Cerita Krakatau Mengguncang Dunia 135 Tahun Silam

Begitu dahsyatnya letusan Krakatau, dentumannya dikabarkan terdengar sampai ke Australia dan Colombo.

oleh Rinaldo diperbarui 23 Des 2018, 19:07 WIB
Diterbitkan 23 Des 2018, 19:07 WIB
Gunung Anak Krakatau
Gunung Anak Krakatau. (dok BNPB)

Liputan6.com, Jakarta - Tanda-tanda bahwa Krakatau akan mengguncang bumi sebenarnya sudah terlihat sejak Mei 1883. Hal itu terlihat dari aktivitas gunung api Perbuatan di Pulau Krakatau yang mengeluarkan asap, uap, dan dentuman. Kondisi itu sudah terpantau sejak 20 Mei 1883.

Anehnya, kondisi itu disambut dengan riang gembira oleh penduduk sekitar serta wisatawan yang umumnya adalah warga asing. Penyewaan kapal meningkat dan tiket untuk menyaksikan aktivitas vulkanik di Pulau Krakatau itu cepat terjual.

Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Pada Minggu 26 Agustus 1883, pukul 12.53, letusan permulaan menyemburkan awan gas yang bercampur material vulkanik setinggi 24 kilometer di atas Gunung Perbuatan.

"Kejang-kejang sekaratnya Krakatau berlangsung selama 20 jam 56 menit," demikian diungkap Simon Winchester dalam bukunya Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883.

Klimaksnya adalah ledakan mahadahsyat yang terjadi pada Senin 27 Agustus 1883 pukul 10.02 pagi. Empat ledakan dahsyat yang terjadi membikin tuli orang-orang yang berada relatif dekat dengan Krakatau.

Begitu dahsyatnya letusan Krakatau, dentumannya dikabarkan terdengar sampai ke Australia dan Colombo, Sri Lanka. Abu dan uap yang disemprotkannya setinggi 80 km dan bisa menutupi daerah seluas 827.000 km2. Ledakannya diperkirakan berkekuatan sekitar 410 megaton atau 27 kali ledakan bom atom.

Akhir November 1883 dikabarkan Islandia diselimuti debu yang ditimbulkan Krakatau, sehingga matahari di sana tampak berwarna jingga dan berkorona.

Kapal-kapal yang berlayar jauh hingga ke Afrika Selatan juga melaporkan guncangan tsunami, dan mayat para korban terapung di lautan berbulan-bulan setelah kejadian. Kota Merak, Banten luluh lantak oleh tsunami, serta kota-kota di sepanjang pantai utara Sumatera hingga 40 km jauhnya ke daratan.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Terjangan Tsunami

Citra satelit NASA di atas Gunung Anak Krakatau per tanggal 24 September 2018. (earthobservatory.nasa.gov)
Citra satelit NASA di atas Gunung Anak Krakatau per tanggal 24 September 2018. (earthobservatory.nasa.gov)

Ledakan Krakatau juga menimbulkan bencana lain, yaitu tsunami. Menurut majalah Discover terbitan Agustus 1983, tsunami itu merupakan gelombang terbesar dalam sejarah yang dicatat manusia. Korban jiwa diperkirakan sekitar 36.380 orang, dan 165 desa musnah.

Setelah terjangan ombak itu surut sebentar, muncul gelombang berikutnya yang lebih dahsyat. Tinggi gelombang sekitar 36 meter. Menara pantai Anyer rubuh, sebuah lokomotif terpental. Di Anyer, tercatat 7.583 pribumi dan 14 orang kulit putih meninggal.

Sementara itu, kurang lebih 1.000 orang tewas akibat hujan abu di Rajabasa, Lampung. Kombinasi aliran piroklastik, abu vulkanik, dan tsunami juga berdampak besar terhadap wilayah di sekitar Krakatau. Tak satupun yang selamat dari total 3.000 orang penduduk Pulau Sebesi, yang jaraknya sekitar 13 km dari Krakatau.

Beberapa bulan setelah ledakan itu, ahli gunung api Verbeek dan ahli botani Treub meninjau Krakatau. Yang mereka temui Pulau Krakatau, yang tinggal sepertiga, Pulau Sertung, dan Pulau Panjang ditutupi lava dan debu setebal 65 meter. Dan suhu di ketiga pulau itu masih 80ø C.

Kisah letusan Krakatau diabadikan dalam film, buku, dokumenter, bahkan komik. Di sisi lain, letusan Gunung Tambora 70 tahun sebelumnya, yang dampaknya lebih dahsyat hingga mampu mengubah sejarah dunia, nyaris terlupakan.

Pasca letusan tersebut, Krakatau hancur sama sekali. Mulai pada 1927 atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Ia sangat aktif dan terus bertumbuh. Akankah ia akan meletus seperti induknya? Tak ada yang bisa memastikan.

Anak Krakatau adalah satu dari 100 gunung berapi yang terus dipantau NASA melalui satelit Earth Observing-1 atau EO-1.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya