Liputan6.com, Jakarta - Warganet mendadak riuh. Begitu pula laman pemberitaan Tanah Air yang ramai tentang aksi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang membacakan puisi karya Denny Januar Ali atau Denny JA, di tengah Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar.
Puisi tersebut berjudul "Tapi Bukan Kami Punya". Bait-bait puisi berisi potret kehidupan rakyat Indonesia masa kini yang--dinilai Denny JA--timpang.
Baca Juga
"Ketimpangan makin menjadi-jadi. Desa maju, padi menguning, kota-kota makin banyak swalayan, tapi bukan punya kita," kata Denny JA saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (24/5/2017).
Advertisement
Konsultan politik yang mendirikan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini menyambut baik Panglima TNI yang membacakan puisi yang dia buat.
"Memang itu yang saya harapkan. Saya sangat menyukai kutipan John F Kennedy, jika lebih banyak politikus membaca puisi dan banyak penyair tahu politik, maka kita akan hidup di dunia yang lebih aman," ujar Denny.
Meski demikian, Denny mengaku tidak mengetahui maksud Jenderal Gatot Nurmantyo membacakan puisinya tersebut. Namun begitu, dia mengapresiasi langkah Panglima TNI itu.
"Saya tidak tahu maksudnya apa. Panglima hanya ingin sebuah nuansa dalam pidato lebih berjiwa dan mengutip puisi terlebih dulu. Tema dasar (Rapimnas Golkar) soal keutuhan bangsa, keamanan nasional," ujar Denny.
Adapun "Tapi Bukan Kami Punya", kata Denny, diakui sebagai bentuk penghormatan dia untuk musikus Leo Kristi yang meninggal Minggu 21 Mei 2017. Denny juga mengakui bahwa dia meminjam satu kalimat yang ada dalam lirik lagu karya Leo Kristi yang berjudul Salam dari Desa.
"Saya meneruskan kembali lirik itu dan menyesuaikan dengan kondisi masa kini. Ada isu ulama, agama," beber Denny yang mengaku penggemar Leo Kristi.
Ketika ditanyakan apakah Denny yang memberikan puisi itu kepada Panglima TNI, ia menjawab, "Saya tidak tahu. Saya hanya dikirimkan video oleh Nurul Arifin (politikus Golkar) ke handphone saya saat Panglima TNI membacakan puisi."
Berikut lirik lengkap 'Salam dari Desa' karya Leo Kristi.
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya padi-padi telah kembang
Ani-ani seluas padang roda giling berputar-putar
Siang malam tapi bukan kami punya
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya tebu-tebu telah kembang
Putih-putih seluas padang
Roda lori berputar–putar siang malam
Tapi bukan kami punya
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi-nyanyi bersama-sama di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi-nyanyi bersama-sama tapi bukan kami punya
Tanah pusaka tanah yang kaya
Tumpah darahku di sana kuberdiri
Di sana kumengabdi dan mati dalam cinta yang suci
Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya nasi tumbuk telah masak
Kan kutunggu sepanjang hari
Kita makan bersama-sama berbincang-bincang
Di gubuk sudut dari desa
Jenderal Gatot Angkat Bicara
Jenderal Gatot buka suara menanggapi munculnya respons beragam terkait puisi yang dia bacakan. Gatot meminta agar puisinya tidak diarahkan pada satu sudut pandang saja.
"Melihat sesuatu harus melihat konteksnya. Yang dikatakan Presiden kompetisi global itu kompetisi antarnegara. Sekarang sudah meningkat kompetisi antarmanusia. Manusia tak mengenal batas dan mencari tempat yang lebih menjanjikan, lebih baik hidupnya, teori gaji namanya. Dan ini tahun 2050 diperkirakan 480 juta orang akan mengungsi," ujar Gatot Nurmantyo di Kalibata, Jakarta, Rabu (24/5/2017).
Menurut Gatot, melalui puisi tersebut, dia ingin mengingatkan seluruh pihak agar waspada. Jangan sampai orang Indonesia terpinggirkan, seperti sosok Jaka, tokoh yang diceritakan dalam puisi tersebut.
"Jadi puisi Jaka itu kalau tidak waspada, anakmu juga bisa seperti Jaka. Habis terpinggirkan bukan orang Indonesia lagi, kita terpinggirkan. Puisi itu mewujudkan apabila kita tidak waspada, kita sama seperti Jaka nanti kita, kalau kita tak waspada, anakmu bisa seperti itu, anak saya juga," tandas Gatot Nurmantyo.
Berikut puisi lengkap yang dibacakan Gatot, berjudul "Tapi Bukan Kami Punya" :
Sungguh Jaka tak mengerti
Mengapa ia dipanggil ke sini.
Dilihatnya Garuda Pancasila
Tertempel di dinding dengan gagah.
Dari mata burung Garuda
Ia melihat dirinya
Dari dada burung Garuda
Ia melihat desa
Dari kaki burung Garuda
Ia melihat kota
Dari kepala burung Garuda
Ia melihat Indonesia
Lihatlah hidup di desa
Sangat subur tanahnya
Sangat luas sawahnya
Tapi bukan kami punya
Lihat padi menguning
Menghiasi bumi sekeliling
Desa yang kaya raya
Tapi bukan kami punya
Lihatlah hidup di kota
Pasar swalayan tertata
Ramai pasarnya
Tapi bukan kami punya
Lihatlah aneka barang
Dijual belikan orang
Oh makmurnya
Tapi bukan kami punya
Â
Advertisement