Cerpen: Gagak dan Senja yang Berdarah

Berikut cerpen pilihan Liputan6.com, Sabtu (9/4/2016), "Gagak dan Senja yang Berdarah" karya Dini Nurilah.

oleh Liputan6 diperbarui 09 Apr 2016, 09:00 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2016, 09:00 WIB
Ilustrasi Cerpen
Ilustrasi cerpen "Gagak dan Senja yang Berdarah"

Liputan6.com, Jakarta Aku tidak pernah berharap bertemu cinta pertama semenyedihkan ini. Menyebalkan. Mengapa aku harus mencintainya, di saat aku tahu orang itu akan pergi?

“Tidak ada yang tahu dia akan pergi. Tunggu saja, pasti dia akan kembali.” semua orang berkata seperti itu, mencoba membuatku tenang. Aku tidak pernah menggubrisnya. Terdengar sangat omong kosong di telingaku.

Dengan wajah kusut aku hanya akan berlalu dari keramaian dan menuju tempat itu.

“Tapi aku tahu. Aku selalu tahu, orang itu akan pergi. Dia selalu ingin pergi.” ucapku dengan suara lirih, sambil berlalu.

Langit senja yang memerah menemaniku duduk sendiri di atas tembok setengah retak ini. Biasanya ada orang itu di sampingku. Ia yang selalu duluan datang ke tembok ini dan duduk mematung menatap rumah tua di seberang tembok ini.

Tembok yang tingginya tak sampai satu meter ini adalah pembatas belakang sekolah kami. Tepat di seberang tembok yang setengah bagiannya telah retak ini sebuah rumah tua tak terurus berdiri menyepi. Hanya dikelilingi ilalang-ilalang raksasa yang tak pernah dipangkas bertahun-tahun.

Ada sebuah rumor aneh tentang rumah tua itu. Seorang penyihir tinggal di sana. Sudah menjadi kepercayaan bersama bahwa seorang penyihir tinggal di tempat kami. Pulau Rojo, pulau kecil di ujung semenanjung Balkan. Aku tak pernah tahu asal muasal kisah si penyihir. Katanya itu dongeng dari para leluhur penduduk pulau. Entahlah.

Namun, semakin hari semua orang hanya menganggap rumor itu sebagai angin lalu. Tak pernah ada apapun di rumah tua itu, tuan sherrif pernah mengeceknya.

Tapi fakta rumah tua itu tak juga dirobohkan masih misteri. Seakan sudah menjadi kesepakatan bersama rumah itu harus tetap disana. Begitu saja, dibiarkan menua sendiri dan tak terawat.

Hanya ada satu orang yang masih peduli pada rumah tua itu. Deridaa, gadis dengan rambut kuncir ekor kuda yang seharusnya tengah duduk di sampingku saat ini.

Aku selalu mengingatnya, wajah mungilnya akan berubah galak, dan makian keluar dengan lancar dari bibirnya kala berdebat soal keberadaan si penyihir di rumah tua itu.

“Kalau ini bukan rumahnya, dimana lagi aku harus cari si penyihir?!” jawabnya dengan bersungut, di senja yang entah kapan, aku lupa. Saat kutanya mengapa ia ngotot mempercayai rumor itu.

Tapi aku tak pernah bertanya mengapa ia harus mencari si penyihir. Aku takut, aku tahu apa jawabannya.

“Nenekku bilang penyihir punya sapu terbang yang bisa kupakai untuk pergi jauh.” Lanjutnya tanpa kutanya.

Aku lupa itu senja yang kapan, tapi aku mengingat jelas raut wajahnya. Dan aku mengingat ludah pahit yang harus kutelan karena tebakanku benar tentang jawabannya.

Sejak lama aku selalu tau. Deridaa akan pergi. Yang tidak kutahu, kenapa.

Aku tak mau tahu pula. Aku takut dia benar-benar pergi.

*

Deridaa selalu ingin pergi. Terbang jauh dari tanah ini. Dua tahun lalu setelah neneknya meninggal aku tahu ia akan benar-benar pergi. Tidak ada lagi yang membuatnya harus tinggal. Tidak pula aku.

Tapi ternyata tidak semudah itu pergi dari pulau ini. Kapal hanya satu bulan sekali menepi menurunkan barang keperluan desa dan beberapa pengunjung. Untuk ikut menyebrang, aku tahu, Deridaa yang yatim piatu dan semua kebutuhannya hanya bersumber dari panti asuhan harus menabung lebih lama lagi. Biaya kapal tidak murah. Jika nekat memakai kapal biasa yang bolong di sana sini, tak ada yang menjamin kita akan sampai ke pulau sebrang. Lautan di ujung sana terkenal kejam.

“Woi, masih aja ngelamun disana! Pulang gih, dicari ayahmu, tuh.”

Teriakan itu mengaburkan lamunanku. Aku menghela napas, enggan beranjak. Kembali ku tatap rumah bertembok kayu itu. Hari ini pun, dia belum kembali... ucapku dalam hati, entah mengapa aku ingin menyampaikannya pada si rumah tua.

“Tapi, setidaknya kamu harus percaya. Pura-pura percaya juga gak apa-apa, aku males duduk di sini sendirian.”

Aku tak jadi beranjak, ucapan Deridaa terngiang di kepalaku. Berbekal wasiat dari neneknya, yang mengatakan bahwa penyihir itu akan keluar setiap langit memerah dalam bentuk burung gagak menjadi pegangan kita untuk nongkrong di tempat ini setiap sore.

Senja di tempat kami tak bernada lembayung seperti kisah-kisah di buku cerita. Pulau Rojo, Rojo berarti merah. Karena saat senja mampir, langit kami semerah darah.

Kala langit senja perlahan berganti redup dan malam datang, Deridaa akan menatapku dengan mata almond-nya dan ekspresi yang tak bisa kubaca. “Mungkin besok...” ucapnya dengan lirih.

Keesokan harinya hingga berminggu-minggu kemudian tak pernah kami dapati gagak keluar dari rumah itu. Tapi Deridaa selalu kembali ke sana.

“Mungkin besok...” ucapku perlahan sambil turun dari tembok itu. Malam telah datang. Dan, seperti Deridaa yang menunggu si penyihir keesokan harinya, aku pun akan menunggu Deridaa kembali esok hari.

*

“Dia akan kembali.” ucapku dengan yakin.

Tangan kananku menggenggam gulungan kertas, ada senyuman lebar yang kini menghiasi wajahku setelah dua minggu ini kusut dan kuyu karena Deridaa mendadak tak ada di manapun.

Aku baru kembali dari kamar Deridaa di panti. Ada hal yang baru kutemukan dan terlewat kulihat saat pertama kali aku mengobrak-abrik kamarnya setelah ia mendadak hilang. Sebuah kalender polos yang terpasang di dinding kamar samping ranjang tidurnya.

“Besok dia pulang.” Ucapku riang, sembari menunjukkan isi kalendernya pada teman-teman sekelas.

Mereka hanya mengangguk-angguk sambil menepuk bahuku dengan senyum kecil. Ah,,, mereka pasti merasa senang karena perkiraan mereka benar. Harusnya aku pun sedikit berpikir positif seperti mereka, Deridaa pasti pulang. Memangnya, dia mau kemana lagi sih?
“Gak tau, Rom. Sejak kecil aku selalu merasa di sini bukan tempatku. Bayangan tentang tempat di luar pulau ini menghantuiku sejak lama. Di ujung sana, jauh sekali, aku merasa aku harus ke sana.”

Deridaa menunjuk ke ujung lautan yang entah berujung di mana dan sejauh apa. Aku hanya melihatnya dengan kening berkerut. Saat itu Deridaa masih tinggal bersama neneknya. Ia belum terobsesi dengan si penyihir, katanya, Neneknya janji akan membawanya keluar pulau saat ulang tahun ke-17 nya.

Dengan seragam sekolah yang sama-sama masih melekat di badan, kami menghabiskan waktu di tebing pantai favorit kami. Aku tak pernah memikirkan kata-katanya tentang ‘pergi jauh’ itu.

Saat itu, aku tak mengerti.

Mengingat hal itu, aku dibuat termenung kembali. Kelas telah sepi, ini jam istirahat. Aku masih terduduk di kursiku. Ku buka kembali gulungan kalender milik Deridaa. Aku mengenal tulisan tangannya, itu jelas tulisan Deridaa. Ia memberi tanda di tanggal 14 September, hari ulang tahunnya.

Esok umurnya 17 tahun. Di bawah tanggal itu ia menulis, ‘come back home’. Ujung bibirku kembali terangkat.

“Dia akan pulang.” Ucapku, sekali lagi meyakinkan diri sendiri.

Kupaksa ingatanku mengaburkan ucapan Deridaa di tebing waktu itu. Lagipula, esok hari tepat dimana kapal besar datang. Aku tahu jadwalnya. Deridaa ada di sana.

*

Kami berdua tidak pernah merayakan hari ulang tahun dengan kemeriahan layaknya anak remaja, kupikir itu bukan gaya kami. Aku tidak pernah membayangkan akan menantikan tanggal 14 segugup ini.

Sebelumnya, aku hanya akan melihat kalender dan berucap lembut, “Ah, hari ini dia berulang tahun.” Tanpa ucapan tanpa hadiah, aku hanya mendoakannya dalam diam.

Tapi setiap hari ulang tahunku tiba, Deridaa akan datang ke rumahku pagi-pagi sekali dan menjabat tanganku lalu berkata, “Kamu tahu kan, aku hanya basa-basi tentang ucapan selamat ini. Aku belum memutuskan Tuhan mana yang harus kuajukan doa buat hari ulang tahunmu. Jadi, selamat saja.”

Aku tersenyum mengingat ucapan konyolnya, entah mengapa malam ini langit-langit kamar tidurku seakan penuh bintang. Menunggu hari esok dengan ketidaksabaran seperti ini tidak membantuku untuk memejamkan mata.

*

Aku menjambak-jambak rambutku dengan kesal. Berkali-kali kulirik arloji tua di tangan kananku, kemudian mataku lapar melahap setiap suduh pantai, setiap ujung lautan. Tak kutemukan apapun. Kapal besar baru saja berangkat pergi.

“Mungkin bukan hari ini, Rom.” Ucap temanku dengan nada suara penuh simpati.

Tapi bukan itu yang ingin kudengar. Aku cuma ingin mendengar tentang Deridaa kembali. Harusnya ia kembali hari ini. Itu yang ia tulis di kalendernya sendiri. Bukankah ini rumahnya?

Kuabaikan panggilan teman-temanku. Aku tahu tak akan ada kapal apapun lagi yang datang setelah jam ini. Hanya ada satu tempat untukku menenangkan diri. Walaupun sebenarnya itu tempat yang membuatku semakin depresi.

Tepat sesampainya aku di hadapan rumah tua itu, langit sudah diselimuti tumpahan warna merah di setiap sudutnya. Aku menelan ludah, pahit. Tanganku mengepal menaham amarah. Aku tak tahu pada siapa harus kulampiaskan atau pada apa. Hanya ada rumah tua itu di hadapanku. Mendadak sebuah pikiran konyol terlintas di kepalaku. Membuatku semakin marah.

“Woi, nenek sihir! Siapapun kamu, kalaupun kamu ada. Jangan bilang kau telah berikan sapu ajaibmu pada gadis itu. hah...hahaha. Tolol.”

Aku tertawa terkekeh-kekeh di atas tembok ini setelah mengucapkan kalimat konyol tadi. Tak ada lagi yang bisa kupikirkan. Deridaaa, gadis itu, cinta pertamaku—

Koak...koak...koak...

Aku mengerjapkan mata. Membatu. Suara yang baru saja kudengar? Aku segera mengangkat wajahku, kembali menatap si rumah tua. Mataku tak salah lihat, aku telah berkali-kali mengerjapkannya.

Disana, gagak hitam itu bertengger di atas cerobong asap rumah tua itu.

Aku menghela napas panjang, tak bisa berkata apapun. Entah mengapa aku berpikir gagak hitam itu bukanlah si penyihir. Tapi Deridaa.
“Selamat ulang tahun...” bisikku, kehabisan akal.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya