Liputan6.com, Jakarta - Setelah dua tahun lebih pandemi COVID-19 mengubah cara kita menjalani kehidupan, perayaan Hari Keluarga Nasional 2022 yang jatuh hari ini, Rabu (29/6/2022), bisa dimaknai dengan semangat berbeda. Pasalnya, pelonggaran aturan seiring menurunnya kasus penularan virus telah membuat publik dunia memasuki masa transisi.
Baik orangtua maupun anak-anak, semua sekarang mulai punya rutinitas baru dan lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sosial. Kondisi ini kemudian menuntut adanya upaya adaptif.
Advertisement
Baca Juga
Setiap keluarga diharapkan bisa merespons perubahan yang diperlukan dan menguatkan fungsi-fungsi keluarga agar mampu menghadapi situasi yang tidak diinginkan.
Menurut Corporate Communications Director Danone Indonesia, Arif Mujahidin, momen transisi jadi kesempatan baik untuk mengasah dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, terutama perkembangan sosial emosionalnya. Anak usia dini pada dasarnya rentan karena mereka bergantung pada orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan paling dasarnya.
"Kami memahami bahwa anak membutuhkan lingkungan terdekatnya untuk merangsang dan memberikan kesempatan tumbuh kembang yang optimal," ucap Arif dalam webinar bertema "Kiat Keluarga Indonesia Optimalkan Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi," Selasa, 28 Juni 2022.
"Kami juga memberi dukungan kada para orangtua agar si kecil dapat tumbuh optimal lewat pemberian cuti melahirkan bagi karyawan kami, yakni cuti enam bulan bagi ibu dan 10 hari bagi ayah," lanjut Arif.
Ia menambahkan, "Kami berharap kegiatan ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kolaborasi orangtua untuk memberi stimulus yang tepat agar berhasil mengembangkan aspek sosial emosional anak."
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pola Asuh Anak
Mengenai pola asuh, survei BKKBN mengungkap bahwa selama pandemi COVID-19, 71,5 persen pasangan suami istri telah melakukan pola asuh kolaboratif. 21,7 persen mengatakan istri dominan, dan 5,8 persen hanya istri saja.
Di sisi lain, data UNICEF mencatat, selama pandemi, orangtua mengalami tingkat stres dan depresi lebih tinggi, serta menilai pengasuhan anak di rumah saja memiliki risiko tersendiri. Kondisi ini sangat mungkin menghambat kemampuan orangtua mengatasi emosi dan kebutuhan psikologis anak.
Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Irma Ardiana, MAPS mengatakan, gaya pengasuhan mempengaruhi perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Pengasuhan bersama menekankan komunikasi, negosiasi, kompromi, dan pendekatan inklusif untuk pengambilan keputusan, serta pembagian peran keluarga.
"Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak mereka. Peran orangtua yang tepat dalam memberikan dorongan, dukungan, nutrisi, dan akses ke aktivitas untuk membantu anak memenuhi milestone aspek perkembangan merupakan hal yang penting," terang dr Irma.
Advertisement
Perkembangan Emosi dan Sosial
Dalam konteks percepatan penurunan stunting, pengasuhan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi sangat penting untuk memastikan kebutuhan nutrisi dan psiko-sosial sejak janin sampai anak berusia 23 bulan.
"Peran tim pendamping keluarga jadi krusial untuk mendampingi keluarga berisiko stunting dalam pemberian informasi pengasuhan di Bina Keluarga Balita. Pola asuh yang tepat dari orangtua diyakini mampu membentuk anak yang hebat dan berkualitas di masa depan," sambung dr Irma.
Sementara, dokter spesialis tumbuh kembang anak, Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH, menjelaskan bahwa aspek sosial dan emosional sangat penting bagi anak untuk mencapai semua aspek kehidupannya dan bersaing di fase kehidupan selanjutnya dimulai dari remaja hingga lanjut usia.
Maka itu, penting bagi orangtua untuk punya pemahaman yang baik mengenai perkembangan sosial emosional anak, khususnya di masa transisi saat ini.
dr. Bernie juga menjelaskan fakta bahwa perkembangan emosi dan sosial berkaitan erat dengan kecerdasan otak dan sistem pencernaan yang sehat. Ketiganya saling terkait dan berpengaruh signifikan terhadap tumbuh kembang anak.
"Agar anak-anak dapat beradaptasi kembali dengan normal, serta memiliki kemampuan berpikir yang baik, orangtua perlu memantau perkembangan sosial emosional anak secara berkala, serta memberikan stimulasi dan nutrisi yang tepat," jelas dr. Bernie.
Interaksi Sosial
Di kesempatan yang sama, ibu inspiratif founder Joyful Parenting 101, Cici Desri, menceritakan pengalamannya saat mempersiapkan si kecil menghadapi transisi untuk kembali berinteraksi dengan lingkungan sosial. Setelah menjalani pembatasan sosial selama hampir dua tahun, ia melihat ada banyak tantangan yang dihadapi anak untuk kembali bersosialisasi dengan dunia luar.
Proses adaptasi pun tidak selalu berjalan dengan mudah. Ada kekagetan anak yang bertemu banyak orang baru, serta beraktivitas dan berinteraksi dengan banyak orang membuat si kecil kadang jadi frustrasi.
"Menghadapi hal tersebut, saya dan suami mengambil bagian dalam pengasuhan dan memperkuat keterlibatan dengan si kecil, terlebih pada fase transisi saat ini," ujar Cici.
Cici menyebut, sebagai orangtua, ia dan suami, mendorong anak mereka mengungkap pikiran dan perasaan secara verbal, sehingga mereka dapat mengetahui apa yang dirasakan anak secara emosional. Selain itu, ia juga menghubungi guru dan staf terkait lainnya di sekolah untuk memantau cara anak mengatasi dan mengikuti tugas atau kegiatan.
Ia juga berkonsultasi dengan dokter spesialis anak konsultan tumbuh kembang untuk mengetahui lebih jauh upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pertumbuhan buah hatinya.
"Lewat interaksi sosial secara tatap muka langsung, anak mampu menumbuhkan rasa kepercayaan baru dan merasakan kenyamanan berada di lingkungan barunya. Dengan begitu, saya yakin anak bisa tumbuh menjadi anak hebat yang pintar, berani, dan memiliki empati tinggi," pungkas Cici. (Natalia Adinda)
Advertisement