Letusan Gunung Krakatau 1883, Guncangkan Dunia Hingga Bulan Menjadi Biru

Pada Minggu 26 Agustus 1883, pukul 12.53, letusan permulaan menyemburkan awan gas yang bercampur material vulkanik setinggi 24 kilometer.

oleh Rizky Mandasari diperbarui 24 Des 2018, 14:54 WIB
Diterbitkan 24 Des 2018, 14:54 WIB
Gunung Anak Krakatau
Gunung Anak Krakatau. (dok BNPB)

Liputan6.com, Jakarta Kemarin, tepat pada 22 Desember 2018 sekitar pukul 21.00 WIB, Ibu Pertiwi kembali dirundung duka. Musibah tsunami yang terjadi di Selat Sunda telah menelan korban jiwa.

Pinggiran pantai Anyer, Carita, hingga Tanjung Lesung (Banten), porak poranda. Menurut data yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), nyawa dari 222 orang dilaporkan melayang, 843 luka-luka dan 28 belum ditemukan. Jumlah tersebut bahkan diperkirakan akan terus bertambah.

Tidak ada peringatan ketika air laut tiba-tiba menyapu bibir pantai pada malam itu. Gempa pun tidak terasa. Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, gelombang tinggi tersebut diperkirakan berasal dari aktivitas intensif Anak Krakatau, gunung berapi yang kini terus menunjukkan keaktifannya dan longsoran materialnya.

Tetapi, gemuruh dan letusan Anak Krakatau telah digambarkan oleh para ahli lokal sebagai skala yang relatif rendah dan semi kontinu. Dengan kata lain, itu tidak terlalu berbahaya. Kendati demikian, hal yang perlu diketahui oleh masyarakat adalah bahwa gunung berapi yang berada di laut memiliki kemampuan untuk menghasilkan gelombang yang besar.

Citra satelit Gunung Anak Krakatau yang dirilis oleh NASA pada 23 Desember menunjukkan dengan jelas adanya keruntuhan di sisi barat-barat daya Anak Krakatau selama erupsi. Erupsi ini mengirim jutaan ton puing berbatu ke laut, sehingga mendorong gelombang pasang ke segala arah.

Seorang ahli gunung berapi, Profesor Andy Hooper dari Leeds University, Inggris, menerangkan bahwa ia memiliki sedikit keraguan ketika memeriksa gambar-gambar dari radar pesawat ruang angkasa milik Eropa: Sentinel-1.

"Ketika muncul peningkatan ukuran kawah, ada fitur gelap baru di sisi barat (gunung) yang menunjukkan kerak sisi curam dalam bayangan, mungkin karena runtuh. Serta ada perubahan di garis pantai," ujarnya, sebagaimana dikutip dari BBC, Senin (24/12/2018).

Perbandingan antara citra satelit NASA dan foto-foto dari Sentinel, yang diperoleh sebelum tsunami, pun ia jabarkan. Akan tetapi, anatomi yang tepat dari peristiwa ini tidak akan diketahui sampai tim peneliti dapat masuk ke area gunung berapi untuk melakukan survei secara akurat.

Sementara itu, Andy menambahkan bahwa longsor gunung lebih lanjut, bisa memicu lebih banyak tsunami. Satu kelompok ilmuwan bahkan mencontohkan apa yang akan terjadi jika bagian barat daya, sisi Anak Krakatau yang saat ini dianggap paling tidak stabil runtuh.

"Gelombang yang tingginya mencapai puluhan meter akan menghantam pulau-pulau terdekat seperti Sertung, Panjang dan Rakata dalam waktu kurang dari satu menit," kata tim tersebut.

Namun, ketika gelombang-gelombang ini menyebar melintasi Selat Sunda, gelombang-gelombang itu akan berhamburan hingga mencapai ketinggian satu hingga tiga meter. Wilayah ini diprediksi akan menjadi subyek pengawasan ketat dalam beberapa minggu ke depan.

Andy menambahkan, tsunami yang didorong oleh tanah longsor atau batuan dari gunung berapi, bisa sangat besar. Dalam catatan geologis, material vulkanik inilah yang bertanggung jawab atas terjadinya bencana alam dahsyat.

Baru-baru ini di Greenland pada tahun 2017, gelombang laut setinggi 100 meter muncul karena adanya longsoran batu yang memasuki fjord, di barat negara itu.

"Dan masih ada beberapa kemungkinan bahwa tsunami yang terjadi pada September di Sulawesi, diperkuat oleh perpindahan massa sedimen, baik yang memasuki air dari pantai atau menuruni lereng bawah laut di Teluk Palu," pungkas Andy.

Menurut Pusat Informasi Tsunami Internasional, meskipun relatif jarang terjadi, letusan gunung berapi bawah laut dapat menyebabkan tsunami karena perpindahan air atau kemiringan lereng yang tiba-tiba.

Anak Krakatau adalah pulau vulkanik kecil yang muncul dari laut setengah abad setelah letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang menewaskan lebih dari 36.000 orang.

Menurut Badan Geologi Indonesia, Anak Krakatau telah menunjukkan tanda-tanda aktivitas tinggi selama berhari-hari, memuntahkan gumpalan abu ribuan meter ke udara. Gunung berapi itu meletus lagi pada Sabtu 22 Desember setelah pukul 21.00.

Sebuah letusan tepat sebelum 16.00 terjadi sebelumnya sekitar 13 menit, memicu gumpalan abu yang membubung ratusan meter ke angkasa.

Cerita Letusan Gunung Krakatau 1883 yang Mengguncang Dunia

Begini Penampakan Erupsi Gunung Anak Krakatau
Aktivitas Gunung Anak Krakatau dari udara yang terus mengalami erupsi, Minggu (23/12). Dari ketinggian Gunung Anak Krakatau terus mengalami erupsi dengan mengeluarkan kolom abu tebal. (Liputan6.com/Pool/Susi Air)

Tanda-tanda bahwa Krakatau akan mengguncang bumi sebenarnya sudah terlihat sejak Mei 1883. Hal itu terlihat dari aktivitas gunung api Perbuatan di Pulau Krakatau yang mengeluarkan asap, uap, dan dentuman. Kondisi itu sudah terpantau sejak 20 Mei 1883.

Anehnya, kondisi itu disambut dengan riang gembira oleh penduduk sekitar serta wisatawan yang umumnya adalah warga asing. Penyewaan kapal meningkat dan tiket untuk menyaksikan aktivitas vulkanik di Pulau Krakatau itu cepat terjual.

Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Pada Minggu 26 Agustus 1883, pukul 12.53, letusan permulaan menyemburkan awan gas yang bercampur material vulkanik setinggi 24 kilometer di atas Gunung Perbuatan.

"Kejang-kejang sekaratnya Krakatau berlangsung selama 20 jam 56 menit," demikian diungkap Simon Winchester dalam bukunya Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883.

Klimaksnya adalah ledakan mahadahsyat yang terjadi pada Senin 27 Agustus 1883 pukul 10.02 pagi. Empat ledakan dahsyat yang terjadi membikin tuli orang-orang yang berada relatif dekat dengan Krakatau.

Begitu dahsyatnya letusan gunung Krakatau 1883, dentumannya dikabarkan terdengar sampai ke Australia dan Colombo, Sri Lanka. Abu dan uap yang disemprotkannya setinggi 80 km dan bisa menutupi daerah seluas 827.000 km2. Ledakannya diperkirakan berkekuatan sekitar 410 megaton atau 27 kali ledakan bom atom.

Akhir November 1883 dikabarkan Islandia diselimuti debu yang ditimbulkan Krakatau, sehingga matahari di sana tampak berwarna jingga dan berkorona.

Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. Kota Merak, Banten luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatera hingga 40 km jauhnya ke daratan.

Letusan gunung Krakatau 1883 juga menimbulkan bencana lain, yaitu tsunami. Menurut majalah Discover terbitan Agustus 1983, tsunami itu merupakan gelombang terbesar dalam sejarah yang dicatat manusia. Korban jiwa diperkirakan sekitar 36.380 orang, dan 165 desa musnah.

Setelah terjangan ombak itu surut sebentar, muncul gelombang berikutnya yang lebih dahsyat. Tinggi gelombang sekitar 36 meter. Menara pantai Anyer rubuh, sebuah lokomotif terpental. Di Anyer, tercatat 7.583 pribumi dan 14 orang kulit putih meninggal.

Sementara itu, kurang lebih 1.000 orang tewas akibat hujan abu di Rajabasa, Lampung. Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Krakatau. Tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk Pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 km dari Krakatau.

Beberapa bulan setelah ledakan itu, ahli gunung api Verbeek dan ahli botani Treub meninjau Krakatau. Yang mereka temui Pulau Krakatau, yang tinggal sepertiga, Pulau Sertung, dan Pulau Panjang ditutupi lava dan debu setebal 65 meter. Dan suhu di ketiga pulau itu masih 80ø C.

Kisah letusan Krakatau diabadikan dalam film, buku, dokumenter, bahkan komik. Di sisi lain, letusan Gunung Tambora 70 tahun sebelumnya, yang dampaknya lebih dahsyat hingga mampu mengubah sejarah dunia, nyaris terlupakan.

Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh. Akankah ia akan meletus seperti induknya? Tak ada yang bisa memastikan.

Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.

5 Fakta Letusan Gunung Krakatau 1883

krakatau
Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Banten. (Liputan6.com. Yandhi Deslatama)

Sebelum tsunami Aceh, gempa Lombok, Palu, dan Donggala terjadi, ada bencana besar lain yang pernah terjadi di Indonesia. Bahkan, saking besarnya musibah ini, efeknya dapat dirasakan hingga ke seluruh dunia.

Bencana tersebut adalah letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada 27 Agustus 1883. Pada Minggu, 26 Agustus 1883, pukul 12.53, letusan permulaan menyemburkan awan gas yang bercampur material vulkanik setinggi 24 kilometer di atas Gunung Perboewatan.

Klimaksnya adalah ledakan mahadahsyat yang terjadi pada Senin, 27 Agustus 1883 pukul 10.02 pagi.

Empat ledakan dahsyat yang terjadi membikin tuli orang-orang yang berada relatif dekat dengan Gunung Krakatau. Namun, gelegarnya terdengar hingga Perth, Australia yang jaraknya 4.500 kilometer.

Cerita letusan gunung Krakatau 1883 sudah terdengar hingga kemana-mana. Bahkan, letusan ini menjadi salah satu bencana besar yang pernah melanda dunia.

Seperti dikutip dari berbagai sumber, Senin (24/12/2018), berikut 5 fakta soal letusan Gunung Krakatau 1883 yang perlu kamu ketahui:

1. Suara Letusan Paling Keras

Suara ledakan dan gemuruh letusan Krakatau terdengar sampai radius lebih dari 4.600 km hingga terdengar sepanjang Samudra Hindia, dari Pulau Rodriguez dan Sri Lanka di barat, hingga ke Australia di timur.

Letusan Gunung Krakatau 1883 masih tercatat sebagai suara letusan paling keras yang pernah terdengar di muka Bumi. Siapa pun yang berada dalam radius 10 kilometer niscaya menjadi tuli. The Guiness Book of Records mencatat bunyi ledakan Krakatau sebagai bunyi paling hebat yang terekam dalam sejarah.

"Akibatnya tak hanya melenyapkan sebuah pulau beserta orang-orangnya, melainkan membuat mandek perekonomian kolonial yang berusia berabad-abad," demikian ungkap Simon Winchester, penulis buku Krakatoa: The Day the World Exploded, 27 Agustus 1883.

2. Bulan Menjadi Biru Saat Letusan Gunung Krakatau 1883

Sejarah mencatat letusan dahsyat Gunung Krakatau pada Senin, 27 Agustus 1883. Para ilmuwan menyebut kekuatannya setara dengan 100 megaton bom nuklir atau setara 13.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki.

Letusan gunung Krakatau 1883 juga menciptakan fenomena angkasa. Lewat abu vulkaniknya. Abu yang muncrat ke angkasa, membuat Bulan berwarna biru.

Seperti dimuat situs Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), beberapa partikel abu Krakatau, memiliki ukuran 1 mikron (atau satu per sejuta meter), ukuran yang tepat untuk menghamburkan warna merah, namun masih memberi peluang bagi warna lain untuk menerobos. Sinar Bulan yang bersinar putih berubah menjadi biru, kadang hijau.

Bulan berwarna biru bertahan bertahun-tahun pasca-erupsi. Kala itu, tak hanya Bulan yang penampakannya berubah. Orang-orang saat itu juga menyaksikan Matahari berwarna keunguan seperti lavender.

3. Suhu Global Meningkat

Sejumlah laporan bahkan menyebut, korban letusan gunung Krakatau 1883 mencapai 120 ribu. Kerangka-kerangka manusia ditemukan mengambang di Samudra Hindia hingga pantai timur Afrika sampai satu tahun setelah letusan.

Seperti dikutip dari situs sains LiveScience, muncul dinding air setinggi 120 kaki atau 36,5 meter, yang dipicu melesaknya Krakatau dan naiknya dasar laut.

Di wilayah pesisir, suara gelegar terdengar dari kejauhan, suaranya kian dekat dan kuat. Laut pun kemudian menggila.

Tsunami menerjang tanpa ampun, rumah gedek milik pribumi, maupun gedung tembok beratap merah kepunyaan bangsa Eropa di Anyer hancur lebur. Wilayah pesisir lain di Jawa dan Sumatera menemui nasib sama.

Ledakan tersebut melemparkan sekitar 45 kilometer kubik material vulkanik ke atmosfer. Menggelapkan langit yang menaungi wilayah yang berada di radius 442 km dari Krakatau. Barograf di seluruh dunia mendokumentasikan tujuh kali gelombang kejut.

Dalam 13 hari, lapisan sulfur dioksida dan gas lainnya mulai menyaring jumlah sinar matahari yang bisa mencapai Bumi.

Efek atmosfer yang diakibatkan membuat pemandangan matahari terbenam yang spektakuler di seluruh Eropa dan Amerika Serikat. Suhu global rata-rata mencapai 1,2 derajat lebih dingin selama lima tahun setelahnya.

4. Bencana Global Pertama yang Diliput dalam Sejarah

Media Forbes menyebut, letusan gunung Krakatau 1883 dalam beberapa aspek, adalah bencana global pertama yang tercatat dalam sejarah.

Dan, berkat temuan alat komunikasi modern (telegraf), kabarnya segera tersebar ke seluruh dunia.

Jurnal Belanda, Dutch Java Bode, yang pertama mengabarkannya, pada hari yang sama saat Krakatau meletus. Sejumlah media internasional menyusul kemudian.

Kisah letusan gunung Krakatau 1883 diabadikan dalam film, buku, dokumenter, bahkan komik. Di sisi lain, letusan Gunung Tambora 70 tahun sebelumnya, yang dampaknya lebih dahsyat hingga mampu mengubah sejarah dunia, nyaris terlupakan.

5. NASA Pantau Anak Krakatau

Pasca-erupsi dahsyat Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelahnya, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau.

Ia terus meletus secara sporadis sejak saat itu. Ia sedang bertumbuh, terus mendekati ukuran induknya yang hancur berkeping.

Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.

Ada dua alasan yang membuat NASA terus mengamati Anak Krakatau. Selain karena terus-menerus bererupsi, ini juga dilatarbelakangi faktor historis.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya