Liputan6.com, Jakarta - Pada Selasa, 23 Juni 2020, pernyataan Kuala Lumpur City Hall (DBKL) terkait larangan orang asing dan pengungsi memasuki pasar berujung kontroversi dan kritik dari berbagai pihak. DBKL menjelaskan, larangan tersebut dibuat untuk mencegah perdagangan barang grosir ilegal.
"Pemegang kartu United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) juga tak boleh membeli barang grosir agar tak ada perdagangan secara ilegal, baik untuk siapapun yang tertarik atau komunitas Rohingya dan Myanmar," begitu bunyi pernyataannya seperti dilansir dari Says, Kamis (25/6/2020).
Karena pasar tersebut hanya dibuka untuk pembelian grosir, pihak DBKL menyarankan orang asing membeli kebutuhan mereka di tempat lain, seperti Selayang Daily Market.
Advertisement
Baca Juga
DBKL menambahkan, pelarangan ini juga bagian dari upaya pencegahan transimisi COVID-19. Berdasarkan laporan Malay Mail, pasar berlokasi di Selayang ini sempat tutup empat hari pada April setelah jadi salah satu kluster kasus virus corona baru usai lelaki 36 tahun asal Myanmar meninggal.
Berkaca pada kejadian tersebut, DBKLmenjelaskan bahwa pergerakan orang asing telah dimonitor. "Kendali akan orang asing yag memasuki PBKL juga mengubah persepsi publik bahwa pasar tersebut dikendalikan mereka," sambung pernyataan resmi ini.
Namun, aturan ini dilihat berbeda oleh sejumlah grup memperjuangkan hak asasi manusia. Dalam pernyataannya, Rohingya Women Development Network (RWDN) dan Fortify Rights mengutarakan kecemasan akan ketentuan yang diambil terkait pengungsi dan migran di Malaysia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Hidup Lewat Ekonomi Informal
Dalam pernyataannya, mereka menjelaskan, tanpa hak untuk bekerja di Malaysia, para pengungsi menggantungkan hidup mereka pada sektor ekonomi informal. "Itu pun penghasilannya kurang dari seribu ringgit per bulan," imbuh keterangan tersebut.
"Situasinya jadi makin sulit setelah DBKL melarang pengungsi memasuki pasar grosir di Selayang, di mana mereka bisa mendapat makanan berkualitas baik dengan harga terjangkau," sambung mereka.
Dalam sebuah video YouTube yang dibuat Fortify Rights ditemukan bahwa setidaknya ada 15 ribu pengungsi Rohingya tinggal di Selayang, dan kebanyakan mereka bekerja di pasar tersebut.
Setelah mewawancarai beberapa pengungsi, RWDN and Fortify Rights menemukan, ketakutan tak dapat mengakses makanan adalah kecemasan paling besar, terlebih di masa pandemi seperti sekarang. Pengungsi sendiri belum punya status legal di Malaysia karena negara tersebut tak menandatangi Refugee Convention pada 1951.
Advertisement