Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) menyebut terjadinya kerugian negara atas menyusutnya aset kredit petani tambak bukan terjadi saat dia menduduki kursi orang nomor satu di BPPN, periode 2002-2004. Melainkan baru terjadi pada 2007.
Hal itu diungkapkan Syafruddin saat diperiksa sebagai terdakwa dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat 24 Agustus 2018.
Menurut pengakuan Syafruddin, aset kredit petambak adalah aset yang dimiliki Bank BDNI yang diambil alih BPPN berdasarkan penyerahan Bank Indonesia kepada BPPN sebagai bank dalam penyehatan.
Advertisement
Syafruddin mengungkapkan, pada saat BPPN bubar pada 27 Februari 2004, BPPN menyerahkan kepada menteri keuangan berupa utang petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Di mana pada 21 Mei 2007, menteri keuangan telah menetapkan harga dasar utang petambak sebesar Rp 220 miliar, yang kemudian aset utang petambak dijual PT PPA pada 23 Mei 2007 dengan nilai yang sama, yaitu harga dasar Rp 220 miliar.
Syafruddin juga mengungkapkan bahwa proses hapus buku dan hapus tagih pada BPPN didasarkan pada ketentuan Pasal 3, Pasal 26 dan Pasal 53 PP 17, yang merupakan peraturan pelaksanaan Pasal 37A Undang-undang Perbankan.
Dalam fakta sidang sebelumnya, bankir senior yang juga mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono menjelaskan, penghapusbukuan tidak bisa langsung dianggap sebagai bentuk kerugian. Karena penghapusbukuan sama sekali tidak menghapuskan hak tagih. Kerugian baru terjadi jika hak tagihnya yang dihapus.
Syafruddin juga menegaskan tak pernah mengusulkan dan menyetujui restrukturisasi utang petambak PT DCD. Sebab saat itu dia hanya menjabat sebagai sekretaris di Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
“Sekretaris KKSK bertugas menyiapkan bahan-bahan yang berasal dari BPPN atau lain-lain, mengenai masalah-masalah perbankan. Kita siapkan materi untuk pengambilan keputusan KKSK," ungkap Syafruddin.
Menurut dia, yang disampaikan adalah draf. Sekretaris tidak mempunyai kewenangan mengusulkan. Draf dibuat untuk dibaca ketua. Namun jika tidak ada kesalahan, akan ditandatanganinya.
Syafruddin juga mengatakan bahwa sekretaris KKSK tak dilibatkan dalam penanganan utang petani petambak PT Dipasena di Lampung. Sekretaris KKSK hanya bertanggung jawab pada pembuatan draft hasil keputusan rapat.
Dia juga mengungkapkan bahwa pernyataan dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum keliru dalam menagihkan utang petambak ke MSAA BDNI.
Menurut Syafruddin, utang petambak bukan kewajiban Sjamsul Nursalim dalam MSAA BDNI. Utang petambak tidak pernah dinyatakan lancar dan dijamin oleh Sjamsul Nursalim dalam MSAA-BDNI dan pemberian SKL telah melalui rangkaian pembahasan dalam KKSK dan didasarkan pada KKSK tanggal 17 Maret 2004 dan Inpres No. 8 Tahun 2002.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini
Saksikan video menarik berikut ini:
BPPN Tak Ajukan Klaim
Berdasarkan fakta persidangan sebelumnya, Mantan Deputi BPPN, Taufik Mappaenre menjelaskan bahwa BPPN tidak mengajukan klaim kepada pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim lantaran tidak menemukan unsur misrepresentasi terhadap isi perjanjian MSAA.
Menurut Taufik dalam kesaksiannya pada persidangan 16 Juli 2018, yang tahu informasi mana yang material atau tidak dalam menghitung nilai perusahaan PT DCD dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) adalah akuntan publik Ernts & Young.
Menurut Syafruddin, berdasarkan Keputusan KKSK tanggal 13 Februari 2004, KKSK telah menyetujui nilai hutang 11 ribu petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya Rp 1,1 triliun, sedangkan nilai aset jaminan tetap.
Utang Petambak kepada BDNI tersebut dijamin oleh lahan 0,6 hektare per petambak. Kisaran harga lahan di lokasi Dipasena petambak berdasarkan akta jual beli notaris Juli 2018 antara Rp 120 ribu m2 sampai Rp 180 ribu m2.
Menurut Syafruddin, jika lahan tambak yang merupakan jaminan hutang petambak kepada BDNI masih dikuasai Pemerintah dan dijual pada 2018, maka nilai aset jaminan atas utang petambak sebesar Rp 3,1 triliun sampai dengan Rp 7,3 triliun. Dengan demikian, kerugian negara atas utang petambak disebut terjadi karena penjualan di 2007.
Advertisement