Ketua Fraksi PKS di DPR Bantah Terima Suap E-KTP

Dijelaskan, ia memang pernah menjadi anggota Komisi II DPR. Namun, bukan periode saat pembahasan e-KTP, yakni antara 2011-2013.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 11 Mar 2017, 03:27 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2017, 03:27 WIB
jazuli juwaini
Politisi PKS Jazuli Juwaini.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini membantah dirinya menerima suap proyek pada kasus e-KTP. Dalam sidang kasus e-KTP di Pengadilon Tipikor pada Kamis lalu, Jazuli disebut menerima uang sebesar 30 ribu dolar Amerika Serikat.

"Tidak benar. Saya perlu klarifikasi terkait nama saya disebut dalam dakwaan kasus e-KTP. Pertama pembahasan e-KTP itu di Komisi II bersama Kemendagri sebagai mitranya dan kasus e-KTP itu tahun 2011-2013," kata Jazuli kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (10/3/2017).

Dijelaskan, ia memang pernah menjadi anggota Komisi II DPR. Namun, bukan periode saat pembahasan e-KTP, yakni antara 2011-2013.

"Sementara saya dari tahun 2009 sampai 2013 di Komisi VIII, ada dokumen SK-nya dari fraksi," jelas Jazuli.

Ia menambahkan, sejak Oktober 2018 hingga 21 Mei 2013 ia duduk di Komisi VIII DPR. Referensi surat keputusan pimpinan Fraksi PKS DPR RI nomor: 002/PIMP-FPKS/DPR-RI/V/2013 yang diteken Ketua Fraksi PKS Hidayat Nurwahid dan Sekretaris Fraksi PKS Abdul Hakim yang diteken pada 21 Mei 2013 lalu.

"Saya bukan anggota Komisi II, bukan Kapoksi Komisi II dan bukan pimpinan Komisi II," tandas Jazuli.

Sementara itu, Presiden PKS Sohibul Iman membenarkan bahwa mantan kadernya disebut. Namun, dia hanya mengetahui jumlahnya dua orang, bukan empat.

"Bahwa di situ ada dua orang nama PKS, kalau saya enggak salah, Pak Gamali, satu lagi Agus Purnomo," kata Sohibul di kantornya, Jakarta, Minggu 5 Maret 2017.

Dia menuturkan, pernah mengklarifikasi terhadap kedua orang tersebut. Saat itu, keduanya membantah terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. "Sudah. Mereka katakan sih tidak, itu tidak benar," jelas Sohibul.

Dia pun menyerahkan dan mendukung KPK untuk mengusut kasus ini. "Karena kerugian negaranya sangat luar biasa. Dari anggaran yang Rp 6 koma sekian triliun, itu (yang dikorupsi) mencapai Rp 2 triliun. Artinya, itu lebih dari 30 persen. Saya kira, ini harus diproses," Sohibul memungkas.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya