Liputan6.com, Jakarta - Banyak yang memahami bahwa khitan perempuan merupakan tradisi turun temurun. Praktik khitan perempuan banyak kita temui di wilayah-wilayah pegunungan yang beragama Islam.
Baca Juga
Advertisement
Demikian halnya praktik ini mudah ditemui di beberapa wilayah pesisir yang beragama Islam. Bahkan di beberapa daerah kita temui praktik khitan perempuan ini diiringi dengan acara tasyakuran yang mengundang banyak orang.
Hanya saja jikalau diadakan tasyakuran atau walimahan biasanya tidak semeriah ketika menyelenggarakan khitanan untuk anak laki-laki.
Hal lain yang penting juga diketahui ialah tentang hukum khitan perempuan. Berikut ini ulasan tentang hukum khitan bagi perempuan.
Simak Video Pilihan Ini:
Hadis yang Menerangkan Khitan Perempuan
Menukil NU Online, hadis yang secara spesifik terkait khitan perempuan adalah riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ)
Artinya: “Dari Ummi ‘Athiyyah al-Anshariyyah, bahwa seorang perempuan melakukan khitan di Madinah, Nabi saw pun mengomentari, “Jangan berlebihan dalam mengkhitan [perempuan], karena khitan itu bagus untuk wanita dan lebih disukai suaminya.” (HR Abu Dawud).
Merujuk kepada teks lengkap hadits ini dalam kitab Sunan Abi Dawud, maka kita mendapati komentar langsung beliau terhadap hadits ini, yaitu: Hadits ini diriwayatkan dari ‘Ubaydullah bin ‘Amrin, dari ‘Abdil Malik dengan makna dan sanadnya.
‘Ubaydullah bukanlah seorang yang kuat hafalannya, terkadang ia me-mursal-kan hadits. Muhammad bin Hasan dalam sanad hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui profilnya), dan hadits ini statusnya dha’if. (Abu Dawud, Sunan Abi Daud, [Beirut: Dar al-Kitab al-’Arabi, t.t.], jilid IV, hal. 368).
Terkait penjelasan hadits ini, Ibnu Ruslan dalam kitab Syarh Sunan Abi Daud yang ditulisnya memaparkan secara detail latar belakang munculnya hadits ini. Konon, sahabat yang dikhitan di Madinah dari kalangan perempuan yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah Ummu ‘Athiyyah.
Kala itu, ketika Nabi Saw mengetahui bahwa Ummu ‘Athiyyah akan dikhitan, Nabi saw menganjurkan agar tidak berlebihan dalam memotongnya. Hal ini dapat dilihat dalam redaksi hadits. Makna dari lafaz tersebut dijelaskan Ibnu Ruslan dengan ‘jangan memotongnya terlalu berlebih’ pada konteks khitan wanita. (Ibnu Ruslan al-Ramli, Syarh Sunan Abi Daud Li Ibni Ruslan, [Mesir: Darul Falah, 2016], jilid XIX, halaman. 670-671)
Merujuk pada ‘Aunul Ma’bud terdapat penjelasan terkait perbedaan khitan perempuan dengan laki-laki. Adapun khitan laki-laki yaitu memotong kulit yang menutupi hasyafah, sedangkan perempuan hanya sedikit saja seukur melaksanakan formalitas khitan itu sendiri. (Muhammad Syams al-Haqq Al-’Adzim Abadi, ’Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, [Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t.], jilid XIV, halaman 125).
Advertisement
Ragam Hukumnya
Hukum khitan perempuan Jika merujuk pendapat mazhab Syafi’i, kita mendapati bahwa hukum khitan bagi perempuan adalah wajib. Keterangan ini dirujuk dari Hasyiyah Qalyubi Wa ‘Umairah jilid XV halaman 336:
وَيَجِبُ خِتَانُ الْمَرْأَةِ بِجُزْءٍ أمِنْ اللَّحْمَةِ بِأَعْلَى الْفَرْج
Artinya: “Wajib hukumnya khitan perempuan dengan memotong bagian kulit di atas farj.” (Syihabuddin al-Qalyubi dan Ahmad ‘Umayrah, Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umayrah ‘alal Minhaj, jilid XV halaman 336).
Adapun terkait hukum khitan yang ada dalam hadits riwayat Abu Dawud di atas, sebagaimana mengutip dari ‘Umdatul Ahkam, ‘Abdurrahman as-Sa’di menyebut hukumnya sunnah, di mana ia meninjau perbedaan pendapat soal khitan dilatarbelakangi kondisi geografis dan cuaca di sebagian wilayah yang berpengaruh kepada alat vital.
Beliau menyebutkan:
والخلاصة أن ختان الإناث معروف، وهو من السنة خلافاً لمن أنكره، والذي يظهر أن له علاقة باختلاف المناطق ما بين حارة وباردة
Artinya: “Kesimpulannya bahwa khitan perempuan ma’ruf (umum diketahui), dia bagian dari sunnah, pendapat tersebut bertentangan dengan orang yang mengingkari khitan bagi perempuan. Perdebatan yang tampak pada masalah ini memiliki kaitan dengan perbedaan wilayah, antara daerah yang relatif panas dan yang dingin.” (‘Abdurrahman as-Sa’di, Syarh ’Umdatul Ahkam, jilid I, halaman 106).
Al-Munawi dalam Faidhul Qadir syarh Jami’ush Shagir, menyebut: “Khitan bagi laki-laki adalah sunah, sedangkan bagi perempuan masuk kategori bentuk memuliakan mereka”.
Perkataan tadi diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dari hadits al-Hajjaj dari Walid Abil Malih.
Khitan perempuan dalam putusan NU merujuk pada Ahkamul Fuqaha halaman 918, para ulama berbeda pendapat soal hukum khitan.
Ada yang mengatakan wajib sebagaimana mazhab Syafi’i, ada yang mengatakan sunnah, dan ada yang mengatakan mubah.
Di sisi lain ada pula yang melarang, meskipun pendapat ini tidak memiliki dalil kecuali dengan melihat bahwa khitan perempuan dapat menyakiti mereka. Adapun dasar yang menyebutkan hukum khitan adalah sunnah sebagaimana riwayat Imam Ahmad, “Sungguh Nabi saw bersabda, ‘Khitan itu hukumnya sunnah bagi para lelaki dan kemuliaan bagi para perempuan’.” (HR Ahmad).
Kata sunnah pada hadits tersebut bukan diartikan sebagai lawan dari wajib. Hanya saja, kata sunnah dalam hadits tersebut merujuk pada tradisi penduduk Madinah yang mengharuskan perempuan untuk dikhitan.
Merujuk pada Ahkamul Fuqaha halaman 919, hadits tersebut maksudnya adalah laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding perempuan. Sehingga makna yang dikehendaki adalah, “Laki-laki sunnah berkhitan, sementara perempuan mubah,” atau “Laki-laki wajib berkhitan sementara perempuan sunnah.”
Adapun hikmah diadakannya khitan bagi perempuan adalah mengikuti syariat Allah dan sunnah Nabi, untuk kesucian, kebersihan dan mencegah infeksi saluran kencing, menstabilkan syahwat, dan lain-lain. (Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010 M), halaman 919).
Demikianlah penjelasan terkait kajian hadits soal khitan perempuan. Di masa kini, sumber dan referensi dari berbagai perspektif dapat kita dapatkan, sehingga hendaknya para pembaca dapat mencari sumber lain dalam perspektif medis misalnya untuk memverifikasi positif dan negatif soal khitan perempuan. Wallahu a’lam.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul