HEADLINE: Maut di Balik Kokain Murni Steve Emmanuel yang Digemari Kaum Elite

Dengan harga yang supermahal, kokain murni yang dipunya Steve Emmanuel berisiko maut. Untuk pemakai juga penyelundupnya.

oleh RinaldoLizsa Egeham diperbarui 29 Des 2018, 00:09 WIB
Diterbitkan 29 Des 2018, 00:09 WIB
Steve Emmanuel
Steve Emmanuel dihadirkan saat rilis pengungkapan kasus narkoba di Polres Metro Jakarta Barat, Kamis (27/12). Polisi menyita barang bukti kokain seberat 92,04 gram dari Steve Emmanuel pada 21 Desember 2018 malam. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Artis menjadi pengguna narkoba bukan hal yang luar biasa. Namun, kejahatan yang dilakukan Steve Emmanuel tidaklah biasa untuk ukuran artis Indonesia.

Tak hanya jadi pengguna, seniman peran itu juga diduga menjadi penyelundup obat terlarang dari luar negeri. Tak main-main, 1 ons kokain yang dia bawa dari Belanda ternyata dari kualitas nomor satu.

Jika terbukti menyelundupkan barang haram itu, Steve Emmanuel terancam hukuman maksimal dalam KUHP: mati. 

"Dia beli di Belanda, hampir kita pastikan itu jaringan internasional. Apalagi kokain ini pertama kali ada di Indonesia. Selama ini kokain yang kami temukan dicampur zat lain sehingga kadar enggak bagus. Yang ini masih murni," kata Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Jakarta Barat AKBP Erick Frendriz di Polres Jakarta Barat, Jumat (28/12/2018).

Fakta tersebut tidak disimpulkan polisi secara tiba-tiba. Sebelum ditangkap pada Jumat pekan lalu di Apartemen Kondominium Kintamani, Mampang, Jakarta Selatan, Steve sudah diintai aparat sejak tiga bulan sebelumnya. Kokain itu ditemukan polisi di sebuah kotak kecil parfum di lemari pakaian.

"Sejak tanggal 11 September kami dapat info bahwa ada penyelundupan kokain seberat 100 gram dari Belanda. Dia tak mengelak saat kami menemukannya," ujar Erick.

Selain itu, polisi juga meyakini Steve Emmanuel tidak bekerja sendirian, saking sulitnya untuk mendapatkan kokain kualitas murni. Alasan itu pula yang membuat polisi memastikan, Steve sudah masuk ke dalam jaringan narkoba internasional.

"Tidak mungkin dia sendirian, pasti awalnya dari teman, temannya itu siapa, itu yang sedang kita dalami. Penyidik sedang bekerja. Kita tanya pun masih berubah-ubah (jawabannya)," jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono di Markas Polda Metro Jaya, Jumat (28/12/2018).

Lewat jaringan Interpol, polisi kini berupaya memburu pemasok kokain untuk Steve Emmanuel hingga ke Negeri Belanda.

Badan Narkotika Nasional (BNN) pun sepakat dengan kesimpulan aparat kepolisian, bahwa temuan dari penangkapan Steve harus diwaspadai lantaran kokain sulit ditemukan di Indonesia.

"Pada pokoknya, peredaran kokain di Indonesia sangat jarang. Kalaupun ada temuannya, itu hanya sedikit," jelas Kepala Humas BNN Kombes Sulistiandriatmoko kepada Liputan6.com, Jumat (28/12/2018).

Dia menjelaskan, seperti halnya makanan, pengguna narkoba juga selektif dalam memilih obat yang akan dia konsumsi. Kokain, misalnya, bersifat halusinogen karena terbuat dari bahan alami. Sangat berbeda dengan amphetamin yang bertipe stimulan seperti sabu dan ekstasi, yang bahan bakunya adalah bahan kimia.

"Orang Indonesia biasanya mengonsumsi narkoba jenis stimulan, jadi suka sintetik. Biasanya, kalau sudah memakai narkotika yang alami, tidak suka sintetik. Begitu pun sebaliknya," ujar Sulis.

Infografis Steve Emmanuel (Liputan6.com/Abdillah)

Karena itu, lanjut dia, kalau dilihat dari selera, kokain lebih banyak disukai oleh orang Eropa dan Rusia. Apalagi, Indonesia memang tidak memproduksi narkoba jenis kokain.

"Produksi kokain hanya bisa ditemui di luar negeri, seperti di Kolombia, Afghanistan, Pakistan, dan negara Eropa lainnya," jelas Sulis.

Selain di Indonesia tak bisa didapatkan bahan baku kokain, produksi obat ini membutuhkan fasilitas yang relatif mahal untuk pengambilan zat adiktif dari tanamannya. Selain itu, prosesnya cukup panjang sehingga kecil kemungkinan diproduksi di Indonesia.

"Saya tidak bisa menyebutkan waktu pasti produksi kokain sampai jadi. Yang pasti, prosesnya cukup panjang dan membutuhkan waktu yang lama," papar Sulis.

Alasan lainnya peredaran kokain sangat terbatas di Indonesia, karena segmen pasarnya cuma untuk orang yang punya duit berlebih. Kalau harga sabu atau ekstasi dianggap sudah mahal, maka harga kokain jauh dari isi dompet orang kebanyakan.

"Harga kokain bisa mencapai Rp 6-7 juta setiap gramnya. Jadi, yang biasa membeli adalah masyarakat yang punya duit," pungkas Sulis.

Ini sesuai dengan hasil penelitian yang diterbitkan The National Drug and Alcohol Research Centre pada 2007. Penelitian ini menguak fakta bahwa mayoritas pengguna kokain di kota-kota besar di Australia adalah kalangan berpendidikan dengan kondisi keuangan lebih dari sekadar baik.

"Mereka termotivasi ketika tahu mampu membeli barang tersebut. Meski ada banyak pilihan yang disajikan, mata mereka akan terpusat pada kokain karena harganya lebih menantang dan dirinya akan merasa ada kepuasan batin saat mampu membelinya," ujar seorang psikolog di Pusat Rehabilitasi Byron Bay, New South Wales, Australia, Elizabeth Enter, seperti dikutip The New Daily.

Anehnya, dengan harga yang super mahal itu, alih-alih mengecilkan risiko terhadap kesehatan, kokain dengan kualitas setara dengan milik Steve Emmanuel, justru memiliki daya rusak yang tinggi terhadap tubuh pemakai.

 

Kram Jantung hingga Gagal Ginjal

Rilis Penangkapan Steve Emmanuel
Barang bukti diperlihatkan saat rilis penangkapan artis peran Steve Emmanuel di Polres Metro Jakarta Barat, Kamis (27/12). Steve Emmanuel ditangkap dengan barang bukti kokain seberat 92,04 gram di kondominium kawasan Mampang (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Selain diduga menyelundupkan kokain dalam jumlah besar, polisi juga mencatat barang haram yang dibawa Steve Emmanuel dari Belanda itu merupakan kualitas nomor wahid. Kepastian kokain ini dari kualitas terbaik didapat dari hasil pemeriksaan Puslabfor Polri.

"Hasil pemeriksaan di lab, ini jenis kokain hidroklorid murni tanpa campuran," kata Kabid Narkoba Puslabfor Polri Kombes Sodiq Pratomo di Jakarta, Jumat (28/12/2018).

Sodiq juga menyebut, kokain milik Steve berbeda dari kebanyakan kokain yang beredar di Indonesia. Kokain yang beredar di Indonesia kebanyakan tercampur zat anestesi karena biasa digunakan untuk kepentingan medis.

Tak heran, jika kokain yang dibawa Steve beredar secara bebas, akan berdampak fatal pada pengguna. Dampak penggunaan kokain secara fisik sangat mengerikan.

"Efeknya euforia, gembira, stimulan. Ke depannya akan membuat depresi, paranoid dan lain-lain," ujar Sodiq.

Staf Ahli Badan Narkotika Nasional (BNN) Mufti Djusnir sepakat dengan kesimpulan itu. Menurut dia, kokain itu bersifat stimulan, tidak jauh beda dengan obat terlarang lainnya yang masuk narkotika golongan I.

"Dampaknya, orang atau pengguna merasa aktif dan menjadi energik, dan semangat. Padahal, organ-organ tubuhnya itu sudah menjadi addict ya, ketergantungan," papar Mufti kepada Liputan6.com, Jumat (28/12/2018) malam.

Selain itu, dampak kokain juga bisa menyerang ke jantung akibat tekanan yang meningkat ke organ tubuh tersebut. Biasanya, ketika seseorang merasa segar, energik dan percaya diri setelah mengonsumsi kokain, yang terjadi sebenarnya adalah tekanan jantung meningkat.

"Jadi, risiko terhadap jantung itu karena bisa menyebabkan kram. Pemakai kokain yang meninggal itu rata-rata karena kram jantung," jelas Mufti yang juga ahli kimia farmasi itu.

Selain karena kram jantung, kematian akibat kokain juga disebabkan karena overdosis. Menurut dia, kerap terjadi seorang pengguna merasa apa yang dia konsumsi masih belum memuaskan, sehingga dosisnya ditingkatkan. Hal inilah yang kemudian membuat mereka tidak bisa mengontrol dan akhirnya overdosis.

"Para pengguna kokain memang cenderung overdosis. Biasanya, kalau sudah tak cukup dosisnya dan nambah satu kali. Demikian juga yang kedua dan ketiga, tak bisa lagi dikontrol, hingga mereka tak kuat lagi dan meninggal," jelas Mufti.

Dampak lainnya, pemakai akan mengalami gangguan pencernaan. Penyebabnya, pengguna kokain membutuhkan air selama mereka mengonsumsi obat berbahaya tersebut.

"Sering kejadian pemakai kokain itu mengalami gangguan ginjal karena ginjalnya kering. Dia kurang mengonsumsi air tanpa disadari karena merasa tetap energik, padahal minum kurang," ujar Mufti.

Sementara itu, European Monitoring Centre on Drugs and Drug Addiction dalam hasil penelitiannya mengatakan, penggunaan kokain akan menyebabkan perasaan "high" yang intens dan singkat, untuk kemudian segera diikuti perasaan sebaliknya, depresi berat, resah dan ketagihan yang lebih banyak.

"Si pengguna umumnya tidak dapat makan dan tidur dengan cukup. Mereka bisa mengalami peningkatan detak jantung yang tajam, ketegangan otot dan konvulsi. Kokain juga dapat membuat orang merasa paranoid, marah, bermusuhan dan cemas," demikian hasil penelitian yang dikutip dari laman www.duniabebasnarkoba.org itu.

Tidak peduli seberapa banyak atau seringnya dikonsumsi, kokain akan meningkatkan risiko yang akan dialami oleh si pengguna, yaitu serangan jantung, stroke, kejang atau gagal pernapasan, dan masing-masing dapat berakibat kematian mendadak.

Lebih parah, karena kokain mengganggu otak dalam memproses zat kimia, pengguna selalu memerlukan lebih banyak narkoba untuk sekadar merasa normal.

Pengguna yang menjadi ketagihan kokain juga akan kehilangan minat pada bidang lain dalam hidupnya.

"Dan jika dia tidak bisa mendapatkan kokain, depresinya bisa menjadi sangat kuat sehingga dapat mendorong pecandu untuk melakukan bunuh diri," pungkas laporan itu.

Tak terbayangkan, daun koka yang ribuan tahun sebelum Masehi hanya menjadi 'permen' bagi suku Inka di Peru, kini menjadi salah satu bahan obat yang paling mematikan.

 

Suku Inca, Coca Cola dan Kartel

Daun koka
Daun koka, bahan dasar kokain yang dipakai di Andes selama ribuan tahun untuk mengatasi penyakit ketinggian dan pembius ringan. (BBC.com)

Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, produksi kokain dan opium di tingkat global kian meningkat ke rekor tertinggi, seiring berkembangnya pasar narkoba di di berbagai belahan dunia.

Dalam laporan World Narcotic 2018, PBB menemukan produksi opium global melonjak 65 persen menjadi 10.500 ton dari tahun 2016 ke tahun 2017, dan sepanjang 2016 lebih dari 1.400 ton kokain diproduksi secara global, tingkat tertinggi yang pernah tercatat.

Dikutip dari VOA Indonesia, 2 Juli 2018, laporan itu menyatakan sebagian besar kokain dunia bersumber dari Kolombia, yang tidak hanya dijual di Amerika Utara, melainkan juga di pasar-pasar baru di Afrika dan Asia. Karena itu, bisa dipahami kalau mendapatkan obat terlarang ini di Indonesia bukan perkara mudah.

Kokain atau koka adalah salah satu stimulan alami yang paling tua, paling ampuh dan paling berbahaya. Diceritakan, 3.000 tahun sebelum Masehi, suku Inka purba di Andes mengunyah daun koka untuk meningkatkan detak jantung dan mempercepat pernapasan untuk melawan udara tipis di pegunungan.

Suku asli Peru itu mengunyah daun koka hanya pada upacara keagamaan. Tabu ini dilanggar saat tentara Spanyol menyerbu Peru pada 1532. Buruh-buruh paksa orang Indian yang bekerja di tambang perak Spanyol diberi daun koka terus agar lebih mudah dikontrol dan diperbudak.

Cerita pun berlanjut ketika kokain pertama kali ditemukan (diekstrak dari daun koka) pada 1859 oleh ahli kimia Jerman Albert Niemann. Kokain pertama kali dibuat tiruannya di tahun 1859, namun baru tahun 1880-an efeknya diketahui dunia kedokteran.

Bapak Psikoanalisis Dunia, Sigmund Freud adalah orang pertama yang secara luas mempromosikan kokain sebagai tonikum untuk menyembuhkan depresi dan impotensi.

Tahun 1884, dia mempublikasikan tulisan berjudul Ãœber Coca (Tentang Koka), yang isinya memuji manfaat-manfaat dari kokain dan menyebutnya sebagai zat ajaib.

Freud, bagaimanapun juga, bukanlah pengamat yang obyektif. Ia menggunakan kokain secara rutin serta meresepkannya untuk pacar dan teman baiknya dan merekomendasikannya untuk penggunaan umum.

Tahun 1886, popularitas obat ini berkembang pesat pada saat John Pemberton menggunakan daun koka sebagai bahan dari minuman ringan barunya, Coca Cola. Efek yang menghasilkan kegembiraan dan bertenaga pada konsumen membantu meroketnya popularitas Coca-Cola pada pergantian abad itu.

Mulai 1850-an sampai awal tahun 1900-an, obat mujarab yang mengandung kokain dan opium (ramuan ajaib atau obat), tonikum dan anggur banyak digunakan oleh berbagai orang dari semua lapisan sosial, termasuk para tokoh dan artis papan atas.

Meningkatnya penggunaan kokain oleh masyarakat secara bertahap membuat bahaya dari narkoba semakin jelas. Tekanan masyarakat memaksa Coca Cola untuk menghilangkan kokain dari minuman ringan ini di tahun 1903.

Namun, pada 1905, menghirup kokain menjadi populer. Dan dalam waktu lima tahun kemudian, rumah sakit dan literatur medis mulai melaporkan kasus-kasus kerusakan selaput hidung yang diakibatkan oleh penggunaan narkoba ini.

Pada 1912, pemerintah Amerika Serikat melaporkan 5.000 orang meninggal berkaitan dengan penggunaan kokain dalam setahun. Dan pada 1922, narkoba ini dilarang secara resmi.

Pada 1970-an, kokain muncul sebagai narkoba baru yang trendi bagi artis dan orang bisnis. Proses produksi pun meningkatkan efeknya berkali lipat. 

Bagi sebagian orang, kokain merupakan 'jalan pintas', yang melipatgandakan energi dan membikin orang tetap terjaga.

Di beberapa universitas di Amerika Serikat, tercatat jumlah siswa yang bereksperimen dengan kokain meningkat sepuluh kali lipat antara tahun 1970 dan 1980. Bahkan, pada 1970-an, pengedar narkoba dari Kolombia mulai mendirikan jaringan kerja yang rumit untuk menyelundupkan kokain ke AS.

Secara tradisional, kokain adalah obat untuk orang kaya. Karena biaya penggunaan kokain yang sangat besar. Pada akhir tahun 1980-an, kokain tidak lagi dianggap sebagai obat pilihan untuk orang-orang kaya.

Pada saat itu, kokain memiliki reputasi sebagai obat paling adiktif dan berbahaya di Amerika yang dikaitkan dengan kemiskinan, kejahatan dan kehilangan nyawa.

Pada awal 1990-an, kartel narkoba Kolombia memproduksi dan mengekspor 500 sampai 800 ton kokain per tahun, mengirimnya bukan hanya ke AS tetapi juga ke Eropa dan Asia. Kartel-kartel besar itu kemudian dilucuti oleh agen-agen pelaksanaan undang-undang di pertengahan 1990.

Nama-nama besar seperti Kartel Medellin dan Cali di Kolombia dan Kartel Sinaloa kemudian dihabisi pemerintah negara masing-masing dibantu Amerika Serikat. Tetapi kartel-kartel itu diganti oleh kelompok-kelompok yang lebih kecil dengan lebih dari 300 organisasi penyeludup narkoba yang aktif di Kolombia sekarang.

Sejak 2008, kokain telah menjadi narkoba nomor dua yang paling banyak diperdagangkan di dunia. Namun, tetap tak mudah mendapatkan barang ini di Indonesia, sehingga hanya kalangan tertentu yang bisa mengonsumsi obat hasil olahan daun ajaib bangsa Inka tersebut.

Reporter: Rifqi Aufal Sutisna.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya