BPK: BI Diduga Ubah Peraturan Agar Bank Century Diberi FPJP

Penelitian yang dilakukan BPK menemukan adanya kejanggalan dalam pemberian FPJP untuk Bank Century.

oleh Widji Ananta diperbarui 05 Mei 2014, 18:28 WIB
Diterbitkan 05 Mei 2014, 18:28 WIB
Pradjoto
Pemakzulan Wapres Boediono

Liputan6.com, Jakarta - Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara mengatakan dari penelitian yang dilakukannya, ditemukan adanya kejanggalan dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) untuk Bank Century.

"Diduga Bank Indonesia mengubah peraturan BI agar Bank Century dapat pendanaan FPJP," ujar Wara saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli di Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (5/5/2014).

Wara mengatakan, berdasarkan Rapat Dewan Gubernur pada 14 November 2008 yang isinya adalah merevisi PBI, syarat pemberian FPJP yang semula minimal capital adequacy ratio atau rasio kecukupan modal (CAR) 8 persen diubah. Karena tertulis positif saja tanpa menyebut batas angka. Ada juga pengubahan agunan kredit dari 12 bulan jadi 3 bulan.

"Saat resmi diberikan FPJP 14 November 2008, BI menggunakan data CAR Bank Century per 30 September 2008. Meski CAR terkini 31 Oktober sudah terbukti negatif," ujarnya.

BPK juga menemukan rendahnya pengawasan BI terhadap Bank Century. Seharusnya Bank Century sudah masuk dalam pengawasan khusus BI sejak 2005.

BPK juga menyoroti soal penerimaan dana peminjaman dari Robert Tantular kepada Budi Mulya sebesar Rp 1 miliar. Padahal, saat itu sedang terjadi proses pengambilan keputusan tentang FPJP.

Di tempat yang sama, sebelumnya pakar hukum bisnis dari Universitas Diponegoro Sri Rejeki menegaskan ucapan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang pemberian FPJP untuk Bank Century oleh Kementerian Keuangan tidak lazim lantaran adanya krisis ekonomi.

Menurutnya, kalaupun terdapat indikasi krisis, perlu adanya pendalaman dalam waktu yang lama untuk mengambil sebuah keputusan. Sebuah keputusan penting tidak bisa diambil dalam waktu singkat.

"Tidak lazim. Karena semua butuh proses, butuh pemikiran mendalam. Lebih-lebih sebagai institusi itu untuk kepentingan publik," katanya saat menjadi saksi ahli di Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Ditambahkan, jika Sri Mulyani mengatakan pemberian fasilitas itu terkait adanya krisis ekonomi perbankan pada 2008, tetapi jika dilihat dari tata ekonomi Indonesia, krisis ekonomi itu dinilainya belum bermasalah.

"(Krisis) tahun 2008 tidak berasa. Krisis 2008 nampak tidak berat dan mendasar untuk ekonomi Indonesia jika dibandingkan krisis 1998," ucap Sri Rejeki. (Sss)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya