Mencari Jejak Hilangnya Sopir Sekretaris MA

Royani merupakan saksi penting dalam kasus dugaan suap pengamanan pengajuan perkara peninjauan kembali (PK) pada PN Jakpus.

oleh Oscar Ferri diperbarui 16 Mei 2016, 12:57 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2016, 12:57 WIB
20160308- Sekretaris MA- Nurhadi-Diperiksa KPK-Jakarta-Helmi Afandi
Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi selesai menjalani pemeriksaan terkait dugaan suap Kasubdit Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (8/3/2016). Nurhadi diperiksa KPK selama 10 jam. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bisa menghadirkan Royani, sopir sekaligus ajudan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Padahal, Royani sudah 2 kali dijadwalkan diperiksa. Dia tak pernah hadir ke KPK tanpa alasan jelas.

KPK pun menduga Royani sengaja disembunyikan. Sebab, Royani disebut-sebut sebagai saksi penting dalam kasus dugaan suap pengamanan pengajuan perkara peninjauan kembali (PK) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Diduga saksi ini disembunyikan," ucap Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK, Yuyuk Andriati, Senin (16/5/2016).

Hal tersebut tidak membuat KPK tinggal diam. Menurut dia, penyidik tengah mencari jejak Royani yang 'hilang'. KPK juga berencana menjemput paksa Royani.

Penjemputan paksa itu diperlukan karena, sekali lagi, Royani termasuk salah satu saksi yang penting untuk mengungkap kasus ini. Termasuk, untuk mengungkap dugaan keterlibatan Nurhadi.‎

"Iya (saksi penting)," ujar Yuyuk membenarkan.

KPK sendiri sudah mengajukan pencegahan terhadap Royani. Pencegahan dikirim ke Direktorat Jenderal Imigrasi pada 4 Mei 2016 dan berlaku untuk 6 bulan ke depan demi kepentingan penyidikan.

Kasus pengamanan perkara PK ini terungkap dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK beberapa waktu lalu. Pada tangkap tangan itu, KPK menangkap Panitera PN Jakpus, Edy Nasution, dan satu orang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno.

Pada saat tangkap tangan, Edy diduga telah menerima Rp 50 juta dari Doddy. Uang itu diduga bukan pemberian pertama. Sebab, diduga telah ada pemberian uang sebelumnya dari Doddy ke Edy sebesar Rp 100 juta.

KPK kemudian menjerat Doddy selaku pemberi dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sementara Edy sebagai penerima dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1‎ KUHP.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya