Kisah KH Sya'roni Ahmadi, Yatim Piatu yang Hafal Al-Qur'an dan Alfiyah Ibnu Malik Usia Belasan Tahun

KH Sya’roni Ahmadi terlahir dari keluarga santri, sejak kecil beliau dikenal sebagai anak yang gandrung mengkaji agama, mulai dari al-Qur’an sampai tauhid, fikih, tasawuf dan sebagainya

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 03 Feb 2024, 04:30 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2024, 04:30 WIB
Ulama Al-Qur'an asal Kudus, KH Sya'roni Ahmadi. (Foto: NU Online)
Ulama Al-Qur'an asal Kudus, KH Sya'roni Ahmadi. (Foto: NU Online)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia diberkati ulama-ulama alim sejak masa silam. Mulai dari zaman Walisongo, masa pra-kemerdekaan, hingga kekinian.

Adalah KH Sya'roni Ahmadi, seorang ulama Al-Qur'an asal Kudus, Jawa Tengah. Beliau mengalami masa penjajahan Belanda, Jepang, revolusi kemerdekaan, hingga geger PKI 1965.

KH Sya'roni Ahmadi lahir pada zaman serba sulit, akhir 1920-an, beberapa riwayat lain secara resmi menyatakan beliau lahir pada 1931 di Kudus. Pada masa itu, represi kolonial sangat terasa lantaran dimulainya pergerakan kemerdekaan, termasuk dari kalangan santri.

Melansir blog talimulquranalasror, KH. Sya’roni Al-Hafidz terlahir dari keluarga santri. Sejak kecil beliau dikenal sebagai anak yang gandrung mengkaji agama, mulai dari al-Qur’an sampai tauhid, fikih, tasawuf dan sebagainya.

Meskipun berasal dari keluarga dari ekonomi pas-pasan, terbukti beliau rajin mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan di kota Kudus dan sekitarnya. Sosok Sya’roni kecil termasuk anak yang cerdas dan rajin.

Cobaan dialami oleh Sya'roni kecil. Pada usia 8 tahun, beliau ditinggal oleh sang ibunda wafat. Sepeninggal ibunya Kyai Sya’roni di asuh oleh sang ayah.

Cobaan itu tak menyurutkan semangat Sya'roni kecil. Terbukti, pada usia 11 tahun, beliau telah hafal Kitab Alfiyah Ibnu Malik.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Hafal Al-Qur'an di Usia 14 Tahun

Kh Sya'roni Ahmadi, ulama ahli Al-Qur'an mantan Mu'tasyar PBNU. (Foto: NU Online)
Kh Sya'roni Ahmadi, ulama ahli Al-Qur'an mantan Mu'tasyar PBNU. (Foto: NU Online)

Kiai Sya'roni terus belajar dengan giat. Lagi-lagi cobaan kembali datang menghampiri. Kali ini, ayahnya meninggal saat Sya'roni berumur 13 tahun.

Namun hal itu juga tidak menjadi penghalang tekad Sya'roni. Pada usia 14 tahun, Sya'roni remaja hafal Al-Qur'an atau hafidz. Hebatnya, beliau hafal Al-Qur'an dalam kondisinya yang yatim piatu.

 

Pada tingkatan pendidikan formalnya, Sya’roni pernah melewati pendidikan di Madrasah Diniyah Mu’awanah di Madrasah Ma’ahid lama (pada masa KH. Muchit). Sedangkan pada pendidikan nonformalnya, beliau belajar banyak dari satu tempat ke tempat lain.

Untuk belajar al-Qur’an (menghafal al-Qur’an) utamanya Qira’ah Sab’ah beliau berguru kepada KH Arwani Amin Kudus yang mengasuh Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an. Beliau juga sempat berguru kepada KH. Turmudzi, KH. Asnawi, KH. Turaichan Adjuri dan lain-lain.

Kyai Sya’roni banyak dikenal sebagai sosok yang menguasai ilmu agama secara interdisipliner, dalam hal ini Kyai Sya’roni tidak hanya mahir dalam ilmu tafsir, tetapi juga dalam ushul al-fiqh, fikih, mantiq, balaghah dan sebagainya. Dalam hal al-Qur’an, beliau tidak hanya pandai membacanya namun juga pintar melagukannya bahkan beliau menjadi Dewan Musabaqah Tilawatil al-Qur’an (MTQ) tingkat nasional.

Keras Melawan PKI

KH Sya'roni Ahmadi, ulama Al-Qur'an asal Kudus yang juga pernah menjabat Mustasyar PBNU. (Foto: NU Online)
KH Sya'roni Ahmadi, ulama Al-Qur'an asal Kudus yang juga pernah menjabat Mustasyar PBNU. (Foto: NU Online)

Setelah sekian lama bergumul dengan ilmu dan pengajian-pengajian, Kyai Sya’roni akhirnya menikah pada tahun 1962. Beliau menyunting seorang gadis bernama Afifah. Dari pernikahan itu beliau dianugerahi 8 anak putra, 2 anak laki-laki dan 6 anak perempuan.

Kyai Sya’roni mulai berdakwah di masyarakat dalam usianya yang sangat muda. Dalam melaksanakan Dakwah Islamiyah ini, Kyai Sya’roni menggunakan dua model. Pertama yakni model Dakwah di Masjid-masjid atau di sebuah rumah warga yang dijadikan tempat untuk mengaji; kedua adalah Pengajian Umum atau Tabligh Akbar.

Metode pertama ini biasanya dipakai dan dikonsumsi oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Pengajian yang dilakukan sudah ditetapkan jadwalnya dan proses pengajarannya pun dilakukan secara berkesinambungan. Sedang model kedua biasanya dipakai untuk berdakwah di luar daerah. Hal ini karena di samping masalah waktu yang tidak memungkinkan untuk berdakwah dengan model pertama juga terkadang karena permintaan dari penduduk setempat.

Dalam melakukan Dakwah Islamiyah, sekitar tahun 1960 sampai 1970-an, Kyai Sya’roni dikenal sebagai tokoh yang sangat keras. Apalagi saat itu adalah masa-masa meruyaknya ideologi komunisme yang dilancarkan PKI.

Gaya ini selalu dipakai Kyai Sya’roni dalam berbagai kesempatan karena keadaan waktu itu mengandaikan demikian. Baik ketika khutbah maupun pengajian umum atau tabligh akbar beliau selalu tampil dengan mengambil hukum yang tegas ketika dihadapkan pada suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat (waqi’iyyah). Konon, gaya seperti ini sering dipakai KH. Turaikhan dalam berdakwah.

Kiai Kharismatik

KH Sya'roni Ahmadi (Mustasyar PBNU) dengan KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur (Ketua Umum PBNU). (Foto: NU Online)
KH Sya'roni Ahmadi (Mustasyar PBNU) dengan KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur (Ketua Umum PBNU). (Foto: NU Online)

Namun, sekitar periode 1980-an, Kyai Sya’roni mulai banting setir. Gaya dakwah yang selama ini dilakukan dengan nada keras dirubah total dengan memakai gaya yang melunak. Perubahan gaya dalam berdakwah ini dilakukan dengan pendekatan komparatif yakni merujuk kepada pergeseran masyarakat dari waktu ke waktu serta logika kebutuhan masyarakat yang tiap saat berubah. Karena masyarakat dari waktu ke waktu berubah maka metode berdakwah pun mesti berubah.

Kyai Sya’roni pada zaman penjajahan Belanda sempat terlibat dalam perang-perang gerilya dalam rangka pengusiran Belanda dari muka bumi Indonesia. Tahun 1965 yakni masa pemberontakan PKI Kyai Sya’roni juga merupakan salah seorang yang menjadi target operasi yang dilakukan oleh PKI.

Hal ini karena Kyai Sya’roni merupakan sosok yang rajin berkampanye dan membuat pengajian-pengajian. Kyai Sya’roni dengan tegas menolak ideologi komunisme PKI.

Dalam konteks kepartaian, pada tahun 1955-an Kyai Sya’roni merupakan sosok yang rajin berkampanye untuk Partai NU. Sampai dengan tahun 1970-an Kyai Sya’roni juga sering terlibat aktif dalam Partai NU sampai akhirnya NU mengambil keputusan kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar Situbondo tahun 1984. Dan beliau merupakan orang NU yang mendukung kembali khittah NU 1926. Adapun pasca khittah NU Kyai Sya’roni juga sempat terlibat di Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun beliau hanya bermain di belakang layar dan tidak berada di garis struktural kepartaian. Beliau cenderung mengambil posisi netral.

Langkah ini menjadikan Kyai Sya’roni mampu diterima oleh semua kalangan. Hubungan dengan Pemerintah Daerah yang waktu itu didominasi oleh Golkar tetap terjaga dengan baik. Ditambah lagi dengan pembawaan beliau yang lunak dan halus. Baliau juga sangat menghindari kepentingan Partai dalam setiap pengajian yang dilakukan. Kegiatan kultural Kyai Sya’roni pun tetap berjalan dengan baik. Bahkan beliau menjadi sosok yang disegani, baik oleh Pemerintah Daerah maupun kelompok-kelompok yang lain.

Ulama besar asal Kudus Jawa Tengah, KH Sya’roni Ahmadi, wafat pada Selasa pagi (27/4/2021. Beliau meninggalkan ilmu yang terus dikaji oleh generasi setelahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya