Kepala Lapan Thomas Djamaluddin: Impian Indonesia Buat Spaceport

Kepala Lapan Thomas Djamaluddin menargetkan agar Indonesia memiliki bandara antariksa pada 25 tahun mendatang.

oleh Liputan6 diperbarui 09 Mei 2014, 09:01 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2014, 09:01 WIB
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin (Liputan6.com/Fahrizal Lubis)

Liputan6.com, Jakarta - Oleh: Elin Yunita Kristanti dan Fahrizal Bahri Lubis

Pada tahun 1865 HG Wells dan Jules Verne menerbitkan novel petualangan fiksi ilmiah From Earth to the Moon. Tulisan yang berawal dari mimpi atau fantasi ini meski tak diminati banyak orang, nyatanya telah menginspirasi sejumlah orang dan ilmuwan tentang wahana sejenis peluru yang bisa mengantar orang pergi ke luar Bumi.

Dan, Indonesia punya impian besar tentang itu dan mandiri di bidang antariksa. Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang baru dilantik, Thomas Djamaluddin menargetkan agar Indonesia memiliki bandara antariksa (spaceport atau kosmodrom) pada 25 tahun mendatang.

Bandar antariksa akan menjadi situs peluncuran atau penerima pesawat luar angkasa. Mirip Baikonur Cosmodrome milik Rusia atau Cape Canaveral dan Kennedy Space Center milik Amerika Serikat.

Istimewanya, kelak bandar antariksa milik Indonesia punya keunggulan lantaran letaknya berada di garis khatulistiwa. Lebih murah dan mudah untuk meluncurkan satelit. Seperti apa gagasan spaceport ala Indonesia? Berikut petikan wawancara khusus Liputan6.com dengan Kepala Lapan Thomas Djamaluddin di kantornya, Jakarta, Selasa pekan terakhir April 2014.

Apa visi misi Anda?

Lapan dengan UU Keantariksaan Nomor 21 Tahun 2013 itu diamanahkan khususnya terkait dengan kemandirian. Kemudian berhubungan dengan keantariksaan itu ada 5 hal pertama berkaitan dengan pengembangan sains antariksa, kedua pemanfaatan keantariksaan.

Yang ketiga terkait dengan penguasaan teknologi ini terkait dengan teknologi satelit, roket terkait dengan teknologi aeronautika atau penerbangan. Kemudian keempat terkait dengan peluncuran wahana antariksa, berikutnya adalah berkaitan dengan bandar antariksa dan komersialisasi antariksa.

Jadi Lapan punya visi membangun suatu keunggulan, sains, pemanfaatan dan teknologi keantariksaan serta kajian kebijakan keantariksaan. Itu adalah visi kita untuk membangun itu. Terkait dengan UU Keantariksaan diamanatkan juga membuat satu rencana induk 25 tahun, rencana induk keantariksaan. Ada 4 hal besar yang masuk dalam rencana induk tersebut yang nantinya rinciannya akan dijabarkan di rencana induk.

Kita mengupayakan, menguasai dan mempunyai serta meluncurkan sendiri satelit penginderaan jauh. Kita juga mengupayakan supaya bisa mempunyai sendiri serta mengoperasikan tentu saja dengan membuatnya satelit telekomunikasi. Kemudian kita mengupayakan adanya roket peluncur satelit dan berikutnya mimpi kita adalah mempunyai bandar antariksa sendiri.

Spaceport dan Ekuator

Space station atau spaceport mulai marak ditulis media-media, bagaimana dengan Lapan?

Bandar antariksa itu adalah spaceport, jadi tempat peluncuran wahana antariksa khususnya adalah roket. Seperti di Amerika, Kennedy Space Port, Kalau di Prancis itu di Kourou di Amerika Selatan, kemudian Brasil punya Alcantara kemudian India mempunyai Srihari Kota.

Lapan khususnya Indonesia jadi bukan sekadar Lapan, tapi keantariksaan Indonesia juga memimpikan kita mempunyai bandar antariksa tempat peluncuran satelit-satelit dan roket ke antariksa. Dan ini tidak hanya untuk Indonesia tapi bisa juga dimanfaatkan oleh mitra-mitra lain jadi sifatnya kerja sama saling menguntungkan. Dan posisi Indonesia di ekuator itu juga sangat menguntungkan karena untuk meluncurkan satelit khususnya satelit di GSO (Geo-Stationary Orbit) yang terbaik adalah dari wilayah ekuator.

Mengapa harus di ekuator?

Ya, karena kalau untuk peluncuran sebut saja dari Amerika Cape Canaveral Kennedy, ketika menempatkan di ekuator dia perlu ada manuver-manuver sehingga manuver-manuver tersebut tentunya membutuhkan bahan bakar roket sehingga biayanya kalau kita bandingkan di peluncuran dari ekuator dan dari peluncuran lintang tinggi tentunya lebih murah kalau peluncuran dari ekuator. Itu sebabnya Prancis membuat bandar antariksanya di Kourou di Amerika Selatan itu dekat dengan garis ekuator. Brasil juga sama, Alcantara itu di wilayah Ekuator.

Di Indonesia sekarang sedang dikaji yang wilayah dekat ekuator itu yang pertama adalah yang di Biak. Lapan sudah mempunyai lahan di sana untuk persiapan itu. Alternatif lain adalah di Morotai ini posisinya kurang lebih 2 derajat dari ekuator. Sekarang sedang dikaji segala kemungkinannya untuk mendukung peluncuran roket tersebut. Dari segi keamanannya dari segi transportasi membawa roket ke sana dan kemudian yang penting ada akseptabilitas masyarakat.

Berarti kalau kita punya spaceport berarti pertama di Asia Tenggara?

Iya, ini bisa menjadi spaceport pertama di wilayah ekuator untuk wilayah Asia atau Afrika.

Kelebihan Indonesia karena lokasi?

Iya lokasi itu, jadi kalau di Benua Amerika (belahan) selatan itu sudah ada di Kourou dan Alcantara. Nah, wilayah Asia atau Afrika itu belum ada. Kalau kita jadi bangun itu maka akan menjadi lokasi yang penting sekali.

Pembangunan spaceport tidak mudah ya, perlu komitmen, biaya dan political will. Kendala apa yang dihadapi Lapan dalam membangun spaceport ini?

Pertama tentu political will, jadi ini semacam komitmen nasional bahwa kita ingin mengembangkan teknologi antariksa yang tidak bergantung kepada negara lain walaupun kerja sama tetap terbuka. Indonesia yang luas negaranya berpulau-pulau yang dipersatukan oleh lautan tentu memerlukan teknologi satelit.

Kalau satelit itu kita lebih memilih membeli dari luar kemudian meluncurkannya di luar maka ketergantungan kita sangat tinggi. Padahal umur satelit itu rata-rata cuman 5-7 tahun, sehingga pembaruan itu harus selalu ada. Jadi aktivitas pembuatan, peluncuran itu menjadi aktifitas yang terus-menerus. Sehingga kalau kita mempunyai spaceport sendiri kemudian bisa mengembangkan satelit sendiri kemudian dengan wahana peluncur juga sendiri tentu ini akan memberikan keuntungan.

Tetapi untuk membangun itu tentu teknologinya teknologi tinggi. Dan, teknologi antariksa adalah teknologi yang juga sangat mahal kemudian risikonya juga sangat tinggi. Jadi Hi-cost, Hi-Risk, Hi-Tech dalam teknologi antariksa ini sangat sulit kalau kita bekerja sendiri dan akan sangat lama. Sehingga jalan yang harus dilakukan adalah bekerja sama dengan mitra-mitra yang sudah maju.

Kita sedang menjajaki dengan mitra kita dalam pengembangan teknologi antariksa seperti itu. Tentu teknologi antariksa yang ada memang bagian-bagian yang sangat sensitif karena ini bisa dimanfaatkan untuk teknologi militer, yaitu negara-negara mitra tentu akan berhitung juga. Itu tidak bisa dengan mudah diberikan karena ada perjanjian-perjanjian internasional yang harus diikuti.

Kita sudah mempunyai kerja sama tetapi dalam bidang yang beragam dengan badan antariksa internasional, dengan NASA Amerika. Kita juga punya kerja sama dengan di Rusia di Ros Cosmos, juga dalam beberapa hal kita juga punya kerja sama dengan Isro India, JAXA Jepang. Kemudian dengan negara yang aktif juga maju seperti China, Ukraina, kita juga menjajaki peluang-peluang kerja sama itu.

Spaceport penjajakan dengan mitra mana saja?

Ada beberapa negara yang sudah menawarkan dan mengkaji dan ini masih dalam tahapan kajian kemudian pengembangan teknologi. Katakan misalkan China, mungkin saja bisa membantu kita untuk mengembangkan itu. Kemudian negara-negara seperti Ukraina, itu juga mungkin karena Ukraina juga pernah bekerja sama dengan Brasil untuk mengembangkan spaceport mereka. Kemudian negara-negara mitra kita seperti India, Jepang, atau Rusia peluang itu masih terbuka. Jadi kita membuka kepada semua mitra untuk sama-sama mengembangkan bandar antariksa di Indonesia.

Rencana spaceport yang kita bangun apakah bisa digunakan sebagai wahana mengirim astronot kita ke luar angkasa seperti ISS?

Kalau spaceport ini bisa digunakan untuk wahana antariksa berukuran besar termasuk peluncuran wahana berawak sehingga bisa mengirim astronot itu bisa saja dimanfaatkan seperti itu. Hanya saja wahana berawak seperti di ISS itu tidak harus di ekuator. Jadi ini mungkin banyak peluang dari spaceport yang lain mungkin ada. Yang sekarang yang sudah mengirim manusia itu Kennedy Space Center di Amerika kemudian di Rusia, di Jepang juga sudah ada wahana pengangkut astronot juga sudah kemudian China.

Astronot Indonesia dan Pengembangan Roket

Saat ini Indonesia bermimpi mengirim astronotnya ke antariksa, mudah tidak mewujudkan mimpi itu?

Suatu saat mungkin bisa. Jadi orang mengirim atau negara mengirim astronot itu ada tahapan-tahapan yang harus diatasi. Mengirim astronot itu lebih rumit dibandingkan mengirim benda mati seperti satelit. Karena untuk astronot itu tentu keamanan supaya astronot itu bisa selamat terbang dan selamat kembali itu juga hal yang penting.

Jadi penguasaan teknologi antariksa termasuk sistem-sistem yang terkait ini harus dikuasai dulu. Memang teknologi antariksa itu mahal, tapi dari segi pemanfaatan dan multi-efeknya itu luar biasa.

Sekadar contoh India misalkan, itu kalau orang melihat jumlah penduduk yang sedemikian besarnya kemudian masalah-masalah kemiskinan juga ada tetapi India tetap mengembangkan teknologi antariksa.

Karena teknologi antariksa banyak memberikan solusi untuk kesejahteraan masyarakatnya. Dan juga dengan teknologi antariksa yang tinggi ini memacu juga industri-industri yang mendukung. Itu artinya memberikan tantangan dan juga memberikan peluang memajukan industri-industri tinggi.

Dan tentu saja bagian yang penting itu adalah memberikan kebanggaan nasional. Karena kebanggaan nasional itu juga merupakan bagian yang sangat penting agar negara kita menjadi bangsa yang diperhitungkan oleh negara-negara lain.

Untuk pengembangan roket sudah sampai mana?

Cita-cita itu ada, jadi roket untuk peluncur satelit itu menjadi cita-cita pengembangan roket di Lapan. Teknologinya itu tidak bisa dipelajari sendiri. Tidak ada sekolah yang memberikan ilmu pengembangan roket karena ini sangat sensitif. Roket bisa dimanfaatkan untuk keperluan militer sehingga negara-negara tidak mungkin memberikan begitu saja teknologi roket itu. Sehingga kita harus mengembangkan sendiri atau mungkin bermitra dengan negara mitra kita.

Tahapan yang sudah dilakukan adalah membuat roket-roket mulai dari roket-roket penelitian, jadi roket eksperimen itu kelas RX. Kemudian dalam waktu dekat kita akan masuk dalam pengembangan roket sonda, jadi roket dengan muatan untuk penelitian atmosfer. Kemudian kita akan mengembangkan roket lebih besar lagi dengan kemampuan jangkauan lebih tinggi lagi untuk digunakan mengirim satelit ke orbit.

Pengembangan roket selalu dipersulit dengan kebijakan MTCR apa solusi yang dilakukan Lapan?

Ini terkait dengan kebijakan ya. Kebijakan masih banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Kita belajar bagaimana Brasil misalkan, ketika membuat bandar antariksa termasuk juga eksperimen-eksperimen peluncuran roket itu pada tahap awal memang bersikukuh tidak mau ikut dalam MTCR (Missile Technology Control Regime).

MTCR itu adalah semacam perjanjian internasional terkait dengan pembatasan teknologi misil, roket yang dimuati persenjataan. Tapi dalam perkembangannya itu tidak bisa bertahan seperti itu kemudian ikut dalam perjanjian internasional tersebut tetapi dengan aturan-aturan yang ketat.

Kita belum terpikir masalah yang terkait dengan MTCR seperti itu apakah kita masuk atau tidak. Masih banyak faktor yang dipertimbangkan di sana. Tetapi ya mau tidak mau ketika kita mengembangkan teknologi roket kita akan dihadapkan dengan masalah-masalah perjanjian internasional yang memang ada batasan-batasan yang harus kita atasi dan harus kita ikuti.

Jadi kita akan mencoba melakukan pengembangan, kita juga bekerja sama dengan mitra-mitra kita terkait dengan batasan-batasan yang harus kita atasi ini juga perlu dipertimbangkan juga.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya