Liputan6.com, Purworejo - Ibu kota Jawa Tengah (Jateng) dahulu sempat pindah dari Semarang ke Bruno, Purworejo. Tujuannya untuk menghindari gempuran Belanda.
Ada dua desa yang terpilih menjadi pusat perekonomian sementara di yaitu Desa Giyombong dan Kambangan.
Kecamatan Bruno dipilih menjadi ibu kota Provinsi Jateng untuk sementara karena letaknya yang strategis. Selain itu Kecamatan Bruno juga berada di wilayah pegunungan dan masih dikelilingi hutan.
Advertisement
Kecamatan Bruno sendiri terletak di kawasan paling utara, dan berbatasan langsung dengan wilayah Wonosobo. Dikutip dari berbagai sumber, Kecamatan Bruno pada masa itu merupakan hutan belantara dan sangat sulit dijangkau oleh manusia.
Baca Juga
Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa Pangeran Diponegoro menjadikan kawasan Kecamatan Bruni sebagai tempat berlindung dari kejaran pasukan belanda. Ya, jauh sebelum ditetapkan sebagai ibukota sementara Provinsi Jawa Tengah, wilayah Bruno sering dijadikan lokasi pertempuran.
Pada masa Perang Jawa (1825-1830), wilayah ini pernah jadi lokasi persembunyian Pangeran Diponegoro bersama senopatinya, Tumenggung Gajah Permada. Daerah hutan lebat yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi sangat sulit untuk dijangkau oleh pasukan belanda sehingga, jejak Pangeran Diponegoro tidak dapat dideteksi oleh pasukan belanda.
Dari peristiwa itulah nama Bruno muncul, Bruno merupakan singkatan dari Bahasa Jawa “buronane ora ono” yang dalam bahasa Indonesia berarti “buruannya tidak ada”. Sedangkan Desa Kembangan terletak sangat jauh dengan Kecamatan Bruno dan letaknya jauh diatas pegunungan yang sulit dijangkau oleh kendaraan umum.
Di sana lah Gubernur Jawa Tengah kala itu, KRT Wongsonagoro menjalankan pemerintahannya selama 100 hari.
Dengan kata lain ibu kota Jawa Tengah pada masa itu berpindah sementara dari Semarang ke Kecamatan Bruno Purworejo. Selama menjalani roda pemerintahan KRT Wongsonagoro memboyong satu pleton pasukan khusus militer yang terdiri dari empat kompi.
Tempat tinggal sekaligus kantor pemerintahan dipusatkan di rumah salah satu seorang warga yang bernama Dul Wahid. Hingga sampai saat ini barang tersebut masih dirawat oleh penduduk setempat.