Liputan6.com, Jakarta Bagi masyarakat Minahasa, Pinawetengan bukan hanya seonggok batu. Lebih dari itu, Watu Pinawetengan, begitu masyarakat Minahasa menyebutnya, adalah titik awal dari kebudayaan orang Minahasa. Di batu besar yang ada di dataran tinggi Tonduraken itulah, leluhur dari berbagai sub-etnis Minahasa berkumpul, berikrar untuk bersatu yang ditandai dengan guratan-guratan di batu.
Guratan Watu Pinawetengan ini kemudian menginspirasi lahirnya kain tenun khas Minahasa. Berbeda dengan kain tenun Palembang yang cenderung menggunakan warna emas, dan kain tenun Sade yang motifnya lurus pasti, kain pinawetengan punya ciri khasnya sendiri, yaitu warna yang cerah dan pembuatan motif yang rumit.
Baca Juga
Saat berkunjung ke Pusat Kebudayaan Sulawersi Utara Pa’dior, yang ditulis Kamis (19/5/2016), Liputan6.com berkesempatan menyaksikan pembuatan kain Pinawetengan. Di kompleks tersebut terdapat dua jenis alat tenun, yaitu tenun songket dan tenun ikat.
Advertisement
Alat tenun ikat merupakan alat tenun tradisional Minahasa yang masih dilestarikan hingga saat ini. Sedangkan akat tenun songket lebih modern dengan penggunaan benang sutera sebagai bahan baku pembuatan kain.
Lily, salah satu perajin kain Pinawetengan di Pusat Kebudayaan Sulawesi Utara Pa’dior mengatakan, pembuatan kain songket lebih cepat daripada kain tenun ikat. Dalam satu hari dirinya mampu membuat satu meter kain songket berbagai motif.
“Kalau tenun songket motifnya sudah dicetak dengan kartu, sedangkan tenun ikat motifnya dibuat manual. Kalau tenun ikat harus digambar, yang digambar itu kemudian diikat, baru masuk proses pewarnaan. Jadi kalau tenun ikat awalannya itu bisa menghabiskan waktu lebih lama, tiga minggu sampai satu bulan,” kata Lily.
Secara umum, kain Pinawetengan memiliki beberapa motif utama, yaitu karema, lumimuut, dan toar. Sedangkan motif tambahan lainnya adalah gambar lingkan wene, yaitu dewi kesuburan, pina bia yang merupakan alat musik tradisional Minahasa yang keberadaannya sudah hampir punah, dan tembega, yaitu aksesoris yang dipakai leluhur Minahasa.
Dibanderol dengan harga Rp 200 ribu per meter, kain Pinawetengan banyak digemari wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Sulawesi Utara. Tak hanya dalam bentuk kain, saat berkunjung ke Pusat Kebudayaan Sulawesi Utara Pa’dior, Anda juga bisa membeli berbagai produk sandang dengan motif guratan Watu Pinawetengan.