Tutup Botol Minuman Soda Sekarang Tidak Bisa Lepas, Jadi Lebih Ramah Lingkungan?

Cukupkah upaya Coca-Cola membuat tutup botal minuman soda mereka sekarang tidak bisa dilepaskan untuk mengurangi dampak lingkungan?

oleh Asnida Riani diperbarui 20 Mei 2022, 20:39 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2022, 20:03 WIB
Ubah Botol Plastik untuk Pancuran Air
Ilustrasi kemasan botol plastik minuman soda, Coca-Cola. Credit: pexels.com/Renee

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan minuman soda, Coca-Cola, tahu bahwa tutup botolnya sering berakhir sebagai sampah. Jadi, pihaknya mencoba memecahkan masalah dengan menambatkannya ke botol, dimulai dari Inggris.

Awal pekan ini, perusahaan minuman itu mengumumkan bahwa mereka telah mulai meluncurkan versi baru dari botol plastiknya. Botol-botol baru ini memiliki tutup yang terpasang, desain yang seharusnya memudahkan untuk mendaur ulang seluruh bagian kemasan sekaligus.

Botol plastik Coca-Cola, Coca-Cola Zero Sugar, Diet Coca-Cola, Fanta, Sprite, dan Dr Pepper semuanya harus sudah terpasang tutupnya pada awal 2024, kata perusahaan itu. Transisi hanya berlaku untuk botol di Inggris Raya.

"Ini adalah perubahan kecil yang kami harap akan berdampak besar, memastikan bahwa ketika konsumen mendaur ulang botol kami, tidak ada tutup botol yang tertinggal," kata Jon Woods, manajer umum di Coca-Cola Inggris Raya, seperti dikutip dari CNN, Jumat, 20 Mei 2022.

Sampah plastik merupakan masalah lingkungan yang utama. Plastik terurai jadi mikroplastik yang masuk ke udara dan laut, merusak kehidupan laut. Mereka bisa berakhir di makanan atau paru-paru manusia, berpotensi menyebabkan masalah kesehatan.

Ini juga merupakan masalah hubungan masyarakat yang besar bagi perusahaan seperti Coca-Cola. Ketika botol atau tutup botol mereka berakhir di pantai atau di tempat pembuangan sampah, konsumen mengenalinya sebagai produk Coca-Cola, menodai reputasi merek. Akibatnya, semakin banyak perusahaan mengambil langkah-langkah untuk mencoba mengurangi limbah.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Berbahan Daur Ulang

Ilustrasi botol plastik Coca-Cola.
Ilustrasi botol plastik Coca-Cola. (dok. Myriams-Fotos/Pixabay)

Perusahaan nyatanya memiliki lebih banyak kekhawatiran daripada sekadar reputasi dan kesehatan planet, mengingat ada juga ancaman peraturan pemerintah. Uni Eropa, misalnya, mengharuskan tutup botol plastik dilampirkan sebagai bagian dari arahannya tentang plastik sekali pakai.

Perusahaan memiliki waktu hingga akhir 2024 untuk mematuhinya. Langkah terbaru Coca-Cola di Inggris adalah bagian dari inisiatif global "Dunia Tanpa Limbah," yang menjabarkan tujuan 2030 untuk membantu mengumpulkan dan mendaur ulang botol atau kaleng kosong untuk setiap botol atau kaleng yang dijual perusahaan.

Pihaknya juga berencana membuat kaleng dan botolnya dengan 50 persen bahan daur ulang pada 2030, dan membuat kemasan 100 persen dapat didaur ulang pada 2025. Beberapa pemerhati lingkungan mengkritik upaya Coca-Cola, dengan mengatakan mereka gagal.

"Apakah tutup plastik mereka ditambatkan atau tidak, perusahaan masih memproduksi miliaran botol plastik sekali pakai setiap tahun, merusak lingkungan, komunitas, dan iklim kita, dan berdampak pada kesehatan kita," kata Graham Forbes, pemimpin proyek plastik global di Greenpeace USA.

Tidak Cukup dengan Daur Ulang

Ilustrasi sampah plastik
Ilustrasi sampah plastik (dok.unsplash/ Nick Fewings)

Alih-alih fokus pada daur ulang, solusi yang tidak sempurna, banyak pencinta lingkungan menganjurkan peralihan ke wadah yang dapat digunakan kembali. "Jika mereka benar-benar ingin menyelesaikan krisis plastik dan iklim, Coca-Cola harus fokus mengurangi plastik dengan menggandakan target kemasan ulang dan isi ulang jadi 50 persen pada 2030," kata Forbes.

Nasrasi serupa diucapkan juru kampanye urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, dalam jumpa pers Desember 2020. Ia berpendapat bahwa daur ulang tidak cukup untuk menekan limbah plastik sekali pakai. Upaya itu akan sia-sia bila volume produksi tak ditekan.

"Sebenarnya daur ulang ada untuk menutup gap antara jumlah produksi dan limbah yang dihasilkan. Jadi, tidak hanya soal daur ulang, tapi bagaimana juga perlahan produksinya harus dikendalikan," tuturnya.

Di sisi lain, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) melaporkan pada 22 Februari 2022 bahwa hanya kurang dari 10 persen sampah plastik di seluruh dunia yang berhasil didaur ulang. Karena itu, pihaknya menyerukan solusi terkoordinasi menjelang negosiasi perjanjian plastik internasional.

Dilansir dari Japan Today, OECD mencatat 460 juta ton plastik digunakan tahun lalu. Jumlahnya hampir dua kali lipat dari 2000. Selama periode tersebut, jumlah sampah plastik meningkat lebih dari dua kali lipat, jadi 353 juta ton.

 

Meningkatnya Volume Sampah Plastik

Ilustrasi sampah plastik (pexels)
Prancis akan malarang penggunakan kemasan plastik untuk mayoritas jenis buah dan sayur demi mengurangi sampah plastik.

Setelah perhitungan, dinyatakan bahwa hanya sembilan persen sampah plastik yang berhasil didaur ulang. "Sementara, 19 persen dibakar dan hampir 50 persen dibuang ke tempat pembuangan sampah. 22 persen sisanya dibuang di tempat pembuangan sampah yang tidak terkendali, dibakar di lubang terbuka, atau bocor ke lingkungan," kata OECD Global Plastics Outlook yang berbasis di Paris, Prancis.

Pandemi COVID-19 sempat membuat penggunaan plastik menurun hingga 2,2 persen pada 2020 dibanding tahun sebelumnya. Namun, penggunaan plastik sekali pakai telah meningkat seiring pemulihan ekonomi. Laporan itu menggarisbawahi bahwa plastik menyumbang 3,4 persen dari emisi rumah kaca global pada 2019.

90 persen dari produksi dan konversi plastik berasal dari bahan bakar fosil. OECD pun mengusulkan serangkaian "pengungkit" untuk mengatasi masalah pemanasan global dan polusi yang merajalela.

Ini termasuk mengembangkan pasar untuk plastik daur ulang yang hanya mewakili enam persen dari total sebagian besarnya karena harga lebih mahal. "Penting juga bagi negara-negara untuk menanggapi tantangan dengan solusi terkoordinasi dan global," ucap Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann dalam laporan tersebut.

Cormann menambahkan, teknologi baru terkait pengurangan jejak lingkungan dari plastik hanya 1,2 persen dari semua inovasi yang berkaitan dengan produk. Ia juga menyinggung bahwa kebijakan harus menahan konsumsi secara keseluruhan dan sejalan dengan "siklus hidup plastik yang lebih sirkular."

OECD menyarankan investasi 28 miliar dolar per tahun untuk membantu negara-negara miskin mengembangkan infrastruktur pengelolaan sampah. Laporan tersebut muncul kurang dari seminggu sebelum Majelis Lingkungan PBB dimulai pada 28 Februari 2022 di Nairobi. Pertemuan itu diharapkan mencanangkan perjanjian plastik di masa depan yang saat ini belum ada kejelasan. 

Infografis Timbulan Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi
Infografis Timbulan Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya