Liputan6.com, Jakarta - Abu Bakar As Shiddiq RA adalah sosok sahabat nabi yang sangat dihormati dan dikenal dengan ketulusan hatinya. Namun, ada satu kejadian yang membuatnya berbeda dari sahabat lainnya saat menjalankan ibadah. Ketika beliau mengimami sholat, hal yang paling mencolok adalah tangisan yang selalu mengiringi takbir pertama.
Abu Bakar menangis bukan karena rasa takut, tetapi karena kekhusyukan yang begitu dalam dalam setiap gerakan sholat.
Advertisement
Kisah ini menjadi menarik untuk dibahas, terlebih karena mengingatkan kita pada betapa pentingnya kekhusyukan dalam beribadah. Abu Bakar, meski seorang sahabat Nabi yang besar, tidak merasa aman dari godaan ketidakkhusyukan dalam sholat.
Advertisement
Bahkan, ketika dihadapkan dengan tanggung jawab menjadi imam, ia merasa gentar. Abu Bakar As Shiddiq RA khawatir jika dirinya tidak mampu menjaga kekhusyukan, makmum akan sulit mengikuti sholat dengan benar.
Dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @hwmofc, Ustadz Adi Hidayat (UAH) mengungkapkan bahwa Abu Bakar merasa dirinya bukan sosok yang tepat untuk menjadi imam.
Dalam ceramah tersebut, dijelaskan bagaimana perasaan perasa Abu Bakar menjadi penghalang bagi dirinya untuk memimpin orang lain dalam sholat. Ketika Rasulullah SAW menunjuknya sebagai imam, ia merendah dan berkata,
“Ya Rasulullah, jangan saya, saya ini orangnya perasa.”
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Ini Alasan Abu Bakar Menangis
Ternyata, tangisan Abu Bakar saat takbir adalah bentuk penghayatan yang sangat mendalam terhadap bacaan sholat. Ketika melafalkan takbir, Abu Bakar mencoba untuk benar-benar memisahkan urusan dunia dari dalam hatinya. Hal ini menjadi contoh nyata bagaimana seseorang berusaha untuk sepenuhnya menghadirkan diri dalam sholat, melepaskan segala beban duniawi.
Abu Bakar tidak ingin dunia menjadi gangguan dalam ibadahnya. Seperti yang disampaikan dalam ceramah tersebut, Ustadz Adi Hidayat menekankan pentingnya untuk meninggalkan segala urusan dunia ketika kita memasuki sholat. Misalnya, meski lisan kita mengucapkan “Allahu Akbar,” tetapi dalam hati masih ada berbagai pikiran yang mengusik, seperti urusan pekerjaan atau masalah pribadi.
Situasi ini juga sering kali terjadi pada banyak orang. Saat sholat, seseorang mungkin masih memikirkan hal-hal duniawi, seperti pesan yang masuk di ponsel atau pekerjaan yang belum selesai. “Allahu Akbar” diucapkan dengan lisan, namun pikiran kita terbelah dengan dunia. Ini adalah salah satu hal yang menyebabkan kekhusyukan dalam sholat sering kali terganggu.
Abu Bakar, yang sangat peka terhadap ketidakkhusyukan, berusaha memisahkan dunia dari ibadahnya. Dengan penuh kesadaran, ia berusaha untuk mengosongkan pikiran dan hatinya agar dapat sepenuhnya berfokus pada Allah. Maka tak heran jika takbir pertama selalu disertai dengan tangisan, sebagai ekspresi kekaguman dan ketundukan yang mendalam.
Tanggapan Rasulullah SAW terhadap kekhawatiran Abu Bakar menunjukkan bahwa beliau memahami sifat-sifat setiap sahabatnya. Rasulullah berkata dengan lembut, “Udah, kamu ini banyak protes, Imam.” Ini menunjukkan bagaimana Rasulullah memberi dukungan kepada Abu Bakar meskipun ia merasa tidak siap. Ini juga menunjukkan bahwa dalam Islam, kekhusyukan bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan usaha yang sungguh-sungguh untuk menghadirkan diri sepenuhnya dalam ibadah.
Rasulullah mengajarkan bahwa setiap individu memiliki cara dan usaha sendiri dalam mendekatkan diri kepada Allah. Abu Bakar, dengan sifatnya yang sensitif terhadap ketidakkhusyukan, berusaha keras untuk tetap menjaga konsentrasi dalam sholat. Ini adalah pelajaran penting bahwa kita semua harus berusaha memisahkan segala gangguan dunia dalam ibadah kita.
Advertisement
Kita Sering Tidak Khusyuk Karena Handphone
Ustadz Adi Hidayat juga menjelaskan bahwa sering kali, kegagalan dalam meraih kekhusyukan dalam sholat disebabkan oleh pikiran yang masih terikat pada dunia. Salah satu contoh yang ia sebutkan adalah tentang ponsel. Banyak orang yang menganggap sholat sekadar sebagai rutinitas, padahal sholat adalah kesempatan emas untuk melepaskan diri dari segala beban duniawi.
Penting untuk diingat bahwa sholat adalah waktu yang khusus untuk berkomunikasi dengan Allah. Ucapan takbir adalah titik awal dari penghambaan kita kepada-Nya. Ketika kita mengangkat tangan dan mengucapkan “Allahu Akbar,” seharusnya segala urusan dunia dapat kita buang jauh-jauh, agar kita bisa berfokus sepenuhnya pada Allah.
Keadaan yang sering terjadi adalah banyak orang yang justru membawa dunia dalam sholat mereka. Sebagai contoh, terkadang ponsel yang berbunyi atau pikiran yang terus-menerus mengingatkan pekerjaan dapat mengganggu ketenangan hati saat beribadah. Padahal, kekhusyukan dalam sholat sangat tergantung pada kemampuan kita untuk melepaskan semua itu dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.
Abu Bakar, dengan kesadaran penuh, berusaha keras untuk memusatkan perhatian hanya pada Allah saat sholat. Tangisan yang ia keluarkan adalah cerminan dari usaha tersebut, yang mungkin bagi sebagian orang tidak dapat dipahami sepenuhnya, namun bagi Abu Bakar, itu adalah cara ia mendekatkan diri kepada Allah.
Keinginan untuk menjaga kekhusyukan ini sangat penting dalam ibadah. Seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan ditunjukkan oleh Abu Bakar, usaha untuk fokus pada Allah dalam setiap gerakan dan bacaan adalah inti dari sholat yang sahih. Sholat yang penuh konsentrasi dan penghayatan adalah wujud dari penghambaan yang tulus kepada Allah.
Rasulullah SAW, meskipun tahu bahwa Abu Bakar merasa tidak cukup layak untuk menjadi imam, tetap memberikan dukungan dengan kata-kata yang lembut. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, setiap usaha untuk beribadah dengan sepenuh hati akan dihargai, meski terkadang kita merasa tidak sempurna.
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk senantiasa menjaga kekhusyukan dalam sholat, seperti yang dicontohkan oleh Abu Bakar. Dengan berusaha memusatkan perhatian hanya pada Allah, kita dapat merasakan kedamaian dan ketenangan yang sejati dalam beribadah.
Pada akhirnya, seperti yang disampaikan oleh Ustadz Adi Hidayat, setiap langkah kita dalam sholat harus dilandasi oleh niat yang ikhlas dan penuh penghayatan. Ini adalah jalan untuk mencapai kekhusyukan yang sejati, sebagaimana yang dicontohkan oleh sahabat Nabi, Abu Bakar.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul