Kecelakaan Maut di Puncak, MTI Tanya Peran Pemda Selaku Operator

Pihak lain yang layak diperhatikan dalam kecelakaan beruntun adalah peran operator dan kir yang dilakukan pemerintah daerah.

oleh Liputan6 diperbarui 24 Apr 2017, 06:23 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2017, 06:23 WIB
Kecelakaan beruntun terjadi di Puncak, Bogor
Kecelakaan beruntun terjadi di Puncak, Bogor (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) secara umum menyalahkan pengemudi pada peristiwa kecelakaan beruntun. Oleh karena itu, dia menyarankan agar UU ini direvisi.

"Betul, selama ini UU LLAJ condong salahkan pengemudi. Ini harus direvisi," kata Wakil Ketua MTI Djoko Setijowarno saat dihubungi di Jakarta, Minggu, 23 April 2017, seperti dikutip dari Antara.

Sebelumnya, Ketua Komisi V DPR, Fary Djemi Francis menilai, pada peristiwa kecelakaan beruntun bus maut HS Transport di Jalan Raya Puncak, Bogor, Jawa Barat, pemerintah seharusnya melihat lebih dalam. Kecelakaan itu menyebabkan empat korban tewas dan enam lainnya luka.

"Pemerintah semestinya bijak dan adil karena kecelakaan bus tidak selalu karena kesalahan sopir, tapi faktor teknis kendaraan juga sangat memengaruhi suatu kecelakaan," ujar Fary.

Terkait persitiwa itu, pengemudi bus maut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Fary juga mendorong agar perusahaan bus maut itu disorot.

"Karena itu, pemilik perusahaan yang busnya mengalami kecelakaan dan menimbulkan korban jiwa harus dimintai pertanggungjawaban bila terbukti faktor teknis mendominasi terjadinya kecelakaan bus tersebut," kata Fary.

Menurut Djoko, pihak lain yang layak diperhatikan dalam konteks itu adalah peran operator dan kir yang dilakukan pemerintah daerah.

Selain itu, kata dia, pengawasan pemerintah terhadap bus wisata perlu diperketat. "Tata kelola bus wisata perlu ditinjau ulang," kata Djoko.

Dia mengatakan, pengemudi angkutan umum punya masa kerja maksimal delapan jam per hari. Hal ini, kadang tidak berlaku di bus wisata.

"Karena dianggap sopir bisa istirahat saat pelancong kunjungi objek wisata, " kata dia.

Pada sisi lain, kata dia, masyarakat cenderung pilih bus wisata yang murah sewanya, tetapi kurang memenuhi unsur keselamatan dalam kecelakaan beruntun.

"Karena itu juga, bus reguler yang dialihkan menjadi bus wisata bertarif murah harus juga diawasi ketat oleh regulator, " ucap Djoko.

Terus Berulang

Fary menyebut, kecelakaan seperti yang terjadi pada Sabtu, 22 April 2017 sore itu menuntut ketegasan terhadap pengawasan perusahaan otobus (PO). "Kecelakaan-kecelakaan seperti ini bukan hal yang baru, bahkan terus berulang," kata Fary.

Oleh karena itu, dia mendesak Kementerian Perhubungan bisa menertibkan PO-PO bus agar masyarakat bisa lebih aman menempuh perjalanan.

"Ada sistem pengaturan dan pengawasan yang gagal dilakukan oleh Kementerian Perhubungan sehingga untuk kesekian kalinya terjadi kecelakaan bus yang menimbulkan korban jiwa dan materi yang dialami oleh masyarakat," ujar Fary.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya