Liputan6.com, Jakarta - Maroef Sjamsoeddin memang tak setenar sang kakak, Sjafrie Sjamsoeddin, yang pernah menjabat wakil menteri pertahanan era Pemerintahan SBY.
Namun, akhir-akhir ini popularitas sang adik mulai menyaingi kakaknya. Hal ini lantaran nama Maroef muncul dalam rekaman pembicaraan terkait kasus dugaan pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk meminta saham ke PT Freeport Indonesia, yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto.
Terungkap, pertemuan itu dihelat di sebuah hotel di kawasan Pacific Place pada 8 Juni 2015, pukul 14.00 WIB hingga 16.00 WIB. Pertemuan itu adalah pertemuan ketiga.
Lalu siapa sebenarnya Maroef? Bagi korps TNI Angkatan Udara nama Marsekal Muda TNI (Purn) Maroef Sjamsoeddin tidak lah asing. Alumni Akademi Angkatan Udara tahun 1980 ini pernah menjabat sebagai Komandan Skadron 465 Paskhas.
Begitupun di dunia intelijen. Nama Maroef juga tidak kalah mentereng dari nama Ketua BIN periode 2011 -2015, Marciano Norman.
Setelah duduk sebagai Atase Pertahanan RI untuk Brasil, Maroef didaulat menjadi Direktur Kontra Separatis Badan Intelijen Negara (BIN). Karirnya kemudian melejit, setelah duduk memegang posisi Sahli Hankam BIN, dia kemudian menjadi Wakil Kepala BIN.
Setelah pensiun dari militer, pada 7 Januari 2015, dan selesai mengabdi di BIN, Maroef kemudian ditawarkan jabatan strategis di PT Freeport Indonesia. Dia ditawari langsung oleh Chairman of Board Freeport-McMoRan, James Robert Moffett.
Hal itu tentunya bukan suatu yang tiba-tiba. Sebelumnya dia pernah bertugas di Papua menangani kasus pemogokan di pertambangan Freeport pada 2011 lalu.
Maroef yang memperoleh gelar Master of Business Administration dari Jakarta Institute Management Studies, akhirnya menerima tawaran itu dan menjadi Presiden Direktur Freeport Indonesia, menggantikan Rozik B Soetjipto yang memasuki masa pensiun.
Baca Juga
Alasan Maroef menerima tawaran Freeport adalah karena keberadaan Freeport yang hampir 40 tahun di Papua, harus memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia.
"Saya telah mempelajari mengenai keberadaan Freeport yang hampir 40 tahun di Papua. Saya tidak melihat dari sisi bisnisnya. Tetapi komitmen bagi bangsa dan negara, khususnya masyarakat Papua," ujar dia di kantor Freeport Indonesia, Jakarta, Kamis (22/1/2015).
Selain itu, lanjut Maroef, dirinya melihat kontribusi non bisnis perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) ini kepada masyarakat Papua.
"Memang sangat banyak (kontribusi non bisnis) untuk program pendidikan, pengembangan pendidikan di situ ada Institute Penambangan Nemangkawi yang 90% adalah siswa asli Papua, 10% non Papua," ungkap Maroef sebagai satu-satunya militer Indonesia yang berhasil duduk di jabatan tertinggi di Freeport.
Patut diketahui, kompleks pertambangan PT Freeport Indonesia membentang dari Pelabuhan Amamapare hingga ke pegunungan Grasberg, yang tingginya lebih dari 4.200 meter di atas permukaan laut pertambangan Grasberg.
Advertisement
Hingga kini Grasberg masih menjadi tambang terbuka terbesar di dunia yang dikelola PT Freeport Indonesia. Di dalamnya, ada lebih dari 3.000 karyawan yang bekerja selama 24 jam penuh secara bergantian.
Mereka bagian dari 12.000 karyawan PT Freeport Indonesia. Bekerja dalam wilayah yang sangat terpencil, menaklukkan tantangan ekstrem.
Selama 40 tahun terakhir, lebih dari Rp 140 triliun investasi dibenamkan di pertambangan tersebut. Membangun infrastruktur berupa jalan, pelabuhan, bandara, kota mandiri, pembangkit listrik, tambang bawah tanah hingga pabrik pengolahan.