Ahli Hukum: Ahok Punya Kewenangan Lanjutkan Reklamasi Jakarta

Hal itu berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara.

oleh Oscar Ferri diperbarui 04 Agu 2016, 07:10 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2016, 07:10 WIB
20160417-Penampakan Terkini Bentuk Pulau G Hasil Reklamasi Teluk Jakarta
Sejumlah warga memadati kawasan Muara Angke untuk melihat proses reklamasi di Jakarta, Minggu (17/4). Lokasi yang dulunya mejadi tempat nelayan mencari ikan berubah menjadi dataran dari proyek Reklamasi Teluk Jakarta. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan ahli hukum tata negara I Gede Panca Astawa dalam sidang terdakwa eks Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL), Ariesman Widjaja.

Dalam sidang ini, I Gede menilai, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok punya kekuatan hukum dan kewenangan untuk melanjutkan pembangunan reklamasi pulau kawasan Pantai Utara Jakarta. Sebab, hal itu berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara.

"Melalui Pasal 4 di Keppres 52 tahun 1995, itu artinya memberikan kewenangan kepada gubernur DKI Jakarta. Mau diapakan saja, itu wewenang penuh ada pada gubernur," kata I Gede di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu 3 Agustus 2016.

Kata I Gede, dengan kewenangan‎ itu, Ahok punya hak untuk mengeluarkan izin proyek reklamasi kepada pengembang. Atau sebaliknya, menghentikan proyek tersebut, jika ditemukan permasalahan dalam pelaksanaannya.

"Itu semua ada di tangan Gubernur DKI," kata I Gede.

Karena itu, I Gede mengaku heran dengan pernyataan Rizal Ramli sewaktu masih menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman yang memutuskan pemberhentian pembangunan proyek reklamasi pulau G. Menurut dia, Rizal Ramli tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan itu.

"Atas dasar apa menteri menghentikan reklamasi? Hanya Gubernur yang berhak menghentikan," ucap dia.

Selain itu, I Gede juga menilai, proyek pembangunan kawasan Pantai Utara Jakarta tetap dapat dijalankan kendati terbit Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Kawasan Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

"Sepanjang berkaitan dengan tata ruang tetap berlaku Keppres 52 tahun 1995. Itu logika hukumnya," ujar I Gede.

Apalagi Keppres 52 tahun 1995, lanjut dia, merupakan pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1994 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita VI). Di mana di dalamnya dibahas tentang kawasan strategis Pantai Utara Jakarta.

"Jadi dasar hukumnya itu dari Repelita VI," ucap I Gede.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Sjarif Tjitjip Sutardjo mengatakan, penghentian proyek pembangunan kawasan Pantai Utara Jakarta bisa berdampak buruk dari sisi investasi. Sebab, pemerintah saat ini sedang menggalakan investasi.

"Jadi bagi mereka yang sudah mengantongi izin mesti dihormati, apalagi proyeknya sudah jalan," kata Tjitjip belum lama ini.

Untuk permasalahan jaringan infrastruktur di bawah laut, Tjitjip menyarankan adanya koordinasi semua pihak untuk mencari jalan keluar. Kalau yang dipersoalkan masalah kabel atau pipa gas bawah laut yang jadi dasar Rizal Ramli mengeluarkan putusan, maka seharusnya disesuaikan dengan Amdal yang ada.

"Yang penting kalau sudah ada izin, ya silahkan jalan," kata politikus Partai Golkar itu.

Ahok sendiri telah menerbitkan Keputusan Gubernur No.2238 tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada  PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land (APL). Izin dikeluarkan karena APL telah membangun 13 proyek yang merupakan bagian komitmen terhadap kontribusi tambahan sebesar 15 persen yang tercantum dalam ijin pelaksanaan reklamasi tersebut.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya