Polri: Jabar Paling Banyak Kasus Hate Speech

Provinsi Jawa Barat termasuk wilayah yang paling rentan dan banyak kasus konten ujaran kebencian serta kabar hoax di media sosial (medsos).

oleh Achmad Sudarno diperbarui 23 Feb 2018, 19:42 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2018, 19:42 WIB
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Fadil Imran. (Liputan6.com/Achmad Sudarno)
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Fadil Imran. (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Liputan6.com, Bogor - Provinsi Jawa Barat termasuk wilayah yang paling rentan dan banyak kasus konten ujaran kebencian atau hate speech serta kabar hoax di media sosial (medsos).

"Banyak kasus hate speech (ujaran kebencian) kita temui di Jawa Barat termasuk Bogor," kata Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Fadil Imran ditemui di Mapolres Bogor, Kabupaten Bogor, Jumat (23/2/2018).

Beberapa kasus yang sempat mengundang perhatian warganet di antaranya kasus penganiayaan ulama di Kecamatan Cigudeg dan kasus tuduhan paham ideologi terlarang di Kecamatan Gunungputri, Kabupaten Bogor. Untuk menangani dan mengantisipasi kejadian serupa agar tidak terulang kembali, pihak kepolisian sudah melakukan pertemuan dengan seluruh jajaran Polres di Jawa Barat.

Dalam pertemuan tersebut, Polda Jabar memberikan tips tentang bagaimana cara menangani kriminalitas yang berkembang di media sosial. "Kami berikan arahan terkait kejahatan siber khususnya hate speech dan informasi bohong (hoax). Kalau tiap Polres mengalami kendala, saya siap backup," jelas Imran.

Menurut Imran, setiap ujaran kebencian dan informasi bohong dapat dikenakan sanksi pidana apabila di dalamnya terdapat unsur fitnah, SARA, dan mengancam pribadi seseorang.

Terkait penanganan kasus kriminalitas ini pula, Tindak Pidana Siber Polri juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI (Kemenkoinfo).

"Tugas Kemenkoinfo menghapus situs atau konten yang melanggar UU ITE. Dan sejauh ini sudah banyak ditangani Mabes Polri, salah satunya kasus Saracen," beber Imran.

 

Penegakan Hukum Tak Cukup

Namun demikian, menurutnya penegakan hukum terkait persoalan ini dinilai belum cukup. Masyarakat harus diedukasi bagaimana cara meliterasi dalam penggunaan media sosial.

"Penegakan hukum saja tidak cukup karena hanya 20 persen. Sisanya 80 persen itu harus melalui edukasi dan literasi digital supaya masyarakat bijak dan pandai menggunakan internet," ujar Imran.

Dia juga kembali mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terprovokasi isu yang belum dipastikan kebenarannya.

"Kalau menemukan kabar kroscek kebenerannya. Bila perlu laporkan polisi jika sudah mengandung unsur kebencian, SARA, dan lainnya," pungkas Imran.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya