Pansus Freeport Dinilai Bisa Ungkap Kerugian Negara

Pansus itu dapat digulirkan tanpa harus menunggu keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

oleh Taufiqurrohman diperbarui 11 Des 2015, 18:22 WIB
Diterbitkan 11 Des 2015, 18:22 WIB
Freeport Indonesia (AFP Photo)
Freeport Indonesia (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - Pembentukan Pansus Freeport dinilai sangat penting dalam upaya menguak persoalan terkait masalah kontrak PT Freeport Indonesia. Pansus itu dapat digulirkan tanpa harus menunggu keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) maupun penegak hukum yang tengah mengusut Ketua DPR Setya Novanto.

"Bahwa SN (Setya Novanto) melanggar kepatutan saat jumpa serta menfasilitasi pertemuan antara Dirut PT Freeport dan pemodal MRC tak lagi perlu dibantah," kata Dosen Politik FISIP Universitas Airlangga Haryadi di Jakarta, Jumat (11/12/2015).

Dalam posisi apapun, ucap Haryadi, perorangan atau lembaga tak relevan untuk dibedakan. Lantaran pengusaha pasti memiliki kepentingan untuk berjumpa dengan Setya Novanto karena sebagai Ketua DPR.

"Seandai SN hanya seorang sopir Gojek atau dosen, pastilah pengusaha itu enggan jumpa," ujar dia.

Haryadi menilai, secara absolut Setya Novanto telah melanggar prinsip kepatutan pejabat negara. "Bahwa untuk itu ada konsekuensi sanksi legal, sanksi sosial, dan sanksi politik, pastilah SN tahu. Walau mungkin tak diharapkannya," jelas Haryadi.

Namun dari proses kesaksian dan analisis konteks yang berlangsung di MKD, persoalannya memang tak semata menyangkut pelanggaran kepatutan oleh Setya Novanto. Justru di balik kasus itu terkesan ada persoalan jauh lebih besar dan substantif.

"Mungkin saja itu mengait operasi kartel dan atau perorangan yang merugikan negara RI dalam jumlah miliaran US dollar, serta berlangsung dalam kurun waktu panjang," ucap Haryadi.

Jika benar demikian, maka forum MKD tak punya kewenangan mengorek dugaan kerugian negara terkait PT Freeport itu. Karena itu, DPR perlu segera membentuk Pansus Freeport.

"Lewat pansus Freeport lebih dimungkinkan lembaga DPR menggali data terkait prasangka publik terhadap kerugian negara selama ini," tegas Haryadi.

MEnurut dia, jika dibentuk Pansus Freeport, sekaligus hasil temuan dan laporannya nanti menjadi salah satu pertimbangan utama saat mempertimbangkan perlu tidaknya memperpanjang kontrak/izin operasi Freeport pada 2019, karena kontrak akan habis pada tahun 2021.

"Hanya dengan cara inilah, yaitu membentuk Pansus Freeport, segala sesuatu yang terkait dengannya akan terkuak. Sekaligus juga marwah lembaga DPR-RI akan kembali pulih," pungkas Haryadi.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya