Liputan6.com, Jakarta - Dua lelaki menari di tengah lapangan saat iringan terompet dan gendang bertalu-talu di samping arena benjang, yang hanya beralaskan tanah. Keduanya menari atau ngibing lantas berhadap-hadapan bersamaan dengan teriakan sejumlah orang.
"Peusek, peusek," teriak penonton di samping arena benjang yang digelar di Cipotreat, Ujungberung, Bandung, Jawa Barat, Minggu 12 Maret 2017. Peusek berarti buka. Dalam pertandingan benjang, kata tersebut bermakna membuka baju sebagai tanda dimulainya pertarungan.
Ikbar Gustiana (14) langsung membuka baju. Lawan yang akan dihadapi adalah Yogi (21). Kedua petarung ini berbadan gempal, Yogi hanya lebih tinggi beberapa sentimeter dari Ikbar, warga Ciborelang, Cileunyi, yang baru duduk di kelas VIII.
Advertisement
Abdul Gani (70), tukang benjang senior dan bekas pegulat nasional, menjadi wasit. Kedua pemuda itu mulai saling merangkul. Entah seberapa besar tenaga yang dikeluarkan masing-masing. Meski berbadan gempal dan berusia lebih muda, Ikbar gesit mencari celah untuk menelentangkan Yogi.
"Kalau di benjang, enggak ada batasan umur dan berat badan. Yang penting berani," kata Pak Gani, sapaan Abdul Gani kepada tim Journal Liputan6.com.
Jika dilihat sekilas, benjang nyaris sama dengan gulat biasa. Yang membedakan, benjang dilakukan di alam terbuka dan beralaskan tanah. Tukang benjang, sebutan untuk petarung benjang, hanya mengenakan celana kolor.
Mereka tak mengenakan baju atau pelindung apa pun. Selama bertanding, petarung ini diiringi musik yang berasal dari tabuhan terbang, kendang, pingprung, kempring, kempul, kecrek, bedug, dan tarompet. "Ini untuk menyemangati petarung," ucap Gani singkat.
Tabuhan musik kian bertalu-talu saat Ikbar berhasil mengunci badan Yogi. Yogi tetap berusaha menghindar, tapi tak bisa berbuat banyak. Lengan Ikbar terlalu cekatan mencari celah untuk mendekap badan Yogi. Seketika, kuda-kuda Yogi langsung rapuh. Ikbar dengan mudah menelentangkan pemuda 21 tahun itu.
"Yang telentang itu kalah," kata Gani menjelaskan.
Pertandingan benjang ini merupakan beladiri sekaligus hiburan buat warga di sekitar Kecamatan Ujungberung, Cipadung, Cibiru, Cinunuk, dan Cileunyi. Kecamatan-kecamatan ini dahulu tergabung di Karesidenan Ujungberung. Di karesidenan ini, benjang lahir dan berkembang.
Sekretaris Umum Perkumpulan Benjang Jawa Barat Agus Nurrohman (54) menerangkan, gulat tradisional ini sudah berkembang sejak zaman penjajahan. Mulanya, gulat ini berkembang dari pesantren.
"Dulu dijadikan sarana perjuangan para pejuang waktu itu," ucap Agus. Namun, keberadaan benjang tak dikehendaki pemerintah kolonial. Akibatnya, benjang dianggap terlarang.
Larangan ini membuat tukang benjang harus menyembunyikan keberadaan benjang. Tokoh-tokoh benjang kemudian membuat strategi untuk tetap menjaga benjang. Mereka kemudian menampilkan benjang dalam bentuk lain, yakni sebagai kesenian.
Kesenian ini tampil dalam bentuk pagelaran. Warga di kawasan Ujungberung dan sekitarnya menyebut kesenian ini dengan istilah benjang helaran. "Ditutupin dengan seni. Seolah-olah ada kesenian, malamnya baru silaturahmi benjang antara anak muda," tutur Agus menjelaskan.
Nyatanya, larangan tak hanya datang dari pemerintah kolonial. Beladiri tradisional ini kembali mengalami nasib serupa saat era Orde Baru. Kepolisian di Ujungberung melarang benjang tampil di muka umum lantaran dinilai kerap menimbulkan tawuran.
"Dilarang polisi. Cuma benjang helaran tetap jalan terus," ucap Gani yang menjadi saksi hidup peristiwa pelarangan tersebut.
Benjang Dilarang
Abdul Gani tak lagi muda. Bagian hippocampus yang menyimpan memori di otaknya tak terlalu bisa mengingat setiap detail peristiwa di tahun 1971, saat benjang dilarang kedua kalinya. Gani yang kini berusia 70 tahun, hanya ingat dirinya menjadi 'biang keladi' benjang dilarang tampil di muka umum.
Gani menuturkan, larangan yang diterima pebenjang kala itu bermula dari pertandingan dirinya dengan anggota Seni Pora TNI Angkatan Darat di Batalyon 9/Zipur. Gani tak ingat siapa anggota yang bertanding dengannya saat itu.
Kakek 17 cucu ini bercerita, lebih dari dua kali dirinya bertanding dengan anggota TNI. Tiap bertanding, kata dia, selalu dihelat di Alun-Alun Ujungberung. "Tiap ada yang datang dari Senipora itu tanding lawan saya. Tapi selalu kalah, jadi weh nafsu," ujar Gani.
Gani yang juga peraih medali emas Gulat di PON VII Tahun 1969 ini menuturkan, dirinya bisa menang lantaran benjang punya sejumlah teknik. Teknik ini yang membuat dirinya mampu membanting tiap lawan yang menantangnya.
Kemenangan Gani dalam pertandingan tersebut rupanya membuat lawannya gusar karena tak bisa menerima kekelahan. Bentrok antara tukang benjang dan anggota Senipora TNI pun tak bisa dihindarkan. Bentrokan ini, kata Gani, berakibat benjang tak boleh tampil di muka umum untuk kedua kalinya.
"Sehabis (bentrok) itu, (benjang) dilarang polisi di Ujungberung," kata Gani.
Seniman benjang helaran Adin Sutardi (60) menyebutkan, dirinya menjadi nayaga atau pemain musik saat Abdul Gani bertanding melawan anggota Senipora TNI. Adin juga mengaku, dirinya ikut dalam bentrok antara tukang benjang dengan anggota TNI.
Namun, Adin yang juga saudara sepupu Gani, mengaku seni benjang helaran yang ditekuninya tak kebagian pelarangan. Larangan yang diberlakukan kepolisian saat itu hanya terhadap gulat benjang.
"Saat dilarang, benjang helaran tetap jalan," ucap Abah Adin, sapaan akrabnya.
Pelarangan ini terus berlangsung hingga Orde Baru tumbang pada 1998. Selama pelarangan, gulat benjang vakum dan yang menonjol hanya benjang helaran. Agus yang kini membantu Gani di pengurus Paguyuban Benjang mengakui, ini merupakan konsekuensi yang harus mereka terima.
Agus menceritakan, paguron atau perguruan benjang nyaris mati selama pelarangan. Beruntung, pelaku kesenian benjang helaran masih tetap berjalan. Sehingga benjang masih bisa dikenal generasi penerus.
"Makanya (saat ini), atlet benjangnya masih relatif lebih sedikit daripada pelaku seninya," ucap Agus.
Advertisement
Membibit Benih Benjang
Kisah miris yang dialami benjang di Ujungberung berbanding terbalik dengan kisah benjang di Ciborelang. Ciborelang masuk dalam Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dahulu, Ciborelang masuk Karesidenan Ujungberung.
Kampung yang berada di kaki Gunung Manglayang ini tak pernah sepi pertunjukan benjang. Benjang di Ciborelang tak pernah dilarang seperti di Ujungberung. Di kampung ini, warga tak mengenal perbedaan benjang helaran dengan benjang gulat. Masyarakat setempat sepakat menyebut keduanya sebagai benjang.
"Kalau di sini enggak pernah dilarang," ucap Tatang Irwansyah (50), seorang pegiat benjang di Ciborelang.
Iman Firmansyah, pegiat benjang lain di Kampung Ciborelang, mengatakan, benjang yang dilaksanakan di kampungnya tak pernah berubah dari zaman baheula hingga kiwari. Tradisi tersebut, kata Iman, sudah berlangsung sejak generasi pertama.
Menurut Iman, dirinya dan Tatang merupakan generasi keempat yang meneruskan tradisi benjang di kampung tersebut. Benjang dihelat dengan ditandai acara arak-arakan kesenian pada siang hari. Puncak acara yang menampilkan pertandingan digelar malam hari.
"Benjang itu dulunya bukan beladiri, tapi permainan," ucap Iman (38).
Makna permainan yang dimaksud tak lain sebagai ajang silaturahmi. Kegiatan ini tak pernah vakum. Itu kenapa Kampung Ciborelang masih bisa membibit benih-benih tukang benjang seperti Ikbar Gustiana.
Iman menceritakan, Ikbar hanya satu dari 30-an anak yang sudah terbiasa dengan benjang. Ke-30 anak ini dilatih Iman bersama teman-temannya pegiat benjang. Bahkan, kata Iman, salah satu anak asuhnya kini juga sudah menjadi pelatih.
Bibit-bibit ini, kata Iman, yang diharapkan bisa tetap mempertahankan benjang. Ini seperti yang terjadi pada Ikbar. Selain lantaran turunan dari kakek dan ayahnya, Ikbar memang menyukai benjang sebagai seni beladiri.
"Saya suka, karena bapak, kakak, dan paman saya main benjang," kata Ikbar.
Motivasi ini, kata Ikbar, tumbuh sejak dirinya menginjak kelas III SD. Ia punya keinginan melampaui prestasi ayahnya, yang pernah juara benjang se-Kabupaten Bandung pada 1992.
Apalagi, Ikbar menyebut, benjang tak sekadar beladiri. Benjang merupakan seni dan olahraga yang lahir di kampung halamannya. Ini membuat dirinya bangga menjadi tukang benjang dan selalu menyimpan harapan tentang benjang di masa mendatang.
"Saya kepengen, benjang itu dikenal luas. Mudah-mudahan benjang semakin terkenal," kata Ikbar.
Nyatanya, Ikbar bukan satu-satunya yang punya harapan. Paguyuban Benjang yang menaungi atlet dan pemain seni benjang, punya harapan serupa. Agus Nurrohman menyebut, paguyuban punya harapan besar jika benjang bisa selevel dengan olahraga atau beladiri tradisional lain dari luar negeri.
Harapan ini dirasa tak terlalu muluk. Agus menyentil filosofi pertandingan benjang tentang yang kalah terlentang ke atas dan pemenang pertandingan telungkup ke bawah. "Ini yang mengajarkan kita selalu punya harapan dan terus semangat mengembangkan benjang," tutup Agus.