Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) tengah membahas sepuluh nama calon Pahlawan Nasional tahun 2025. Nama-nama tersebut merupakan usulan dari berbagai daerah dan lembaga.
Dari daftar yang ada, terdapat nama mantan Presiden kedua RI, yaitu Soeharto yang diusulkan oleh Provinsi Jawa Tengah (Jateng), dan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diusulkan oleh Provinsi Jawa Timur (Jatim). Keduanya merupakan pengajuan ulang dari tahun-tahun sebelumnya.
Advertisement
Baca Juga
Terkhusus Soeharto, pengajuan nama Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memang bukan yang pertama kali dilakukan. Namun, setiap kali muncul, usulan tersebut selalu memicu perdebatan di ruang publik, mengingat warisan pemerintahannya yang kompleks dan penuh dinamika.
Advertisement
Rekam jejaknya selama memimpin negara, dianggap sejumlah kalangan memiliki catatan kritis, sehingga dinilai tidak layak sebagai Pahlawan Nasional. Namun sebagian besar pihak menilai Soeharto layak menjadi Pahlawan Nasional karena jasa-jasanya bagi bangsa dan negara.
Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf menjelaskan bahwa alur pengusulan nama Presiden ke-2 RI Soeharto menjadi Pahlawan Nasional sudah melalui proses panjang, dimulai dari masukan masyarakat.
“Masukan dari masyarakat lewat seminar, dan lain sebagainya. Nah, setelah seminar selesai, ada sejarawannya, ada tokoh-tokoh setempat, dan juga narasumber lain yang berkaitan dengan salah seorang tokoh yang diusulkan jadi Pahlawan Nasional,” ujar Mensos usai menghadiri halalbihalal Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) di Jakarta, Minggu 20 April 2025.
Ia mengatakan apabila usulan tersebut diterima oleh bupati/wali kota, selanjutnya akan disampaikan kepada gubernur. “Setelah itu, nanti prosesnya naik ke atas, ke gubernur. Ada seminar lagi, setelahnya baru ke kami,” katanya.
Selanjutnya, Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial akan membuat tim untuk memproses semua usulan nama Pahlawan Nasional. “Timnya juga terdiri dari berbagai pihak. Ada akademisi, sejarawan, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat,” jelasnya.
Sejarawan Tiar Anwar Bachtiar menilai, pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional perlu dilihat secara objektif dan komprehensif. Menurutnya, dari sisi pembangunan, Soeharto memang punya kontribusi besar. Namun di sisi lain terdapat kontroversi yang juga tak bisa diabaikan.
"Ya, jadi begini ya, kalau dalam proses secara historis, Soeharto itu memang jasanya banyak ya untuk kemajuan Indonesia, tapi juga kontroversinya juga banyak. Menurut saya nanti akan menjadi satu persoalan yang nanti akan menjadi bahan diskusi menarik di tim pembahas. Nanti kan ada tim pengusul, nanti ada tim pembahasnya gitu ya," kata Tiar kepada Liputan6.com, Rabu (23/4/2025).
"Dari segi modernisasi Indonesia, seperti pembangunan infrastruktur dan sebagainya, Soeharto itu memang cukup besar jasanya. Dia yang melakukan banyak sekali perubahan-perubahan di Indonesia ini. Tapi di sisi lain, cara-cara Soeharto di dalam membangun Indonesia ini cukup problematik ya," sambungnya.
Tiar menyebut bahwa berbagai kebijakan Soeharto selama masa Orde Baru juga memiliki dampak jangka panjang yang masih dirasakan hingga saat ini. "Efeknya itu sekarang. Sekarang ini sebenarnya adalah warisan Soeharto, misalnya adanya oligarki, kemudian ada banyak kebutuhan-kebutuhan ekonomi di kita, ini efek dari Soeharto," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, jejak militerisme yang kuat selama masa Orde Baru juga menjadi aspek lain dari catatan kritis dari pengajuan gelar pahlawan tersebut. "Nah, belum lagi militerisme pada masa Soeharto itu juga problem yang cukup mengganjal untuk memajukan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional," imbuhnya.
"Artinya kalau dalam pandangan para sejarawan sih sebenarnya, Soeharto itu adalah pemimpin biasa saja yang dia ada kontribusinya, tapi juga yang keliru kebijakannya banyak juga. Jadi bukan extraordinary," lanjutnya.
Kendati demikian, Tiar mengatakan sejatinya pengajuan gelar pahlawan terhadap Soeharto tidak akan melalui proses yang instan. Menurutnya, mekanisme pengajuan gelar kehormatan tersebut akan melibatkan banyak tahapan dan perdebatan, baik di tingkat daerah maupun pusat.
"Ya, itu nanti sebetulnya kan gini, bagi pengusul tentu saja, siapa yang mengusulkan nanti itu dia harus membuat argumentasi, untuk menunjukkan bahwa Soeharto itu layak untuk jadi pahlawan," ujar Tiar.
Ia menyebut, proses pengajuan ini dimulai dari tingkat kabupaten sebagai pengusul awal. Jika disetujui, usulan akan dibawa ke tingkat provinsi untuk dibahas lebih lanjut di tingkat pusat.
"Misalnya Yogyakarta itu harus mengusulkan, kemudian dibahas di provinsi, nah di provinsi itu nanti kan ada perdebatan, perdebatan historis, perdebatan kenapa dia harus diberi pahlawan, lagi nanti ke pusat itu juga akan ada perdebatan lagi," pungkasnya.
Soeharto Penuhi Syarat sebagai Pahlawan Nasional?
Sementara itu, Pengamat Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dedi Arman menilai, Presiden Kedua RI Soeharto memang telah memenuhi syarat sebagai Pahlawan Nasional. Namun, penetapan gelar tersebut tetap berujung pada keputusan politik di tingkat pusat.
"Kalau Pahlawan Nasional itu kan keputusan politik, jadi itu bagaimanapun bagusnya kajian dari mana-mana pun, tapi keputusan tetap di Presiden, melalui Kementerian Sosial," ujar Dedi kepada Liputan6.com, Selasa (23/4/2025).
Ia menyebut bahwa berdasarkan rekam jejak sejarah, Soeharto memang memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan RI, khususnya dalam Operasi Trikora untuk pembebasan Irian Barat.
"Bagaimana rekam jejaknya pada masa lampau, siapa yang bisa membantah, bagaimana peranan beliau di masa kemerdekaan, serangan 1 Maret 1949, bagaimana peran beliau dalam Operasi Pembebasan Irian Barat, dia sebagai panglima Komando Trikora, itu kan siapa yang bisa membantah peranan Pak Harto di masa-masa kemerdekaan itu," imbuhnya.
Namun demikian, Dedi tak menampik bahwa usulan ini juga sangat mungkin menimbulkan penolakan, terutama dari masyarakat sipil yang mengkritisi pelanggaran HAM, praktik KKN, dan bentuk otoritarianisme di masa Orde Baru.
"Tapi di sisi lain memang kita lihat usulan ini kan pastinya banyak mengundang kontroversi, banyak yang menolak ini terkait dosa-dosa Pak Harto selama 32 tahun berkuasa, isu pelanggaran HAM berat, praktik KKN dan sebagainya." ungkapnya.
Meskipun secara teknis Soeharto dinilai layak, ia menyarankan agar pengusulan ini dapat ditunda terlebih dahulu, mengingat periode Soeharto yang masih baru dan isu-isu kontroversinya yang masih panas.
"Tapi menurut saya pribadi untuk sekarang, nanti dulu lah. Apalagi kan periode beliau meninggal masih kontemporer kan, meninggalnya belum terlampau lama juga, tahun 2000-an. Sekarang-sekarang kan isu-isu tentang pelanggaran HAM dan sebagainya, praktik KKN lagi muncul juga, masih panas-panas sekarang, nanti jadi problemnya kita," pungkasnya.
Pertimbangkan Masukan Publik
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin berharap pengusulan nama Presiden RI kedua Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sudah benar-benar mempertimbangkan masukan publik.
“Ya tentu kementerian terkait, baik itu Kemensos, Kemenkopolkam, kemudian Dewan Kehormatan dan Jasa benar-benar mempertimbangkan seluruh masukan-masukan yang ada,” kata dia, Rabu (23/4/2025).
Cak Imin mengaku pasrah dan menyerahkan sepenuhnya keputusan terkait usulan tersebut pada Kemensos. “Kita pasrah, kita serahkan pada mereka,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan Golkar Hetifah Sjaifudian menegaskan, partainya mendukung pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
"Kami sebagai ya tentu saja bagian dari Golkar akan men-support (mendukung) apapun hal yang positif untuk kepentingan bangsa," kata dia di Jakarta, Senin 21 April 2025.
Hetifah mengungkapkan, usulan ini sebenarnya datang dari fraksi di MPR, bahkan sudah dibahas oleh sayap partai Golkar, Satkar Ulama Indonesia.
"Saya kira ini kemarin sudah dibahas ya di Satkar Ulama, itu merupakan satu inisiatif dari teman-teman Fraksi MPR. Ya tentu kita menghargai usulan tersebut," ungkap dia.
Wanita yang kini duduk sebagai Ketua Komisi X DPR RI ini menuturkan, sejauh ini belum menerima adanya penolakan Soeharto untuk jadi Pahlawan Nasional.
"Kalau ada penolakan, saya belum menerima (informasi penolakan)," pungkasnya.
Adapun Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menilai tidak ada yang salah adanya usulan menjadikan Presiden kedua RI Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Menurut Prasetyo, wajar jika mantan-mantan presiden RI mendapatkan gelar Pahlawan Nasional sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya.
"Kalau berkenaan dengan usulan dari Kementerian Sosial terhadap Presiden Soeharto, saya kira kalau kami merasa bahwa apa salahnya juga? Menurut kami, mantan-mantan presiden itu sudah sewajarnya untuk mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara kita," kata Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 21 April 2025.
Prasetyo meminta masyarakat jangan hanya melihat kekurangan mantan-mantan presiden, namun juga prestasinya dalam memimpin negara ini. Prasetyo menyebut setiap presiden berjasa memimpin Indonesia, khususnya dalam berbagai permasalahannya.
"Tidak mudah menjadi presiden dengan jumlah penduduk yang demikian besar. Permasalahan-permasalahan yang selalu muncul dihadapi itu tidak ketahui. Jadi menurut saya tidak ada masalah," jelasnya.
Terkait adanya penilaian bahwa Soeharto tak memenuhi syarat menjadi Pahlawan Nasional karena kasus hukum di masa lalu, Prasetyo menilai bahwa tak ada pemimpin yang sempurna.
Dia menyampaikan bahwa pemberian gelar pahlawan untuk menghargai dan memberikan penghormatan kepada para mantan presiden.
"Ya ini tinggal tergantung versinya yang mana. Kalau ada masalah pasti semua kita ini kan tidak ada juga yang sempurna. Pasti kita ini ada kekurangan," ujar Prasetyo
"Tapi sekali lagi yang tadi saya sampaikan, semangatnya pun Bapak Presiden bukan di situ. Semangatnya adalah kita itu harus terus menghargai, menghargai, memberikan penghormatan apalagi kepada para presiden kita," sambung Prasetyo.
Advertisement
Muhammadiyah Ajak Cari Titik Temu Lewat Dialog
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengajak semua pihak untuk melakukan dialog kebangsaan yang terbuka dan menyeluruh terkait pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
"Semua harus ada dialog dan titik temu. Perspektif kita menghargai tokoh-tokoh bangsa yang memang punya sisi-sisi yang tidak baik, tetapi juga ada banyak sisi-sisi baiknya," kata Haedar Nashir di Yogyakarta, Selasa 23 April 2025.
Haedar mencontohkan kasus Presiden Soekarno yang sempat tertunda mendapat gelar Pahlawan Nasional karena perdebatan serupa. Ia juga menyebut tokoh-tokoh lain seperti Muhammad Natsir dan Buya Hamka yang mengalami kesulitan dalam proses pengusulan gelar pahlawan.
Ia berharap polemik Soeharto dapat menjadi pembelajaran kolektif agar bangsa Indonesia tidak terjebak dalam konflik yang kontradiktif di masa depan.
Haedar menekankan pentingnya melihat tokoh bangsa secara utuh dan menjadikan proses penilaian kepahlawanan sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional. "Ke depan, coba bangun dialog untuk rekonsiliasi. Lalu, dampak dari kebijakan-kebijakan yang dulu berakibat buruk pada hak asasi manusia (HAM) dan lain sebagainya itu diselesaikan dengan mekanisme ketatanegaraan yang tentu sesuai koridornya," ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya pembelajaran dari jatuhnya tokoh-tokoh besar karena godaan kekuasaan. "Saya selalu berpesan bahwa jatuhnya setiap tokoh bangsa yang besar itu karena godaan kekuasaan yang tak berkesudahan. Nah, di sinilah semua harus belajar tentang nilai-nilai kepahlawanan bahwa tokoh bangsa saat ini dan ke depan harus sudah selesai dengan dirinya," tuturnya.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menegaskan bahwa seluruh nama yang diusulkan sebagai calon Pahlawan Nasional 2025, termasuk Presiden Kedua RI Soeharto, memiliki peluang yang setara untuk dianugerahi gelar tersebut.
“Dari nama-nama yang ada, yang ramai itu ada Pak Presiden Suharto, Gus Dur, yang itu semua memang punya peluang untuk diusulkan oleh Kementerian Sosial setelah nanti kajiannya tuntas. Mengapa? Karena paling tidak syarat-syarat normatifnya semua sudah terpenuhi,” kata Gus Ipul usai meninjau Desk Sekolah Rakyat di Gedung Konvensi TMPNU Kalibata, Jakarta Selatan pada Rabu (23/4/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan pengusulan nama Presiden Soeharto dalam daftar calon Pahlawan Nasional tahun ini sudah memenuhi syarat normatif, mengingat MPR telah resmi mencabut nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
“Pak Harto misalnya itu sudah berulang-ulang ya diusulkan gitu, tapi masih ada kendala. Dan sekarang salah satu kendalanya itu kemarin soal TAP MPR nya sudah dicabut,” imbuhnya.
Ia menambahkan pihaknya kini tengah melakukan kajian dengan beberapa pihak terkait, termasuk akademisi, sejarawan, hingga tokoh masyarakat untuk mendiskusikan sekaligus memfinalisasi daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025 yang diberikan oleh provinsi pengusul.
Nantinya, kata dia, daftar usulan yang sudah difinalisasi tersebut akan diberikan kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan untuk kembali dikaji sebelum akhirnya diberikan kepada Presiden.
“Di Kementerian Sosial juga dipastikan lagi lewat beberapa tokoh mulai dari akademisi, sejarawan, juga tokoh masyarakat yang bersama-sama mendiskusikan usulan-usulan dari daerah itu. Setelah itu, kami akan lanjutkan ke Dewan Gelar,” kata Gus Ipul.
Daftar 10 Usulan Nama Calon Pahlawan Nasional
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Selasa (18/3), mengungkapkan sudah ada 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025.
Dari 10 nama yang diusulkan, empat di antaranya merupakan usulan baru. Sementara enam lainnya merupakan pengajuan kembali dari tahun-tahun sebelumnya, termasuk Soeharto.
Beberapa tokoh yang kembali diusulkan, yakni K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (Jawa Timur), Jenderal Soeharto (Jawa Tengah), K.H. Bisri Sansuri (Jawa Timur), Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah), Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh), dan K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat).
Sementara itu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini, yaitu Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali), Deman Tende (Sulawesi Barat), Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara), dan K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur).
Nama-nama yang telah disepakati Dewan Gelar pada 2024 akan kembali diusulkan pada 2025. Hal ini dilakukan karena hingga saat ini belum ada keputusan dari Presiden terkait usulan tersebut.
Mereka di antaranya: Andi Makasau, Letjen Bambang Sugeng, Rahma El Yunusiah, Frans Seda, Letkol Muhammad Sroedji, AM Sangaji, Marsekal Rd. Soerjadi Soerjadarma, serta Sultan Muhammad Salahuddin.
Pengusulan calon pahlawan ini dibatasi sampai 11 April 2025. Setelah tahap verifikasi, dan sidang pleno TP2GP akan menyampaikan rekomendasi usulan calon Pahlawan Nasional dari Menteri Sosial kepada Presiden. Selanjutnya Presiden memilih daftar nama yang diajukan untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Advertisement
Refleksi Sejarah Kepahlawanan Nelson Mandela
Sebelum ramai soal pengusulan Suharto sebagai Pahlawan Nasional, nama Nelson Mandela secara resmi telah diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah Afrika Selatan. Namanya diabadikan dalam banyak hal.
Misalnya, tiap tanggal 18 Juli telah ditetapkan oleh PBB sebagai Nelson Mandela International Day atau Hari Internasional Nelson Mandela. Diperingati setiap tahun untuk mengenang warisan pria yang mengubah abad ke-20 dan membantu membentuk abad ke-21.
Ini adalah momen bagi semua untuk mengubah diri dengan nilai-nilai yang menginspirasi dari Nelson Mandela.
Majelis Umum PBB menyatakan 18 Juli sebagai Nelson Mandela International Day melalui Resolusi A / RES / 64/13, mengakui nilai-nilai Mandela dan dedikasinya untuk pelayanan kemanusiaan dalam: resolusi konflik; hubungan ras; promosi dan perlindungan hak asasi manusia; rekonsiliasi; kesetaraan gender dan hak-hak anak dan kelompok rentan lainnya; perjuangan melawan kemiskinan; promosi keadilan sosial. Resolusi tersebut mengakui kontribusinya pada perjuangan untuk demokrasi internasional dan promosi budaya perdamaian di seluruh dunia.
Mengutip UNESCO.org, Rabu (23/4/2025) Nelson Mandela adalah seorang negarawan yang hebat, penganjur kesetaraan yang sengit, pendiri perdamaian di Afrika Selatan.
Di mana tekadnya yang mutlak, komitmennya yang mendalam terhadap keadilan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, keyakinan yang mendalam akan kesetaraan dan martabat setiap wanita dan pria, keterlibatannya yang tanpa henti untuk dialog dan solidaritas di semua kalangan merupakan sikap yang patut dicontoh dari seorang Nelson Mandela.
Di masa-masa yang penuh gejolak, Nelson Mandela menunjukkan kepada kita kekuatan melawan penindasan, keadilan atas ketidaksetaraan, martabat atas penghinaan, pengampunan atas kebencian.
Ketika dunia mengedepankan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan dan berusaha untuk mengatasi sumber-sumber kesulitan baru, Nelson Mandela tetap berpegang teguh pada prinsipnya.
Hal ini ia lakukan untuk menjadi bebas bukan hanya membuang seseorang rantai, tetapi hidup dengan cara yang menghormati dan meningkatkan kebebasan orang lain.
Goodwill Ambassador dan Laureate of the Houphouët-Boigny Peace Prize 1991 merupakan warisan Nelson Mandela bersama misi UNESCO, untuk memberdayakan semua wanita dan pria berdasarkan kesetaraan hak dan martabat mereka, mempromosikan dialog dan solidaritas untuk keadilan dan kekal perdamaian. Tindakan dan semangat yang tidak pernah begitu penting sebelumnya.
Ditangkap dan Dipenjara Selama 27 Tahun
Pada tahun 1962, Mandela ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena dakwaan sabotase. Ia dipenjara selama 27 tahun, sebagian besar waktunya dihabiskan di Pulau Robben.
Namun, di balik jeruji, perjuangannya terus menginspirasi gerakan anti-apartheid di dalam dan luar negeri.
Setelah dibebaskan pada tahun 1990, Mandela memimpin proses negosiasi yang akhirnya menghapus sistem apartheid dan membuka jalan bagi pemilu demokratis pertama di Afrika Selatan pada 1994. Dalam pemilu ini, Mandela terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan (1994–1999).
Alih-alih membalas dendam, Mandela mendorong rekonsiliasi nasional melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, demi menyatukan bangsa yang lama terpecah belah oleh konflik rasial.
Infografis Mekanisme Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional
Advertisement
