Liputan6.com, Jakarta - Jumat 17 Agustus 1945 dini hari, kesibukan luar biasa tampak di sebuah rumah berlantai 2 di Jalan Meiji Dori No 1, Jakarta Pusat. Di luar terlihat puluhan pemuda bergerombol dengan wajah serius bercampur tegang. Mereka tengah menunggu apa yang akan diputuskan para senior di lantai 1 rumah tersebut.
Di dalam rumah, suasana tak kalah tegang. Menjelang santap sahur hari ke-8 Ramadan itu, Sukarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Subardjo di ruang tengah rumah itu tengah merumuskan naskah Proklamasi yang akan menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka.
Singkat cerita, ketika draft Proklamasi selesai dibuat pagi itu, masalah muncul. Saat naskah akan diketik, di rumah itu tak ada mesin tik. Untungnya, Satsuki Mishima, anak buah Laksamana Muda Tadashi Maeda, mengetahui di mana bisa meminjam mesin ketik pada dini hari itu.
Advertisement
Mishima pergi menggunakan mobil Jeep kepunyaan Maeda untuk meminjam mesin ketik kepunyaan Kantor Perwakilan Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) di Indonesia. Teks Proklamasi kemudian diketik Sayuti Melik menggunakan mesin tik itu di dekat dapur kediaman Maeda. Pagi harinya, naskah hasil ketikan itu dibacakan Sukarno di rumahnya, Jlan Pegangsaan Timur No 56.
Rumah tempat naskah Proklamasi itu disusun adalah tempat tinggal Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Jepang. Laksamana Maeda beserta rumah yang kini berada di Jalan Imam Bonjol No 1 Jakarta Pusat itu punya peran penting dan jasa tak terhingga dalam sejarah lahirnya Indonesia.
Cerita kedekatan Laksamana Maeda dengan Indonesia sejatinya terjadi jauh sebelum malam jelang kemerdekaan itu. Maeda yang lahir pada 3 Maret 1898 di Kagoshima, Kyushu, Jepang, pernah menjadi atase militer Jepang di Den Haag, Belanda, dan Jerman pada masa sebelum perang atau sekitar 1930-an.
Dalam diri Maeda muncul simpati terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia sejak dia bertugas di Belanda. Saat itu, Maeda kerap berhubungan dengan sejumlah tokoh pelajar dan mahasiswa Indonesia, seperti Nazir Pamuntjak, Ahmad Subardjo, Mohammad Hatta, dan AA Maramis.
Setelah bertugas di Den Haag dan Berlin, Maeda dipanggil pulang ke Jepang dan menerima tugas baru di Indonesia pada 1942. Saat berdinas di Jakarta inilah Maeda mendirikan sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka pada Oktober 1944 bagi para pemuda terpilih.
Ahmad Subardjo bersama Wikana menjadi penggerak Asrama Indonesia Merdeka, sedangkan Maeda menjadi sponsor sekolah itu. Maeda juga yang kemudian meresmikan asrama tersebut di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat dan dipindahkan ke Jalan Kebon Sirih 80 pada Oktober 1944.
Hampir semua figur nasionalis menjadi pengajar di sekolah ini. Seperti Soekarno yang mengajarkan politik, Hatta mengajarkan ekonomi, Sanoesi Pane mengajarkan Sejarah Indonesia, Sjahrir mengajarkan sosialisme, Iwa Kusuma Sumantri mengajarkan hukum pidana, dan Ahmad Subardjo mengajarkan hukum internasional.
Lulusan pertama (sekitar 30 orang) yang pendidikannya berlangsung selama 6 bulan tersebut adalah pada April 1945. Angkatan kedua (sekitar 80 orang) yang pembelajarannya dimulai Mei 1945 tidak sempat menyelesaikan pendidikan karena Perang Dunia II telah berakhir dan Jepang menyerah pada sekutu.
Memicu Deklarasi Kemerdekaan
Mohammad Hatta dalam Memoir (2002) sempat menceritakan jasa Maeda, khususnya pada waktu sebelum Proklamasi. Hatta bercerita saat itu pertengahan Agustus 1945, santer berita bahwa Jepang telah menyerah pada Sekutu, tetapi masih simpang siur. Akhirnya Hatta dan Sukarno bersama Soebardjo pada 15 Agustus 1945 mendatangi Maeda untuk mengonfirmasi berita itu.
"Sukarno menanyakan terus terang, 'Apa benarkah berita yang tersiar sekarang dalam masyarakat, bahwa Jepang sudah minta damai kepada Sekutu?' Maeda tidak terus menjawab dan menekur kira-kira satu menit lamanya. Aku beri isyarat kepada Sukarno, bahwa berita yang disampaikan Sjahrir itu memang benar. Dan Sukarno mengangguk," ujar Hatta.
"Setelah begitu lama berdiam diri dan wajah muka yang kelihatan sedih, Admiral Mayeda menjawab, bahwa berita itu memang disiarkan oleh Sekutu. Tetapi, di sini belum lagi memperoleh berita dari Tokyo. Kami meninggalkan kantor Rear-Admiral Mayeda dengan keyakinan, bahwa Jepang sungguh-sungguh menyerah," imbuh Hatta. Si Bung memang menulis "Mayeda" dan bukan "Maeda."
Jawaban Maeda itulah yang kemudian memicu munculnya gerakan dan desakan agar Indonesia segera mendeklarasikan kemerdekaan. Jawaban implisit Maeda seolah menjadi sebuah isyarat bagi pemimpin pergerakan bahwa sudah saatnya untuk memerdekakan Indonesia. Keinginan yang kemudian juga difasilitasi oleh Maeda dengan mempersilakan kediamannya dipakai tempat merumuskan naskah Proklamasi.
Kesediaan Maeda menyediakan rumahnya sebagai tempat rapat yang juga tempat merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan merupakan salah satu bukti simpati pribadi terhadap kemerdekaan Indonesia.
Hatta merekam kejadian ketika dia dan Sukarno datang ke rumah Maeda ketika peristiwa Rengasdengklok berakhir. Maeda sangat bergembira bertemu dengan mereka. Sukarno mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas kesediaan Maeda meminjamkan rumahnya untuk rapat PPKI malam itu. Maeda sontak menjawab, "Itu kewajiban saya yang mencintai Indonesia merdeka."
Semestinya, Maeda berdasarkan perintah yang diberikan kepadanya harus menjaga status quo sebagaimana pernyataan Mayor Jenderal Nishimura dalam pertemuannya dengan Sukarno-Hatta yang diadakan tepat sebelum Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dilangsungkan.
Nishimura di kediamannya mengungkapkan kepada Sukarno dan Hatta bahwa telah ada perintah sejak Kamis 16 Otober pukul 13.00, tentara Jepang di Jawa tidak boleh lagi mengubah status quo.
Bukan berarti tak ada yang menduga keterlibatan Maeda dalam Proklamasi Kemerdekaan RI. Barbara Gifford Shimer dan Guy Hobbs di buku The Kenpeitai in Java and Sumatra (2010) menyatakan tentara Jepang samar-samar menyadari bahwa Maeda telah berkontribusi terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia.
Advertisement
Dipuja di Indonesia, Dicaci di Negaranya
Setelah Indonesia merdeka, Maeda ditangkap oleh Sekutu pada 1946 dan dipenjarakan di Gang Tengah selama 1 tahun. Setelah itu ia dikembalikan ke Jepang.
Dalam interogasi di Changi Gaol, Singapura, antara 31 Mei sampai dengan 14 Juni 1946, sebagaimana dikutip R E Elson dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan, Maeda mengatakan, "Jalan menuju kemerdekaan telah ditempuh begitu jauh sehingga [bangsa Indonesia] tidak mau melepaskan kemajuan yang telah didapat," ujar dia.
Nishijima dalam wawancara dengan Basyral Hamidy Harahap pada 10 Oktober 2000 di Meguroku, Tokyo. menceritakan dengan gamblang kejadian saat Maeda dan dirinya ditahan di Penjara Gang Tengah. Wawancara tersebut termuat dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno (2010) dengan kutipan sebagai berikut:
"Laksamana Muda Maeda dan saya berusaha sekeras-kerasnya untuk menjaga nama baik Republik Indonesia, agar jangan sampai Belanda bisa mengatakan RI itu sebagai bikinan Jepang. Biarpun pemeriksa berturut-turut 4 hari menekan saya sampai akhirnya mengeluarkan air kencing berdarah, saya tetap tidak mengaku. Umur saya waktu itu hampir 36 tahun dan masih bisa tahan," jelas Nishijima.
Tiba di negaranya, Maeda sama sekali tak mendapat penghormatan layaknya pahlawan yang pulang perang. Ia dikecam dan mendapat perlakuan hina di Jepang. Meskipun secara hati nurani, orang-orang Jepang mendukung kemerdekaan Indonesia, namun kepatuhan kepada negara bagi mereka adalah segalanya.
Ini adalah soal kehormatan dan harga diri bangsa. Tidak aneh, ketika pulang ke Jepang, semua akses ditutup untuk Maeda dan ia mendapat kesulitan luar biasa selepas dari dinas militer hingga meninggal dunia dalam kondisi melarat.
Atas jasa Maeda tersebut, pada 1973 dia diundang pemerintah Indonesia untuk menghadiri perayaan Proklamasi 17 Agustus. Dalam kesempatan itu ia sempat bertemu dengan Mohammad Hatta. Maeda juga merupakan penerima Bintang Jasa Nararya dari pemerintah Indonesia.
Maeda meninggal dunia pada 13 Desember 1977 pada umur 79 tahun. Mengenang kepergian Maeda, Ahmad Subardjo menulis, "Pada detik-detik terpenting dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Laksamana menunjukkan sifat Samurai Jepang, yang mengorbankan diri dengan rela demi tercapainya cita-cita luhur dari rakyat Indonesia, yakni Indonesia Merdeka". (Ado/Yus)