Pemerintah Diminta Susun Kriteria Jelas Soal Situs Radikal

Pengamat mengusulkan beberapa kriteria yang bisa digunakan pemerintah untuk menentukan apakah situs tersebut termasuk radikal atau tidak

oleh Luqman Rimadi diperbarui 04 Apr 2015, 15:26 WIB
Diterbitkan 04 Apr 2015, 15:26 WIB
Pemerintah Blokir 22 Situs Terkait Paham Radikal
Warga melihat salah satu website yang belum diblokir oleh Kemkominfo di Jakarta, Rabu (1/4/2015). Kemkominfo memblokir 22 situs/website bernuansa radikal yang diadukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Langkah Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) yang melakukan pemblokiran situs-situs yang diduga menyebarkan paham radikal diapriesiasi oleh berbagai kalangan. Namun, bagi sebagian lainnya, cara itu dianggap sebagai upaya instan pemerintah memberangus pemahaman radikal.

Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ali Munhanif mengatakan, dalam melaksanakan kebijakan pemblokiran terhadap situs-situs berbahaya, pemerintah -- dalam hal ini Kemkominfo dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) -- harus menyusun dan memiliki standar dan kriteria yang jelas.

Pengajar di UIN Syarif Hidayatullah itu mengusulkan beberapa kriteria yang bisa digunakan pemerintah untuk menentukan apakah situs tersebut termasuk radikal atau tidak, pertama, situs web tersebut berisi ajaran radikal yang mengajak pembaca untuk melakukan kekerasan.

"Mereka memuat berbagai konten, pemberitaan ataupun tulisan-tulisan lainnya yang mengarahkan publik untuk melakukan upaya apapun untuk mencapai tujuan yang menurut mereka sesuai dengan ajaran agama," ucap Ali.

Kedua, situs yang masuk kategori radikal adalah yang menyebarkan kebencian dan memberikan penafsiran terhadap kitab suci yang berbeda seperti tafsir-tafsir yang ada selama ini. Penafsiran yang disampaikan pun cenderung mengarah ke hal-hal yang bersifat radikal dan tidak kompromi terhadap hal-hal yang berada di luar pemikiran yang diyakini.

"Mendakwahkan agama memang diperbolehkan, tetapi jika dakwah tersebut sudah menyentuh hal yang bisa membahayakan maka pemerintah harus bisa mengambil tindakan tegas," kata Ali.

Selain itu, Ali juga mengatakan, penyebaran paham radikal melalui dunia maya paling banyak memakan korban dari kalangan anak muda. Ia pun mencontohkan bagaimana banyaknya kaum muda di beberapa negara di wilayah Eropa bergabung dengan ISIS karena berawal dari media sosial atau situs-situs radikal.

"Saya beri catatan generasi muda ini paling rentan terkontaminasi situs radikal, kenapa anak muda? Karena mereka punya kemampuan mengakses internet yang baik. Mereka menjadi mudah terpengaruh ketika ada masalah, seperti putus cinta, lalu dapat pencerahan sesuatu yang dianggap nyaman, maka sangat mudah ia masuk ke jaringan-jaringan tersebut," tandasnya. ‎
‎
Ali pun berharap agar pemerintah tidak hanya fokus melakukan pencegahan penyebaran paham radikal melalui dunia maya, namun juga penyebaran yang disusupi melalui literatur buku dan media-media lainnya yang mudah diakses oleh publik.

"Banyak ruang publik kita dimanfaatkan untuk menyebarkan pemahaman keliru tentang jihad, salah satunya seperti yang terjadi di sebuah SMA di Jombang, ditemukan ajaran radikal pada sebuah buku pelajaran agama, ini juga harus menjadi perhatian pemerintah," tandas Ali Munhanif. (Riz/Ein)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya