi. Kambing lebih ekonomis, sedangkan sapi lumrahnya dikurbankan oleh keluarga yang relatif berpunya.
Sementara sapi biasanya untuk sekeluarga atau hasil patungan perorangan untuk tujuh orang.
Terlepas dari jenisnya, yang kerap menjadi pertanyaan adalah, benarkah hewan kurban akan dikendarai saat melintasi Shiratal Mustaqim?
Soal ini, dai kondang Ustaz Adi Hidayat (UAH) menjelaskan dengan gamblang. Dia merinci derajat hadis yang menjadi dalil hingga hikmahnya.
Penjelasan UAH
Menurut UAH, ada banyak hadis yang menyebut hewan kurban seorang muslim akan menjadi kendaraannya kelak di akhirat kelak. UAH tidak membantah keberadaan hadis-hadis tersebut.
UAH mengutip salah satu hadis yang kerap menjadi dalil untuk menguatkan pernyataan tersebut. Hadis itu berbunyi:
عَظِّمُوْا ضَحَايَاكُمْ فَإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ
“Besar-besarkan qurban-qurban kamu, sebab dia akan menjadi kendaraanmu di atas shirat (kelak).”
Namun, kata UAH, riwayat hadis itu dinilai sangat lemah oleh ahli hadis. Bahkan, di antaranya tidak memiliki asal, sehingga riwayat tersebut dianggap bermasalah.
“Ibnu Al-Arabi Al-Maliki menyebut hampir seluruh hadits yang terkait dengan keutamaan-keutamaan penyembelihan kurban yang berlebihan itu tidak ditemukan kekuatannya atau dipandang lemah,” kata UAH di kanal Adi Hidayat Official via laman langit7.id, dikutip Selasa (13/6/2023).
Ibn ash-Shalaah berkata saat mengomentari hadits di atas, “hadits ini tidak dikenal dan tidak tsabit (valid).”
Dinukil oleh syaikh Ismail al-Aljuny di dalam kitab Kasyf al-Khafaa, sebelumnya dinukil oleh Ibn al-Mulaqqin dalam kitab al-Khulashah, dia menambahkan, “menurutku, pengarang Musnad Al-Firdaus menisbatkannya dengan lafazh ‘Istafrihuu’ sebagai lafazh ‘Azhzhimuu’ (di atas). Kedua-duanya bermakna, ‘berkurbanlah dengan qurban yang mahal, kuat dan gemuk.”
Syaikh al-Bany dalam kitab Silsilah al-Ahaadits adl-Dla’ifah Wa al-Mawdluu Wa Atsaruha as-Sayyi, mengomentari, “Dan sanadnya dhaif jiddan (lemah sekali).”
Advertisement
Hikmah yang Bisa Dipetik
Di dalam buku yang sama, Syaikh al-Bany juga mengomentari hadits lain yang memiliki makna serupa, hanya berbeda lafazh, yakni:
اِسْتَفْرِهُوْا ضَحاَيَاكُمْ فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلَى الصِّرَاطِ
“Perbaguslah hewan kurban kalian, karena dia akan menjadi tunggangan kalian melewati shirath.”
Syaikh al-bany mengomentari, “kualitasnya dhaif jiddan.” Dia beralasan ada cacat pada periwayat yang bernama Ibn Ubaidillah bin Abdullah bin Mawhib al-Madany. Dia bukan periwayat yang Tsiqah.
Sementara, Ibnu Hatim dari ayahnya mengatakan, “dia seorang periwayat hadits yang lemah, bahkan hadits yang diriwayatkannya Munkar Jiddan.”
Imam Muslim dan an-Nasa’iy mengatakan, “haditsnya ditinggalkan (tidak digubris).” Sedangkan ayahnya, “Ubaidullah adalah seorang periwayat yang Majhul (anonim).”
Masih banyak ulama-ulama hadis yang mengatakan hadits dari jalur Ibn Ubaidillah bin Abdullah tidak bisa diterima. Kendati begitu, UAH mengatakan, ada sesuatu yang menarik dari komentar yang dilontarkan.
“Perkataan-perkataan (hadis) ini sesungguhnya bukan ingin menunjukkan dari riwayat aslinya, tapi berupa majas atau kiasan. Dari isinya ini bermakna kiasan dalam arti pemahaman memperbagus hewan kurban, supaya pahalanya banyak dan dengan pahala itulah kendaraan terbaik untuk menuju surga dengan rahmat Allah Ta’ala,” tutur UAH.
Tim Rembulan