Pasal Karet dan Tekanan Massa di Sidang Ahok

Karena itu, dia meminta awasi proses dengan melibatkan Komisi Yudisial (KY) dalam sidang Ahok nanti.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 08 Des 2016, 07:37 WIB
Diterbitkan 08 Des 2016, 07:37 WIB
20161201-Tak Ditahan, Ahok Tinggalkan Kejagung-Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memberikan keterangan di depan Gedung Kejagung, Jakarta, Kamis (1/12). Ahok berterima kasih karena para wartawan telah mengawal kasus yang menimpa dirinya hingga saat ini. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Persidangan kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok akan berlangsung pada Selasa, 13 Desember 2016. Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mempercepat penanganan kasus Ahok.

Pendiri dan peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, menilai boleh saja proses hukum Ahok berlangsung cepat. Namun, dia menuturkan kasus Ahok tersebut terkesan melempar bola panas dari kepolisian kemudian ke kejaksaan, lalu di ujungnya pengadilan.

"Secara normatif, cepat atau tidak cepat sebenarnya tergantung pada hasil penyidikannya. Tapi memang kelihatan sekali kasus ini seperti bola panas. Polisi mau buru-buru lempar ke kejaksaan. Kejaksaan lempar ke pengadilan. Kalau dibandingkan dengan kasus lain, Ini sangat cepat. Kelihatan sekali ini karena tekanan massa dan politik," ucap Bivitri kepada Liputan6.com, Kamis (8/12/2016).

Bukan hanya itu, dia juga menegaskan, pasal yang digunakan menjerat Gubernur nonaktif DKI Jakarta itu, terlalu karet dan rentan akan adanya kepentingan politik. Diketahui, Ahok diduga melanggar Pasal 156 a dan Pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

"Kalau layak tidaknya, kalau kita pakai asumsi pasal yang dipakai sudah benar. Saya tidak bisa menjawab, karena belum lihat bukti-bukti. Tapi menurut saya, ada masalah mendasar pada pasal penistaan itu. Pasal itu tidak layak digunakan. Terlalu karet dan terlalu mudah dijadikan alat kepentingan politik. Persis seperti yang terjadi sekarang," jelas Bivitri.

Pengerahan massa saat sidang Ahok, menurutnya, juga bisa mempengaruhi situasi. Baik pada penegak hukum, maupun para saksi.

"Pasti akan berpengaruh. Semua aparat penegak hukum akan tertekan, jaksa, hakim. Karena ada tekanan massa. Kita tahu sendiri tekanan massa bisa berdampak besar pada psikologi hakim. Yang parah juga, saksi-saksi ahli bisa jadi takut. Mereka bisa tidak objektif atau yang mumpuni dan objektif tidak mau tampil karena takut. Pandangan ahli-ahli yang kurang objektif juga akan pengaruhi putusan," beber Bivitri.

Meski demikian, masih kata dia, Ahok harus menerima apa pun keputusan majelis hakim, lantaran tak ada putusan yang bisa di pandang cacat.

"Kalau sudah ada putusan harus diterima. Paling-paling upaya hukum banding dan kasasi. Ya begitu. Mau seperti apa pun nanti. Kalau sudah ada putusan kita enggak bisa klaim cacat," tutur Bvitri.

Karena itu, dia meminta awasi proses dengan melibatkan Komisi Yudisial (KY) dalam sidang Ahok nanti. "Awasi saja prosesnya. Libatkan KY, jaga ruang sidang, Jangan sampai massa masuk dan lainnya," pungkas Bivitri.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya