KPK Teliti Dugaan Fahri Hamzah Halangi Kasus E-KTP Via Angket DPR

Fahri Hamzah dianggap sengaja mengetuk palu persetujuan hak angket dalam rapat paripurna di DPR yang ditujukan ke KPK terkait kasus e-KTP.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 03 Mei 2017, 19:52 WIB
Diterbitkan 03 Mei 2017, 19:52 WIB
20161206-Kabiro-Humas--HA1
Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah usai memberi keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/12). Setelah Taufiqurahman ditetapkan sebagai tersangka, KPK melakukan penggeledahan beberapa tempat di Nganjuk dan Jombang. (Liputan6.com/Helmi Affandi)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menindaklanjuti laporan dari masyarakat tentang Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Fahri diduga menghalangi proses hukum perkara korupsi e-KTP.

"Seperti semua laporan kita akan tindak lanjuti dengan melakukan telaah. Karena yang dilaporkan terkait dengan indikasi obstruction of justice," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (3/5/2017).

Fahri dianggap sengaja mengetuk palu persetujuan hak angket dalam rapat paripurna di DPR. Padahal, dalam rapat tersebut sejumlah fraksi memutuskan untuk ke luar dari ruangan dan tak menyetujui pengguliran hak angket terhadap KPK.

Menurut Febri, pihaknya belum bisa berkomentar banyak soal laporan yang baru dilaporkan kemarin oleh kelompok masyarakat sipil tersebut. Febri mengaku, pihaknya ingin mempelajari dulu apakah tindakan Fahri dalam memimpin Sidang Paripurna disebut menghalangi penyidikan.

"Kita akan lihat mana saja unsur-unsur yang membentuk Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Karena kita perlu melihat, apa saja yang kemudian diduga menghambat proses hukum yang berjalan. Tentu itu kita kaji lebih jauh," kata jubir KPK ini.

Dalam Pasal 21 UU Tipikor berbunyi, setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya