Liputan6.com, Jakarta - Seorang siswa sekolah menengah di China yang dihukum sekolahnya karena mengunggah selfie di media sosial selama liburan musim panas telah memulai perdebatan tentang privasi dan kebebasan pribadi. Siswa yang tidak disebutkan namanya itu berasal dari Panjin, Provinsi Liaoning, Cina timur laut.
Ia dilaporkan dihukum karena melanggar larangan sekolah dalam penggunaan aplikasi media sosial WeChat, Xinyuan Video melaporkan, seperti dikutip dari SCMP, Sabtu, 30 Juli 2022. Pada hari pertama liburan musim panas, siswa tersebut pergi bersama teman-temannya dan mengunggah selfie di WeChat Moments.
Advertisement
Baca Juga
Keesokan harinya ketika bangun, ia melihat ada pesan grup WeChat dari gurunya. "Kemarin ada dua siswa yang membuat unggahan di WeChat Moments, dan banyak siswa lain yang berinteraksi dengan mereka," bunyi pesan itu.
Guru itu menyambung, "Karena ini sangat melanggar peraturan sekolah yang melarang penggunaan WeChat, pemberitahuan akan diedarkan pada siswa-siswa ini dan hukuman dijatuhkan ketika masa sekolah dilanjutkan."
Siswa tersebut mengatakan pada Xinyuan Video dalam sebuah wawancara, "Mereka mendesak saya dan teman sekolah lain yang membuat unggahan untuk mengisi formulir ketika kami kembali ke sekolah." Guru juga mengingatkannya dalam pesan bahwa tidak ada unggahan WeChat yang diperbolehkan selama liburan sekolah, termasuk saat liburan musim panas, dan ponsel hanya untuk belajar.
Siswa tersebut mengatakan bahwa di masa lalu, siswa telah berbagi unggaahan di WeChat, dan dilihat guru sekolah, tapi tidak dihukum. Ini berubah karena ada seorang wali kelas baru dengan gaya mengajar lebih ketat.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Aturan Ketat dari Sekolah
Lebih lanjut siswa itu berkata, "Setelah memeriksa peraturan sekolah, saya sekarang sadar bahwa berselancar di internet dilarang. Karena tidak ada yang menyebutkannya pada saya sebelumnya, saya tidak tahu."
Sekolah telah menerapkan aturan keras tentang kapan dan bagaimana siswa dapat mengakses internet, baik di sekolah maupun di rumah. Ini termasuk larangan penggunaan ponsel pintar, pemantauan ketat dan pengawasan aktivitas online siswa, serta mengharuskan siswa menyerahkan catatan penggunaan telepon mereka, termasuk panggilan, pada guru setiap bulan.
Setiap siswa yang melanggar aturan untuk pertama kalinya akan diberikan hukuman, skorsing tiga hari, dan penyitaan telepon. Pelanggar kedua kali akan diberikan penahanan dan tambahan dua hari penangguhan, sementara yang ketiga kalinya akan membuat mereka dikeluarkan dari sekolah.
Biro pendidikan setempat mengatakan sekolah tidak melakukan kesalahan karena berusaha mendorong siswa menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar. Namun, cerita tersebut telah menyebabkan reaksi kontra terhadap sekolah dan aturannya di media sosial China.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Tuai Reaksi Publik
Seorang pengguna Weibo berkata, "Sekolah memaksa siswa untuk menjauh dari internet? Bukankah kita hidup di tahun 2022?” Sementara yang lain menulis, "Untuk memajukan kualitas pengajaran di sekolah, saya sarankan aturan diterapkan ke semua orang termasuk guru."
Seorang pengacara yang diwawancarai tentang kasus ini oleh Jiupai News mengatakan, di bawah Undang-Undang Pendidikan, semua sekolah diizinkan mengatur perilaku siswa saat di sekolah. Namun, dalam kasus ini, sekolah tidak bertindak secara wajar dan tidak memiliki hak untuk mendikte bagaimana siswa menggunakan internet di luar sekolah.
Sebelum ini, aturan ketat di sebuah sekolah di Prefektur Fukuoka, Jepang, juga telah menarik perhatian. Insiden berawal saat guru di sekolah menengah pertama (SMP) negeri di Kota Kurume, Fukuoka, sedang memeriksa para murid untuk melihat apakah siswa mematuhi peraturan sekolah tentang potongan dan pewarnaan rambut.
Salah seorang siswa kelas 3 SMP lulus pemeriksaan rambut itu, tapi ia mengalami masalah dengan alisnya. Melansir Japan Today, aturan sekolah itu melarang siswa memotong atau mencukur alis. Tapi, gadis berusia 14 tahun itu telah mencukur tepi alisnya agar terlihat lebih rapi. Pihak sekolah pun menetapkan hal itu sebagai pelanggaran.
Pro Kontra
Siswa tersebut lalu dihukum tiga hari menjalani "besshitu toko" yang berarti "sekolah di ruang terpisah" selama tiga hari. Itu merupakan bentuk pendisiplinan di sekolah-sekolah Jepang untuk siswa yang melanggar aturan.
Mereka harus mengerjakan tugas sekolah di ruang terpisah, jauh dari kelasnya, yang pada dasarnya adalah skorsing di sekolah. Anak SMP itu juga disuruh menulis esai yang merefleksikan pelanggarannya. Hukuman itulah yang jadi pro kontra di masyarakat.
Miki Hata, Direktur Pendidikan Kurume, menanggapi insiden itu dengan mengatakan, "Saya percaya sekolah mungkin khawatir bahwa pada usia perkembangan, anak-anak mungkin jadi terganggu dengan terlalu fokus pada alis dan gaya rambut mereka, sehingga mengabaikan aspek-aspek penting dari pendidikan dan gaya hidup mereka."
Bagaimana alis dicukur bisa memengaruhi perkembangan anak? Ada dua kemungkinan penjelasan. Pertama, sekolah mungkin melihat alis yang dirapikan sama dengan menggunakan riasan. Sementara, sebagian besar sekolah di Jepang memiliki filosofi bahwa siswa semestinya menghabiskan energi untuk belajar, bukan berdandan.
Kedua, alis yang dicukup dianggap berhubungan dengan kenakalan remaja dan geng jalanan di Jepang. Walau dianggap sedikit kuno, biasanya mereka melibatkan sepenuhnya atau hampir sepenuhnya dengan mencukur alis. Tapi di sisi lain, etika orang Jepang menekankan pentingnya penampilan yang rapi saat keluar di depan umum, dan rambut berlebihan di wajah atau tubuh sering dianggap tidak merawat diri.
Sementara, Mutsumi Kaneko yang jadi anggota Dewan Kota Kurume merasa sekolah terlalu berlebihan dalam menghukum gadis itu. Insiden itu bahkan mendapat perhatian nasional di Jepang
Advertisement