Saat 6 Penulis Ternama Interpretasikan Karya Seniman Agus Suwage Lewat Tulisan Fiksi

Museum MACAN menggandeng enam penulis ternama untuk menginterpretasikan karya lukis Agus Suwage lewat tulisan di buku terbaru.

oleh Geiska Vatikan diperbarui 13 Feb 2023, 09:01 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2023, 09:01 WIB
Museum MACAN Gaet Agus Suwage dan Enam Penulis Terkenal Pada Buku ‘Pressure and Pleasure’
Museum MACAN Gaet Agus Suwage dan Enam Penulis Terkenal Pada Buku ‘Pressure and Pleasure’. (dok.Museum MACAN/Geiska Vatikan Isdy)

Liputan6.com, Jakarta - Museum MACAN meluncurkan buku ‘Pressure and Pleasure’ yang melibatkan enam penulis ternama untuk mengulas karya seniman lokal, Agus Suwage. Para penulis itu adalah Erni Aladjai, Eka Kurniawan, Goenawan Mohamad, Laksmi Pamuntjak, Mahfud Ikhwan, dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.

Buku ini merupakan antologi kontemporer yang terinspirasi dari karya Agus Suwage “The Theater of Me” yang sempat dipamerkan pada Juni hingga Oktober 2022. Dian Ina, Head od Exhibitions Museum MACAN menyebut total karya milik Agus Suwage yang dipamerkan saat itu berjumlah 82 koleksi.

"Dari 82 itu, kami highlight berapa belas untuk diberikan para penulis agar mereka bisa memilih untuk diinterpretasikan dalam bentuk tulisan," katanya di Central Park, Jakarta Barat pada Jumat, 10 Februari 2023.

Pemilik karya, Agus Suwage mengaku turut senang dalam peluncuran buku ini yang dibuat sebagai respon terhadap karya-karyanya. "Saya senang karena buat saya ini suatu kesegaran. Cara penyampaian yang baru ini, saya suka dengan pendekatan tidak konvensional," tuturnya pada Book Talk.

Antologi ini mengeksplorasi pengaruh generasi perupa dan pemikir kritis pada masanya terhadap karya dan ide sang perupa. Aaron Seto sebagai Direktur Museum MACAN menyebut, hal inilah yang membuat ciri khas dari buku tersebut.

"Buku ini hadir bukan seperti katalog pameran pada umumnya. Sebaliknya, kami berupaya untuk memperluas konsep terdalam dan proses dalam membaca karya Agus Suwage, menarik gambaran dan simpati dengan para pemikir kritis secara bersamaan," sebutnya.

Ina berharap, buku ini dapat menjadi sebuah medium untuk menjangkau audiens baru. Menurutnya, karya seni rupa juga bisa berkaitan dengan seni lainnya. 

Kebebasan Menulis

Agus Suwage
Agus Suwage bersama penulis Eka Kurniawan dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (dok.Museum MACAN/Geiska Vatikan Isdy)

Ina menjelaskan hanya memberikan ketentuan menulis 3000 kata dalam waktu 30 hari sementara untuk jenis penulisannya bebas. Pada kesempatan ini, Eka Kurniawan yang terkenal dengan karya fiksinya, memilih untuk menginterpretasikan dalam bentuk esai.

Menurut Eka, walau diberikan kebebasan dalam menulis, hal ini menjadi sebuah tantangan baginya. "Saya sendiri harus memberi bingkai pada tulisan untuk membuat batasan sendiri," jelasnya. Pemberian bingkai itu dia andaikan seperti lukisan yang telah dibingkai agar tidak melewati batas.

Ziggy merasakan kecemasan dalam menginterretasikan koleksi Agus Suwage ke dalam karya tulisannya. "Saya yang menginterpretasikannya pun takut mengalami kesalahan, bukan hal yang dimaksud. Tapi, aku juga harus memposisikan diriku sebagai orang yang nggak membuat karya," kata Ziggy.

Sementara, Ina menyebut proses kerja sama dengan para penulis cukup lancar karena komitmen dan tepat waktu. Dari awal, pihaknya tidak menentukan untuk alur cerita sehingga untuk penyusunan pada buku juga berdasarkan urutan alfabet dari nama penulis.

Pilihan Karya Seni

Agus Suwage
Acara Book Talk Pressure and Pleasure di Gramedia Central Park, Jakarta Barat pada Jumat, (10/02/2023). (dok.Museum MACAN/Geiska Vatikan Isdy)

Erni Aladjai pada kesempatan ini memilih karya Siklus #1 (2010). Dia ingin menyelami perspektif baru dan mendalam akan kematian. "Karya ini mengingatkan saya pada masa pandemi ketika mendengar kabar kematian dari kerabat dan berpikir, akan tibanya giliran saya suatu saat nanti," tuturnya.

Novelis itu memilih untuk menulis cerita pendek mengenai kecelakaan pesawat jatuh dengan gaya yang ringan. Misal, pada karakter tengkorak yang ada pada karya tersebut memilih identitasnya masing-masing dan terhubung satu sama lain di titik kehidupan mereka. Lewat karyanya ini, dia ingin memaknai kembali kematian dengan cara yang sama seperti kita memandang keindahan dalam kehidupan.

Sementara, Eka memilih karya Ugly Self Potraits (1997) untuk ditulis dalam sebuah esai mengenai keburukan sebagai representasi dari ekspresi dan kritik diri. "Sesuatu yang jelek itu kadang lebih menarik daripada yang biasa kita lihat, harmoni, sempurna, dan enak dilihat," jelasnya.

Goenawan Mohamad menyebut bahwa ini adalah eksplorasi baru baginya. "Menulis fiksi yang merespons pada sebuah karya perupa adalah sesuatu yang saya belum pernah lakukan sebelumnya," paparnya.

Pilihan Karya Seni

pressure and pleasure
Museum MACAN Gaet Agus Suwage dan Enam Penulis Terkenal Pada Buku ‘Pressure and Pleasure’. (dok.Museum MACAN/Geiska Vatikan Isdy)

Laksmi Pamuntjak memilih Daughter of Democracy (1996) dan seri Daughter of Democrazy (1996) untuk dijadikan sebuah dialog imajiner antara Agus Suwage dan anaknya, Carkultera.

"Salah satu kemewahan dalam menulis fiksi, seperti yang kita ketahui adalah kejutan-kejutan yang hadir dalam prosesnya terdapat perenungan tentang identitas sebagai sesuatu yang diwariskan, tentang kematian dan kelahiran kembali, tentang harapan dan penebusan," ucapnya.

Mahfud Ikhwan menulis cerita pendek yang terinspirasi dari lukisan Pressure and Pleasure (1999) yang akhirnya dibuat menjadi judul buku. Dia menyebut karya tersebut terdapat gambar tenda militer dan oster film dewasa Indonesia dari era 90-an.

Dia berkata, "Seperti sebuah lemari tua yang penuh sesak, tiba-tiba tumpah memenuhi kepala saya dengan ingatan, pengalaman, dan obsesi yang kemudian menuntun untuk menulis Setelah Hilangnya Pelukis Iman Amanullah."

Karya Tembok Toleransi (2012) dan Social Mirrors #3 (2013) adalah karya yang dipilih Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. "Secara khurus menarik perhatian saya, karena isu konservatisme yang jarang dibarengi dengan empati dan kepedulian akan sesama adalah tema yang selalu saya upayakan, dan kedua karya ini memiliki sentimen yang mirip," pungkasnya.

Buku ini tersedia di Gramedia dengan harga Rp360 ribu. 

infografis hari museum internasional
Hari Museum Internasional
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya