Liputan6.com, Jakarta - Selain Tan Malaka, Sutan Sjahrir adalah salah satu tokoh kiri yang juga berjasa bagi negeri ini. Sempat menjadi Perdana Menteri pertama Republik Indonesia, Sjahrir juga salah seorang tokoh yang menentang penjajahan sedari muda.
Pada 1929, Sutan Sjahrir tiba di Belanda dan bertemu Maria Duchateau, seorang istri dari Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat. Hidup seorang diri pada 1931, Sjahrir tak tahu harus tinggal di mana hingga Sal Tas mau menampungnya kala itu.
Dalam rumah tersebut, ada Sal Tas, Maria, dua anak mereka, dan seorang perempuan bernama Judith van Wamel, serta Sjahrir. Tinggal satu atap, menumbuhkan rasa cinta Sjahrir terhadap Maria.
Advertisement
Kisah asmara Sjahrir dan Maria berkembang ketika rumah tangga Sal Tas mulai renggang. Sama-sama sibuk, Sal Tas justru dekat dengan Judith, dan Maria dengan Sjahrir.
Baca Juga
Selang satu tahun, Sjahrir tiba di Batavia dan empat bulan kemudian disusul kedatangan Maria. Semasa hidupnya, Sjahrir tercatat sudah menikah dua kali.
Pertama pada 1932, ia menikah secara Islam dengan Maria Duchateau di Medan. Kedua, dengan Siti Wahyunah atau Poppy pada Mei 1951. Keduanya memiliki panggilan kesayangan yang unik, Sidi untuk Sjahrir dan Mieske untuk Maria.
Cara berpakaian Sjahrir pun kala itu tampak sederhana dan sedikit berantakan, dandanan bohemian seperti sarung lecek sebagai bawahan, jas sebagai atasan, juga peci di kepala. Sejak ditahan di penjara Cipinang Jakarta, Sjahrir mulai menulis surat kepada istrinya di Belanda, karena terpisah dengan Maria Duchateau pada 14 Mei 1932.
Rupanya, usai lima minggu menikah, Maria terpaksa diasingkan atau dikembalikan ke negara asalnya, Belanda. Ini sebagai hukuman karena masih dianggap belum resmi bercerai dengan Sal Tas.
Menghabiskan waktu untuk membangun opini publik dan mendidik kader, Sutan Sjahrir beranikan diri untuk terjun dalam pergerakan nasional. Namun, aktivitas tersebut kian menghancurkan dirinya dan terpaksa harus dibuang pemerintah kolonial ke Banda Neira dan Boven Digul.
Sjahrir di Pengasingan Digul
Setelah diasingkan di Boven Digul, Sjahril semakin sering menuliskan surat kepada Maria. Dari 1932-1940, Maria telah menerima 287 surat dengan panjang tulisan antara 4-9 halaman. Karena sayang jika dibakar, surat-surat tersebut akhirnya dibukukan oleh Maria dengan judul, Indonesische Overpeinzingen yang terbit di Amsterdam pada 1945.
Ada pun surat pribadi Sjahril yang disisihkan dan disusun layaknya catatan harian, kemudian tertuang dalam karya Rosihan Anwar berjudul Mengenang Sjahrir. Sesuai judulnya, buku itu berisi kisah perjalanan hidupnya serta pemikiran-pemikirannya saat perang hingga pergerakan.
Surat cintanya kepada Maria misalnya, "Apa yang tak kutemukan didalam filsafat, aku temukan pada dirimu". Kutipan manis yang tertulis dari Sjahrir untuk Maria, yang terpajang dalam Pameran Surat-Surat Pribadi Pendiri Bangsa di Museum Nasional, Jakarta pada 10-22 November 2018.
Kegalauan akan rindu Maria yang berada di Belanda kala itu dikarenakan jarak yang memutuskan hubungan mereka. "Di sini aku merasa lebih banyak kesepian dan sendiri, melebihi kesendirian di dalam sel penjara itu sendiri", tulis Sjahrir kepada Maria, 30 Mei 1935, di tempat pengasingan Boven Digul, Papua.
Advertisement
Rindu Maria, Curhatan Sjahrir dalam Suratnya
Curahan hati Sjahrir yang rindu akan Maria, tertuang dalam secarik surat panjang yang tersusun dari delapan paragraf di antaranya 5-9 baris. Melalui suratnya, Sjahrir berharap kala itu bisa bertemu Maria yang berada di Belanda untuk bertahan dan mengangkat Sjahrir dari keterpurukan hal-hal sepele
"Di dalam diri kita begitu banyak hal sepele, begitu banyak kebodohan dan piciknya pandangan. Aku terkejut melihat itu ada di dalam diriku sendiri. Sepertinya, aku kira, ketenangan dan kedamaian telah direbut oleh penjara untuk selamanya," tulis Sjahrir.
Bertahan seorang diri menjadi suatu beban berat bagi Sjahrir untuk memulai kembali dan belajar lagi. Untuk itu, melalui surat cintanya, ia sungguh menaruh harapannya kepada Maria. Suka cita Sjahrir saat mendapatkan surat Maria juga tertulis dalam sebuah alunan kalimat.
"Suratmu, begitu sangat berarti buatku, aku harap kamu mampu menulisnya secara teratur kepadaku, supaya aku bisa menerima sesuatu setiap kali kapal datang berlabuh, dan itu artinya setiap sekali dalam tiga minggu sekarang," tulis Sjahrir.
Melalui kisah panjang tersebut, akhirnya pada 1947, Sjahrir berpisah dengan Maria usai Perang Dunia II. Komunikasi yang biasanya dilakukan dengan surat-menyurat, seketika terputus.
Pertemuan kedua Sjahrir dengan Maria pada 1947, terasa biasa-biasa saja. Termakan oleh waktu yang lama, rasa itu pun bisa terbilang hilang. Namun, perpisahan keduanya di New Delhi, Sjahrir sudah menjadi negarawan, Perdana Menteri Repubik Indonesia.
Daya tariknya pun beralih ke perempuan cantik dan terpelajar Indonesia. Terbukti, pernikahan keduanya bersama Poppy yang lebih muda 11 tahun usianya dengan Sjahrir. (Mariany)
Saksikan video pilihan di bawah ini: