Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan yang diajukan Buni Yani. Buni merupakan tersangka kasus penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian berbau SARA melalui media sosial.
"Mengadili, menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya," ujar hakim tunggal Sutiyono dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2016).
Dalam pertimbangannya, hakim menilai penyidik Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya telah sesuai prosedur dalam penetapan tersangka Buni Yani. Apalagi, penyidik juga telah memiliki dua alat bukti permulaan.
Advertisement
"Penetapan tersangka sah karena telah memenuhi bukti permulaan. Penangkapan juga dapat dilakukan di manapun termasuk kantor kepolisian usai diperiksa menjadi saksi," terang dia.
Hakim juga menyatakan bahwa proses penyidikan terhadap Buni tetap sah meski tidak ada proses gelar perkara. Merujuk dari pendapat ahli yang diajukan penyidik Polda Metro Jaya, Sutiyono mengatakan bahwa dalam KUHAP tidak mengatur soal gelar perkara.
Ketentuan mengenai gelar perkara diatur dalam Peraturan Kapolri Tahun 2012 yang menjelaskan secara khusus bahwa gelar perkara dapat dilakukan secara terbuka atau semi terbuka.
"Tujuan gelar perkara ini sifatnya juga kasuistis dan tidak semua kasus perlu dilakukan gelar perkara," papar Sutiyono.
Hakim juga menolak dalil Buni Yani yang menyebut tidak adanya nomor surat perintah penyidikan (Sprindik) terhadap dirinya. Padahal, dari bukti penyidikan, Sprindik itu jelas dimulai pada 25 Oktober 2016.
"Bukti berupa sprindik jelas dimulai 25 Oktober 2016. Tidak dikirimnya SPDP ke JPU tidak terbukti," pungkas dia.
Buni merupakan pengunggah penggalan video Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terkait Surat Al Maidah ayat 51. Namun ia dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bukan karena videonya, melainkan kalimat atau caption yang ia tulis di akun Facebook-nya.
Dalam kasus ini, Buni dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi dan Transaksi Elektronik. Buni pun terancam hukuman maksimal enam tahun penjara dan denda hingga Rp 1 miliar.