Liputan6.com, Jakarta - "Setiap anak dari suku apapun punya hak bermain," kata Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Rohika Kurniadi Sari, melalui sambungan telepon pada Liputan6.com, Jumat, 21 Juli 2023.
Karena itu, memastikan lebih banyak Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) jadi sangat penting. Rohika menyebut bahwa sampai saat ini, pihaknya sudah menginisiasi 102 RBRA di seluruh negeri. Namun, baru 76 yang sesuai standar pedoman RBRA.
Advertisement
"RBRA terstandar sudah jadi salah satu indikator di kabupaten/kota layak anak," tuturnya. "Memang tidak mudah memiliki RBRA terstandar (karena ada) 13 persyaratan harus terpenuhi."
Advertisement
Syarat-syarat tersebut, yakni lokasi, pemanfaatan, kemudahan, material, vegetasi, penghawaan udara, peralatan bermain, keselamatan, keamanan, kesehatan/kebersihan, kenyamanan, pencahayanaan, dan pengelolaan. Selain itu, ada juga delapan prinsip yang harus diperhatikan dalam pengembangan RBRA: gratis, non-diskriminasi, kepentingan terbaik untuk anak, partisipasi anak, aman dan selamat, nyaman, kreatif dan inovatif, serta sehat.Â
"Secara mekanisme, RBRA memang dimiliki perangkat daerah, Dinas Lingkungan Hidup (setempat), atau pengembang Dinas Cipta Karya. Tapi, tidak menutup kemungkinan perangkat daerah untuk berkolaborasi dengan lembaga masyarakat, dunia usaha, bahkan forum anak," paparnya.
Hak bermain anak diatur dalam UUD Pasal 28B ayat (2) dan Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. "Disebutkan bahwa setiap anak berhak memanfaatkan waktu luang bermain dengan sebayanya, berekreasi, dan berkreasi untuk pengembangan diri," ia menyebut.
Rohika menyambung, "Ini (bermain) membangun tidak hanya kecerdasan intelektual, namun juga kecerdasan emosional, motorik, dan pengembangan bahasa."
Hak Bermain Anak
Menurut Rohika, hak bermain anak sekarang acap kali diabaikan para orangtua. Ia berkata, "Pengasuhan yang baik menurut orangtua sekarang itu anak bermain di rumah. Padahal bermain di rumah juga seringnya hanya diberi gawai. Pergeseran pengasuhan ini akhirnya tidak tepat."
Sementara di RBRA, semua fasilitasnya disebut bisa jadi "perabot bermain." "Tidak ada (standar) luasan tertentu (dalam membangun RBRA). Tapi, idealnya memang ada satu (RBRA) setiap 250 Kepala Keluarga (KK), dan itu masih jadi PR sekarang," ucapnya.
Hak bermain untuk anak bahkan harus tetap terpenuhi dalam situasi kusus, seperti bencana, menurut Rohika. "Kami mendorong harus ada tempat bermain walau sederhana. (Pakai) ban bekas, misalnya, itu bisa digunakan untuk main terowongan atau jadi ayunan," ujar dia.
Walau sederhana, semua perabot bermain harus tetap aman, ia menegaskan. "Harus nyaman dan terlindungi dari segala bentuk kekerasan, termasuk pelecehan. Makanya (idealnya) ada yang jaga (tempat bermain anak) secara bergantian, dan orang yang ditunjuk tahu akan manajemen keselamatan anak," katanya.
Selain itu, harus dipastikan bahwa RBRA juga tidak memiliki sudut-sudut tajam dan tanaman berduri. "Idelanya juga harus ada zonasi, karena anak berusia 5--10 tahun itu perabot bermainnya berbeda dengan anak usia 10 tahun ke atas," ia menyebut.
Â
Advertisement
Tidak Harus Ruang Alami
Selain itu, RBRA juga tidak boleh berada di lokasi berbahaya, seperti bekas galian tambang atau bekas tempat sampah. "Kalau di RBRA standar, sudah ada petunjuk perabot bermain sesuai usia dan tinggi badan. Sudah ada juga manfaat dari permainan tersebut," tuturnya.
Yang tidak kalah penting, RBRAÂ pun harus ramah disabilitas. "Ada akses untuk anak atau orang dengan kursi roda, misalnya," Rohika berkata.
Karena batasan ketersediaan lahan, terutama di kota-kota padat penduduk, RBRA tidak harus berupa ruang alami, tapi juga bisa berupa ruang buatan. "Maunya semua pihak berkolaborasi (menyediakan RBRA), dari pemerintah sampai para filantropi," ucap dia.
"Sekarang setiap tahun ada evaluasi pembangunan kabupaten/kota layak anak," katanya. "(Kota/kabupaten) yang sudah dapat peringkat, minimal yang (peringkatnya) madya harus punya RBRA standar. Kita dorong dengan pendampingan."
Pihaknya juga mengaku tengah bekerja sama dengan Kementerian Desa untuk mewujudkan minimal satu RBRA di satu desa. Dalam waktu dekat, sambung Rohika, mereka juga akan membangun RBRA hasil kolaborasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) di Kabupaten Asmat, Papua.
"Itu lahan gambut, jadi agak susah awalnya (membangun RBRA)," katanya. "Kami juga mendorong (ketersediaan RBRA) ke KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sebagai bagian dari ruang terbuka hijau."
Per kemarin, Jumat, 21 Juli 2023, RBRA wajib ber-SNI 91692023. "Kami juga mendorong SNI untuk ruang bermain anak komersial. Ini wajib, tapi memang sedang proses. Ruang bermain anak komersial akhirnya memang akan menunjuk lembaga sertifikasi, karena jaminan itu penting," paparnya.
RPTRA di Jakarta
Sementara itu, Plt Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DKI Jakarta, Rizky Hamid, menyebut bahwa sekarang sudah ada 324 Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di lima kota administrasi dan satu kabupaten di Jakarta.
"Perawatan RPTRA dilakukan pengelola RPTRA melalui anggaran pendapatan belanja daerah sebagaimana Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 123 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Kebutuhan Sarana dan Prasarana RPTRA Pasal 19 di mana penanggung jawab pengelolaan RPTRA di Provinsi DKI Jakarta dilaksanakan lurah sebagai Ketua Pengurus RPTRA Tingkat Kelurahan," paparnya melalui pesan, Sabtu (22/7/2023). "Dalam upaya perawatan dan pemeliharaan sarana prasarana RPTRA, kelurahan dapat bermitra dengan CSR perusahaan."
Ia menyambung, "Saat ini, RPTRA difungsikan sebagai wadah pengembangan Kota Layak Anak yang berfokus dalam layanan terhadap anak, labotarium dalam pelaksanaan 10 program pokok PKK, serta tempat berinteraksi seluruh warga dari berbagai kalangan."
Rizky mengklaim bahwa pemerintah provinsi DKI Jakarta terus berbenah dalam menjadikan RPTRA sebagai ruang publik yang nyaman. Ini termasuk dengan melakukan "pengecekan dan pelaporan seluruh sarana dan prasarana RPTRA secara berkala."
"Monitoring dilakukan secara berkala dan berjenjang, mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, hingga provinsi," sebutnya.
Advertisement
Kriteria Pembangunan RPTRA
Merujuk pada Peraturan Gubernur Nomor 123 Tentang Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Kebutuhan Sarana dan Prasarana RPTRA dan Peraturan Gubernur Nomor 139 Tahun 2016 tentang Pemanfaatan Ruang Dalam Rangka Kegiatan RPTRA, pembangunan RPTRA berkriteria sebagai berikut:
- Luas lahan minimal 750 meter persegi atau menyesuaikan keadaan kondisi kewilayahan.
- Luas bangunan RPTRA maksimal 160 meter persegi.
- RPTRA dibangun di atas lahan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau dapat bekerja sama terkait penggunaan lahan dengan instansi pusat sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
- Tidak bertentangan dengan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Perencanaan Provinsi DKI Jakarta.
- Disetujui berdasarkan musyawarah yang melibatkan tokoh masyarakat, perangkat daerah terkait, tim penggerak PKK, dan forum anak.
- Pengurusan administrasi perizinan penggunaan lahan untuk dijadikan RPTRA.
Ditanya rencana jangka pendek terkait pengadaan lebih banyak RPTRA, Rizky menjawab, "Saat ini sedang dilakukan perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 123 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Prasarana dan Sarana RPTRA."
"Pergub ini menggabungkan Peraturan Gubernur Nomor 139 Tahun 2016 tentang Pemanfaatan Ruang Dalam Rangka Kegiatan RPTRA dan akan diperinci terkait pembangunan RPTRA, mulai dari perencanaan; pembangunan; pengelolaan berupa pembinaan, pemeliharaan, dan perawatan; hingga pendanaan, serta SKPD penanggung jawab penyedia RPTRA, dan penanggung jawab pengelolaan sarana prasarana RPTRA.
"Jangka panjangnya, kami berencana mengadakan minimal satu RPTRA di setiap kelurahan di DKI Jakarta," tandasnya.