Reklamasi Teluk Jakarta dan Suap Anggota DPRD

Menurut Arief, permasalahan izin reklamasi pantai ini tidak bisa dilakukan oleh DPRD DKI sendirian.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 01 Apr 2016, 19:01 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2016, 19:01 WIB
20160316-Penimbunan-Material-Padat-Pantai-Teluk-Jakarta-HA
Suasana pengerukkan alat berat proyek pembangunan reklamasi Teluk Jakarta di Pantai Utara Jakarta (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Proyek reklamasi teluk Jakarta yang hingga kini masih menjadi perdebatan, diduga menyeret sejumlah orang ke dalam kasus suap, yang baru-baru ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lembaga anti-korupsi itu diduga telah menangkap enam orang, yang diduga terlibat suap proyek reklamasi, di antaranya anggota DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi dan pihak swasta.

Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI sekaligus Ketua Komisi D DPRD DKI itu ditangkap KPK, dalam operasi tangkap tangan (OTT), pada Kamis kemarin.

Jika benar Sanusi terlibat, lantas apa hubunganya dengan reklamasi pesisir Jakarta? Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Pouyono mengatakan, persoalan reklamasi di Fraksi Gerindra DPRD DKI terbelah dua.

Ada faksi yang mendukung dan ada faksi yang tidak mendukung‎. Sanusi sendiri yang memimpin Komisi D, merupakan pihak yang sejalan dengan Ahok dalam reklamasi pantai.

"Partai Gerindara terbelah. (Fraksi Gerindra) mayoritasnya menolak. Yang ada di Komisi D kalau ini kan kasusnya reklamasi," ucap Arief, Jakarta, Jumat.

Menurut dia, permasalahan izin reklamasi pantai ini tidak bisa dilakukan oleh DPRD DKI sendirian. Artinya turut melibatkan pihak eksekutif sebagai pihak yang punya kewenangan mengeluarkan izin, dalam hal ini Pemprov DKI.


* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Menguntungkan


Pemprov DKI Jakarta telah mendukung upaya perluasan daratan di atas laut itu, melalui surat keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 238 Tahun 2014. Pemprov menilai tidak ada dampak negatif dari reklamasi ini.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebelumnya mengatakan, pihaknya akan tetap menjalankan proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta, meski banyak pihak yang menentang.

Sebab proyek yang merupakan bagian dari pembangunan Giant Sea Wall atau tanggul laut raksasa ini, mempunyai payung hukum jelas, yakni Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara.

"Kita akan terus jalan. Mau banyak yang menentang, kek. Toh kita udah punya Keppres Tahun 95," ujar Ahok beberapa waktu lalu.

Selain itu, Ahok juga menilai proyek reklamasi tidak akan menimbulkan dampak negatif terhadap warga yang tinggal di pesisir utara Jakarta. Warga pesisir justru akan mendapatkan dampak positif dari reklamasi ini.

Sejumlah nelayan melakukan aksi long march menolak reklamasi Teluk Jakarta di kawasan Muara Angke, Jakarta, Rabu (2/12). Mereka menolak keras proyek reklamasi pulau G karena dapat menghilangkan sumber kehidupan para nelayan. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Ahok menuturkan, proyek ini diprediksi bisa memberi tambahan lahan di Jakarta seluas 51 ribu hektare. Bila reklamasi sukses dilakukan, akan membawa keuntungan besar bagi Pemprov DKI Jakarta. Sebab, pemprov akan langsung mendapatkan tanah yang bersertifikat.

"Jadi orang kalau reklamasi 17 pulau, jadi nih katakan lah ribuan hektare, itu semua ribuan hektare milik (Pemprov) DKI lengkap dengan sertifikat, untung kan?" tegas Ahok.

Dari total tanah bersertifikat yang dimiliki itu, menurut Ahok, 55% lahannya bisa dijual dan dimanfaatkan untuk usaha. Namun, pemilik tanah tetap Pemprov. Kemudian, 45% lahannya tidak boleh dijual karena diperuntukkan fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Terkait masalah banjir yang kerap dikaitkan dengan masalah reklamasi, Ahok membantahnya. Menurut dia, banjir Jakarta tidak ada kaitan dengan proyek ini.

"Nggak ada hubungan, reklamasi itu sudah ditentuin. Jadi Perpres mengatur pada 1995 reklamasi (sekarang Perpres Nomor 122 Tahun 2012) sampai bentuk pulau, semua diatur oleh Perpres, yang mengatur semua kementerian sebetulnya," kata dia di Balai Kota Jakarta, Kamis 12 Februari 2015.

Ahok mengatakan, dalam Perpres tersebut semua hal tentang reklamasi sudah diatur. Termasuk jarak antara pulau dan daratan, misalnya harus minimal 300 meter.


Penurunan Muka Tanah



Langkah Pemprov DKI Jakarta dengan memberikan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G kepada pihak swasta itu dinilai keliru. Di lain sisi, langkah ini dinilai sangat baik untuk mengatasi masalah land subsidence atau penurunan muka tanah.

Direktur Eksekutif Indonesia Water Institute Firdaus Ali mengatakan, masalah penurunan muka tanah sebenernya lebih berbahaya ketimbang dampak reklamasi itu sendiri.

"Penurunan muka tanah terus terjadi di wilayah Jakarta setiap tahun. Penurunan ini berbeda di setiap titik di Jakarta, yang paling parah memang di utara Jakarta," ujar Firdaus dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu 22 Agustus 2015.

"Kalau laju ekstraksi air tanah yang merupakan penyebabnya tidak ditangani serius, maka Jakarta 40 tahun ke depan akan tenggelam," sambung dia.

Karena itu, Firdaus mendorong agar reklamasi Jakarta segera direalisasikan. Masyarakat perlu tahu tentang hal tersebut. Sebab, sangat disayangkan jika masyarakat DKI selalu salah paham mengenai reklamasi.

Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jakarta, Kamis (25/2). Massa menuntut agar dibatalkannya pengesahan dua Raperda Reklamasi (RZWP3K dan RTR Pantura Jakarta). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Pada kesempatan yang sama, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna memberikan beberapa catatan terkait proyek reklamasi 17 pulau Jakarta.

Pertama, pembangunan harus berkelanjutan, di mana sumber daya jangan sampai habis. Kedua, tak memisahkan kawasan yang direklamasi dengan daratan Jakarta.

"Karena kedua-duanya harus terintegrasi. Apalagi, kita enggak tahu, ke depannya akan dibuat seperti apa," jelas alumnus Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung itu.

Ketiga, lanjut dia, harus segera menetapkan zonasi ruang sesuai pemanfaatannya, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keadilan.

"Supaya tidak ada kantong-kantong yang memisahkan. Terakhir, kalau ada hal-hal terkait daya tampung, seperti air, sumber materialnya, harus diperhatikan dari sekarang. Karena Jakarta masih serba kekurangan," pungkas Yayat.


Bisnis Properti?


Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisonal Indonesia (KNTI) Riza Damanik menuding, proyek reklamasi teluk Jakarta bukan ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya banjir di wilayah utara Jakarta. Melainkan hanya untuk kepentingan bisnis seperti proyek properti.

"Reklamasi hanya untuk jualan properti, bukan untuk rehabilitasi alam apalagi perbaikan keadaan ekonomi masyarakat sekitar," ujar dia di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, Rabu 11 November 2015.

Dia menjelaskan, sejauh ini tidak ada hal-hal yang dinilai mendesak, supaya proyek reklamasi ini diteruskan. Sebab, wilayah RI masih punya banyak daratan yang belum dikelola. Akan lebih baik jika pemerintah mengelola daratan tersebut, ketimbang membuat daratan baru di wilayah laut.

Riza juga meminta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama atau Ahok mengambil sikap yang rasional, terkait proyek reklamasi ini. Ahok tidak perlu khawatir jika proyek ini dihentikan, akan muncul gugatan terhadap dirinya dari kontraktor pelaksana proyek.

Aksi mendukung Reklamasi Teluk Benoa Bali di kawasan Car Free Day, Jakarta, Minggu (20/3/2016). Mereka mendukung revitalisasi karena memberi banyak keuntungan kepada warga Bali. (Liputan6.com/Johan Tallo)

"Ini harus dibatalkan dan Ahok tidak perlu khawatir akan digugat oleh developer yang sudah dapat jatah proyek itu karena ini (penghentian proyek) bukan perintah dia tapi perintah Undang-Undang (UU)," tandas dia.

Komisi IV DPR RI juga merekomendasikan agar proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan sementara. Sebab, analisis dampak lingkungannya belum bisa diketahui, lantaran belum juga disetujui Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkoordinasi menyoroti permasalahan tersebut.

"Pencemaran laut berasal dari daratan, laut dan kegiatan udara. Laut sudah jadi comberan saja. Tidak menutup kemungkinan jika tidak ada sinergi lintas kementerian, keefektifan penegakan hukum tidak efektif," kata Herman.


Antisipasi



Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai sudah memahami risiko pembuatan daratan baru di pantai utara Jakarta itu. Pemprov juga sudah memiliki kiat meminimalisir dampak negatif yang mungkin terjadi selama proses pemulihan kawasan pinggir Ibu Kota itu.

"Pemerintah DKI sangat memahami, ada beberapa PLTU di daerah utara. Namun, PLTU Muara Karang merupakan yang terbesar. Di samping itu, PLN juga memiliki kabel bawah laut," ujar Pakar Tata Kota dari Institut Teknologi Bandung Hesti D Nawangsidi di Jakarta Utara, Minggu 5 April 2015.

"Di dalam studi-studi dan kajian-kajian mengenai teknik dan perekayasaan reklamasi, hal itu sudah dipertimbangkan," sambung dia.

Terkait struktur lapisan tanah, Hesti menyebutkan, menjadi dasar utama bidang keteknikan dalam reklamasi. Karena, sebelum dimulai perlu diadakan pengujian geoteknik soil atau pengujian sampel tanah yang sangat ketat, untuk menjamin pulaunya tidak akan tenggelam.

Nelayan menjala di Teluk Utara Jakarta, Rabu (16/3). 10 pulau buatan telah mengantongi izin reklamasi dan amdal, sementara tujuh pulau buatan lainnya masih dalam proses pengajuan amdal dan reklamasi. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Menurut Hesti, dampak reklamasi yang diperkirakan akan berpengaruh ke seluruh persendian lingkungan alam sekitar, semisal dari aspek hidroceanografi, hidrodinamika, dan secara sosial ekonomi menjadi salah satu alasan pemerintah memperketat prosedur-prosedur reklamasi.

"Karena di sana ada pusat kegiatan masyarakat perikanan. Kemudian juga secara hayati, karena di sana ada suaka margasatwa angke, kemudian di bagian barat ada bagian-bagian yang masih memiliki budidaya mangrove," kata dia.

Hesti menegaskan, pihaknya selalu ikut memonitoring perkembangan proyek reklamasi ini secara berkala, yaitu setiap 3 bulan sekali. Pengecekan progresivitas reklamasi, termasuk dalam hal perubahan warna air menjadi keruh dan rusaknya hutan mangrove di sepanjang bibir pantai.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya